Jerat Hukum Pengedar Obat Ilegal di Indonesia

Jerat hukum pengedar obat ilegal di Indonesia. (Foto: PARBOABOA/Ahmad Ghozali)

PARBOABOA, Jakarta - Penjualan obat ilegal di Indonesia adalah masalah serius yang perlu segera ditangani. 

Maraknya peredaran obat tanpa izin atau yang mengandung bahan berbahaya mencerminkan lemahnya pengawasan dan kurangnya kesadaran masyarakat tentang bahaya kesehatan yang bisa terjadi. 

Untuk itu, pemahaman mengenai aturan hukum yang mengatur peredaran obat menjadi sangat penting, demi melindungi masyarakat dari risiko obat-obatan yang tidak aman dan tidak memenuhi standar.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), disebutkan bahwa sediaan farmasi mencakup obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.

Menurut Pasal 1 angka 8 UU a quo, obat adalah bahan atau kombinasi bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau kondisi patologis untuk diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi.

Sesuai ketentuan di atas, semua sediaan farmasi harus memenuhi kriteria keamanan, khasiat, mutu, dan keterjangkauan. 

Selain itu, pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, dan distribusi obat hanya boleh dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dan kewenangan, serta obat tersebut harus memiliki izin edar.

Karena itu, pemerintah berwenang mencabut izin edar dan menarik sediaan farmasi atau alat kesehatan dari peredaran jika terbukti tidak memenuhi standar mutu, keamanan, atau manfaat, serta menyitanya untuk dimusnahkan sesuai peraturan yang berlaku.

Salah satu contoh konkret dari penerapan aturan ini adalah pelarangan obat yang mengandung karisoprodol, seperti yang tertera dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada tahun 2013.

Karisoprodol diketahui memiliki efek relaksasi otot dengan potensi efek samping berupa sedasi, euforia, hingga halusinasi dan kejang jika digunakan dalam dosis tinggi. 

Berdasarkan keputusan ini, izin edar berbagai obat yang mengandung Karisoprodol, seperti Somadril Compositum, New Skelan, dan lainnya, dicabut dan obat-obat tersebut ditarik dari peredaran serta dimusnahkan.

Pelarangan ini ditegaskan kembali dengan ditetapkannya Karisoprodol sebagai narkotika golongan I dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2018.

Narkotika golongan I adalah jenis yang hanya boleh digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak untuk terapi, mengingat potensi tinggi untuk menimbulkan ketergantungan.

Sanksi Menjual Obat Ilegal

Menjual obat ilegal, termasuk yang mengandung karisoprodol, bisa dikenai sanksi pidana yang berat.

Pasal 197 UU Kesehatan menyebutkan bahwa siapapun yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar bisa dipidana penjara hingga 15 tahun dan denda hingga Rp1,5 miliar. 

Selain itu, karena karisoprodol termasuk narkotika golongan I, pelaku juga dapat dijerat dengan Pasal 114 UU Narkotika, dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.

Apotik yang menjual obat yang dilarang peredarannya juga tidak luput dari sanksi. 

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek, apotek harus memastikan bahwa sediaan farmasi yang mereka sediakan adalah aman, bermutu, dan bermanfaat. 

Jika aturan ini dilanggar, apotek bisa dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penutupan sementara operasional, hingga pencabutan izin operasional.

Sebagai informasi, sepanjang tahun 2022, BPOM mencatat 1.133 kasus peredaran obat ilegal di Indonesia. 

Kasus-kasus ini mencakup obat tidak memenuhi syarat (TMS), obat tanpa izin edar (TIE), dan obat yang diproduksi atau diedarkan tanpa keahlian dan kewenangan (TKK).

Dari semua kasus tersebut, obat tanpa izin edar (TIE) menjadi yang paling banyak ditemukan, mencapai 625 kasus. 

Sementara itu, obat yang diproduksi atau diedarkan tanpa keahlian dan kewenangan (TKK) tercatat sebanyak 475 kasus, dan obat tidak memenuhi syarat (TMS) sebanyak 33 kasus.

Berdasarkan wilayah, peredaran obat ilegal paling banyak ditemukan di Sulawesi dan Kalimantan dengan total 480 kasus. 

Jawa dan Bali mencatat 318 kasus, sementara Sumatera ada 272 kasus. Di wilayah Indonesia bagian timur, yang meliputi Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, ditemukan 63 kasus.

Jenis obat ilegal yang paling sering ditemukan berasal dari golongan yang rentan disalahgunakan, seperti tramadol, dekstrometorfan dan triheksifenidil.

Sementara itu, berdasarkan laporan Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri tahun 2023, terdapat 3.330 kasus penjualan dan peredaran obat ilegal di Indonesia. 

Polri juga mencatat penyitaan obat keras paling banyak adalah obat ilegal daftar G, dengan total 11,87 juta tablet yang diamankan sebagai barang bukti.

Jumlah ini sebenarnya menurun dibandingkan tahun 2022, ketika Polri menyita 16,477 juta tablet. Sebelumnya, pada tahun 2021, jumlah tablet yang disita mencapai 3,387 juta. 

Penurunan ini menunjukkan adanya fluktuasi dalam peredaran obat ilegal di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS