PARBOABOA, Jakarta - Draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ), sampai Kamis (7/12/2023) ini masih menjadi perbincangan oleh pegiat demokrasi sampai politikus di ruang publik.
Sekadar informasi, Pasal 10 ayat (2) Draf RUU DKJ itu menyebutkan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden memperhatikan usul atau pendapat DPRD.
DPR bahkan menetapkan RUU DKJ sebagai usulan inisiatif DPR. Maka melalui regulasi tersebut, kelak mencabut status Ibu Kota Negara dari Jakarta.
Regulasi ini merupakan efek dari pindahnya Ibu Kota Negara ke Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur.
Semisal ekonom senior, Faisal Basri, mengaku heran mengapa Jakarta masih mendapat status kekhususan dalam Draft Rancangan Undang-Undang DKJ.
Padahal, ketika Jakarta tak lagi menjadi Ibu Kota Negara mestinya statusnya berubah seperti provinsi lain di Indonesia. Seharusnya tanpa kekhususan.
Perubahan status Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) setelah Ibu Kota Negara pindah ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
Maklum, bila Faisal Basri curiga kekhususan itu tetap disematkan untuk melindungi aset-aset berada di Jakarta.
"Jakarta ini akan ditinggalkan sebagai Ibu Kota, aset-asetnya luar biasa. Istana (negara) mau jadi apa? Mau jadi galeri nasional atau mau jadi diskotik. Pusat perdagangan oligarki atau apa?" ujarnya saat Koalisi Masyarakat Sipil meluncurkan paper bertajuk: Demokrasi Untuk 1%: Hadiah Jokowi Untuk Rakyat Indonesia Selama 9 Tahun, di Jakarta Pusat,Rabu (6/12/2023).
Pemilik marga Batubara itu lantas berandai-andai, saat Ibu Kota Negara benar-benar pindah ke IKN. Maka, menurut Faisal Basri, sejumlah aset negara di Jakarta berubah wajah menjadi tempat hiburan yang dikelola swasta.
Sebelumnya, mayoritas fraksi DPR menerima Draf RUU DKJ menjadi usulan inisiatif DPR. Hanya saja, fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak Draf RUU DKJ.
"PKS menolak RUU DKJ, bukan cuma waktu (pembahasan) yang mepet, tetapi pasal yang ada tidak sesuai dengan semangat demokrasi khususnya pasal 10 di mana Gubernur dan Wakil Gubernur diangkat oleh Presiden," ujar Anggota DPR Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, kepada PARBOABOA, Rabu (6/12/2023).
Mardani mengaku, PKS bisa saja setuju Jakarta dicabut statusnya sebagai Ibu Kota negara bila diberi otonomi untuk memilih DPRD dan Gubernur serta Wakil Gubernur.
"Kami bisa bersetuju bahwa DKI atau DKJ adalah daerah otonomi satu tingkat cuma milih DPRD dan Gubernur. Tapi kalau gubernurnya diangkat Presiden berarti itu mengebiri hak demokrasi warga Jakarta. Tolak rancangan UU DKJ," tuturnya.
Rupanya, penunjukkan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta oleh Presiden mengingatkan kembali ke zaman Orde Baru (Orba).
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, menyebutkan bahwa ketika zaman Orba Kepala Daerah di tingkat provinsi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Soeharto.
Sedangkan, untuk Kepala Daerah tingkat kota/kabupaten diangkat oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) persetujuan Presiden Soeharto.
"Ini mundur ke belakang, ke masa sebelum reformasi sekarang, sebelum kita mengambil jalan demokratis ya," tuturnya kepada PARBOABOA.
Editor: Ferry Sabsidi