Hartini, Pendamping Setia Bung Karno

Presiden Soekarno bersama istri Hartini di Istana Bogor, Juli 1964. Mereka sedang menerima kunjungan Dubes Australia untuk Indonesia Mick Shann. (Foto: Instagram @Tal_but)

PARBOABOA - Awal tahun 1954. Soekarno memasuki kamar tidur utama Istana Merdeka. Tujuannya menjumpai istrinya yang tengah berbaring di samping putra mereka, Guruh Soekarno Putra Fajar yang masih berusia enam bulan. Bukan hendak bercengkerama layaknya pasangan yang baru dikaruniai momongan, ia ternyata mengutarakan niatnya: meminta izin untuk menikahi Hartini. Janda muda beranak lima, Hartini parasnya ayu. Ia tinggi semampai, berkulit kuning langsat, dengan rambut hitam lurus sepinggang.

Sontak Fatmawati tersentak. Dia tak pernah mengira suami yang dicintainya akan mengambil perempuan lain lagi sebagai bini. Bukankah perhatian lelaki kelahiran Blitar itu terhadap dirinya saat mengandung Guruh lebih dari yang ia harapkan? Pula, sama sekali dia tidak melihat tanda-tanda kalau pasangannya tersebut sedang jatuh cinta lagi pada orang lain.

Soekarno untuk kesekian kali kesemsem pada seorang wanita cantik. Apa hendak dikata? “Saya jatuh cinta pada pandangan pertama,” ucap dia mengenang pertemuannya dengan Hartini [Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno—2009].

Setelah fall in love in the first sight, keinginan dia untuk meningkatkan hubungan dengan Hartini tak dapat dibendung oleh siapa pun. Bahkan dia kemudian keukeuh hendak mempersuntingnya.

Siti Suhartini, itu nama lengkap Hartini. Ia anak kedua dari lima bersaudara. Orang tuanya Osan Murawi, pegawai dinas kehutanan di Ponorogo, dan Mairah. Soekarno pertama kali bertemu perempuan kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1924 pada 1952 saat kunjungan kerja ke Salatiga untuk meresmikan pemugaran Candi Loro Jonggrang di kompleks Candi Prambanan dan pembangunan Masjid Shuhada di Yogyakarta.

Soekarno menikahi Hartini secara resmi pada malam Rabu 7 Juli 1954 pukul 19.30 di Istana Cipanas, Jawa Barat. Perhelatan itu tertutup untuk umum. Ia menjadi istri keempat. Soekarno sebelumnya sudah menikah dengan Utari, Inggit, dan Fatmawati.

Yang keempat inilah perkawinan Bung Karno yang paling heboh. Kesengitan perlawanan Fatmawati, penyebabnya. Kelak ia masih akan kawin dan kawin lagi, baik secara resmi maupun tidak. Tapi sensasinya tak ada yang melebihi kasus persandingannya dengan Hartini.

Sejak resmi menjadi suami-istri, Soekarno memboyong Hartini ke Istana Bogor. Di sana ia tinggal di paviliun. Jatahnya bertemu dengan sang suami baru hanya akhir pekan.

Tak ada pilihan, terpaksa Fatmawati ‘mengizinkan’ suaminya mengawini Hartini. Hatinya rupanya terluka dan perih. Untuk seterusnya tidak ada penawarnya. Hhmm.. sebenarnya apa yang menimpa first lady ini hanya sebuah pengulangan sejarah: Soekarno pun masih berstatus suami Inggit Garnasih saat menikahi dirinya. Jadi ia dan Hartini sama-sama memadu juga.

Laki-bini cekcok itu hal biasa. Sebelumnya, sebagai istri, Fatmawati kerap memprotes keputusan Bung Karno dengan caranya sendiri. Umpamanya, ia menolak tinggal seatap dengan kepala negara itu. Atau, memotong rambut hitamnya yang panjang dan tebal sehingga pasangannya kaget dan sedih. Tapi, sebaik arsitek lulusan THS (kini: ITB) mengutarakan niatnya menikahi Hartini, tindakan ibu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh ini tak alang kepalang. Ia tak mau lagi bermuka-muka dengan sang proklamator.

Dari kamar utama Istana Negara perempuan asal Bengkulu ini pindah ke sebuah kamar di paviliun dekat masjid Baitul Rachim. Masih di lingkungan Istana Merdeka juga, letaknya. Saat itu juga ia menyiapkan rumah tinggal di luar kediaman resmi kepala negara tersebut. Prinsipnya, pokoknya tidak bertatap muka lagi dengan Soekarno. Di penghujung 1955 ia akhirnya menetap di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan. Rumah itu hingga kini masih menjadi tempat tinggal putra bungsunya, Guruh Soekarno Putra.

Sejak kepergian first lady, jadilah sang proklamator single parent bagi anak-anaknya yang tetap tinggal di Istana. Fatmawati biasanya hanya datang menjenguk putra-putrinya saat suaminya tak ada di Istana, yakni ketika sedang tugas keluar kota atau menyambangi Hartini di Bogor pada akhir pekan.

Dengan penghindaran seperti itu praktis sebenarnya hubungan Fatmawati dengan suaminya kandas sudah. Kekerasan hatinya menolak Soekarno rupanya tak kunjung berkurang seiring perjalanan waktu pun. Saat sang ‘putra sang fajar’ menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso pasca peristiwa September 1965 ia tak sudi melongok. Pun ketika presiden yang terguling itu kritis di rumah sakit dan mengembuskan nafas terakhir. Bahkan melihat jasad suaminya pun ia tak datang.

Rachmawati, putri ketiga Soekarno-Fatmawati, menuliskan ihwal sikap ibunya dalam buku Bapakku Ibuku—Dia Manusia yang Kucintai dan Kukagumi (1984).

“Betapapun aku dan saudara-saudaraku serta semua orang membujuk agar Ibu berkenan pergi ke rumah sakit guna melihat Bapak untuk yang terakhir kalinya, ia tetap menolak. ‘Tidak! Di sana ada Hartini dan Dewi,’ jawabnya mantap, menyembunyikan duka hati.” Lewat dirinya, ungkap Rachmawati, ayahnya yang berstatus tahanan rumah di Wisma Yaso Jakarta, berkali-kali mengutarakan keinginannya untuk bertemu Fatmawati. Tapi jawaban ibunya selalu sama; “Tidak, Ibu tak akan mau ke sana. Di sana ada Hartini.”

Soekarno bersama putra sulung dari istri keempat Hartini: Muhammad Taufan yang meninggal -pada 1981 dalam usia 30 tahun karena kanker usus dan liver. (Foto: Instagram/@HistoriDunia2)

Tatkala Soekarno menghabiskan dua tahun sisa hidupnya sebagai tahanan politik di Wisma Yaso, Jakarta, pada 1969-1970, Hartini paling rajin menjenguknya. Hampir setiap hari ia datang membawakan jajan pasar kesukaan suami, menemani dia makan siang atau sekadar main kartu untuk menghabiskan waktu. Tak jarang ia menunggui saat presiden pertama RI tertidur di siang hari. 

Hartini sendiri, bukannya tak berupaya untuk berbaikan dengan Bu Fat [panggilan Fatmawati]. Sejak awal ia sungguh menyadari dirinya tak akan diterima dengan tangan terbuka; sebab itu tak jemu-jemu ia melakukan pendekatan. Dengan sopan berkali-kali, misalnya, ia mengirim surat ke Fatmawati untuk meminta waktu berkunjung. Tapi green light tak pernah muncul.

Ia juga berusaha keras merangkul anak-anak Soekarno-Fatmawati dengan menempuh jalan terjal nan berliku. 

Dalam buku Bapakku Ibuku—Rachmawati melukiskan hal itu. “Mula-mula kukenal ibu Hartini lewat suaranya di telepon. Dipangku Bapak, aku menerima telepon Bu Har. Suara itu kedengarannya baik dan manis. Aku masih terlalu kecil untuk dapat memahami semua persoalan keluarga. Maka jika Mas Tok (Guntur Soekarno Putra) dan Mbak Ega (Megawati Soekarno Putra) benar-benar anti istri Bapak yang bernama Hartini, aku barangkali dapat dinilai kurang bisa solider. Maklumlah umurku baru sekitar 4 tahun ketika ibu meninggalkan istana dengan marah. Bu Har selalu memanggil aku dengan sebutan mbak Rachma,” demikian tuturan dia. 

Hartini merupakan sosok perempuan Jawa yang sangat keibuan. Ia tak pernah menunjukkan rasa sedih atau jengkel ketika menghadapi anak-anak tirinya yang sekian lama acuh tak acuh kepadanya. Ia bahkan selalu manis dan tersenyum meladeni mereka dengan sikap rela seorang ibu. Jerih payahnya akhirnya membuahkan hasil. Hubungan mereka pun mencair. Tapi relasi dia dengan Fatmawati selamanya tak kunjung membaik.

Paling setia

Hartini lahir dan besar di lingkungan keluarga yang menerapkan secara ketat tata krama budaya Jawa. Wajar kalau dia kelak selalu menempatkan diri sebagai istri yang berbakti pada suami. Saat berbicara dengan Soekarno, misalnya, ia menggunakan bahasa kromo inggil. Dia setia menyiapkan segala kebutuhan sang suami.

“Kalau Bapak datang, saya lepaskan sepatunya. Sambalnya harus saya yang ngulek. Kalau sembahyang, saya yang menggelarkan sajadahnya. Pokoknya saya ingin berperan sebagai ibu, kekasih, sekaligus teman Bapak,” demikian ucapan dia dalam buku Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno.

Ketika Soekarno menghadapi masa krisis hebat setelah peristiwa 30 September 1965—terlebih sesudah keluarnya Supersemar 1966—orang yang paling dekat dan setia menemani sang proklamator tidak lain dari Hartini. Sejak peristiwa pembantaian sejumlah jenderal, kehidupan pasangan ini tak lagi berjalan normal; sudah serba tak nyaman. Soekarno ditinggalkan para pengikutnya, digerogoti berbagai penyakit, dan terus-menerus menjalani pemeriksaan rutin. Penguasa Orde baru intens menginterogasi untuk mengetahui kadar keterlibatan dia dalam peristiwa G30 September serta kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Cenderung dikucilkan, Bung Karno tidak lagi sibuk. Teman-teman dekatnya sudah tak kelihatan. Alhasil ia lebih banyak menghabiskan waktu di paviliun Istana Bogor bersama Hartini dan putra mereka: Taufan Soekarno Putra dan Bayu Soekarno Putra. Di sisi Hartini di Istana Bogor Soekarno merasa tenteram.

Rachmawati dalam buku Bapakku Ibuku mengatakan: “Hanya di sini [Istana Bogor] Bapak menemukan kembali suasana bersuami istri, semenjak kepergian ibuku dari istana di Jakarta.”

Bung Karno yang enerjik dan selalu ingin dekat dengan rakyat banyak tiba-tiba kehilangan ruang gerak. Sang rajawali gagah perkasa terkerangkeng sudah! Sungguh sebuah peranjakan suasana yang kelewat ekstrim. Wajar saja bila di tengah kesunyian dan ketiadaan kegiatan, suatu waktu ia meminta agar diadakan malam keroncong di Istana Bogor. Seniman-seniman dari Jakarta dan Bogor lantas dipanggil bermain di malam Minggu. Senang, ia pun meminta agar malam keroncong menjadi dua minggu sekali di Istana Bogor.

Hartini sedang mendampingi Presiden Soekarno di acara resmi kenegaraan. (Foto: Instagram@zakyarin97)

Maret 1967 berlangsung sidang MPRS luar biasa di Jakarta. Salah satu keputusan terpentingnya adalah menetapkan Soeharto sebagai presiden RI. Didampingi Hartini di istana Bogor, Soekarno menerima berita ini. Ia sangat terpukul. Lama ia duduk diam tanpa berkata sepatah pun.

“Akhirnya ia menarik napas panjang dan berkata, ’Aku telah berusaha memberikan segala sesuatu yang kuanggap baik bagi nusa dan bangsa Indonesia’,” demikian Hartini menirukan dalam Srihana-Srihani, Biografi Hartini Sukarno.

Setelah sidang MPRS luar biasa Soekarno dipindahkan di Istana Batu Tulis Bogor. Dari sana dialihkan ke Wisma Yaso. Isolasi terhadap dirinya semakin parah. Setelah tak berkuasa lagi ia resmi menjadi tahanan rumah. Menerima tamu ia dilarang.

Hartini sebisa mungkin selalu menyempatkan diri di sana di samping suami. Dialah istri yang paling setia mendampingi Soekarno di masa maha susah itu. Istri resmi Soekarno sembilan. Setelah dengan dia, lelaki flamboyan itu masih menikah lagi secara resmi dengan Kartini Manoppo, Naoko Nemoto (Ratna Sari Dewi), Haryatie, Yurike Sanger, dan Heidy Djafar. Di Wisma Yaso, pada masa-masa akhir hidup proklamator yang orator ulung itulah seorang Hartini kian dekat dengan putra-putri Fatmawati.

Dalam pengucilan, Soekarno yang populis dan gemar bertukar kata dengan orang banyak kian berduka dan putus asa. Penyakit semakin mendera tubuhnya. Hartini menempatkan diri sebagai pelipur lara yang selalu membesarkan hatinya. Itu ia lakukan sampai menit terakhir kehidupan presiden RI pertama.

Rachmawati mencatat itu. “Ia (Hartini) setia kepada bapakku baik dalam masa jaya sehingga pada masa kejatuhannya. Betapapun yang pernah kurasakan terhadapnya di masa-masa lalu, faktanya adalah Bu Har menemani bapak hingga akhir hayat” (Bapakku Ibuku).

Teranglah bahwa Hartini sungguh setia sebagai istri Bung Karno. Melihat realitas ini tentu tak berlebihan kalau kita sekarang mengatakan: benarlah sang proklamator waktu dia bersikukuh untuk memperistri janda muda beranak lima bernama Hartini.

Editor: Rin Hindrayati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS