PARBOABOA, Jakarta - Kemunculan calon presiden (capres) Ganjar Pranowo dalam video azan maghrib yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta memicu polemik publik.
Dalam video tersebut, politisi DPIP itu terlihat tengah berwudhu dan salat berjamaah di sebuah masjid dengan mengenakan baju koko putih, peci hitam dan sarung.
Awalnya, video azan dibuka dengan pemandangan alam Indonesia. Ganjar lalu muncul menyambut jemaah yang hendak salat. Ia lantas menyalami dan mempersilakan jemaah yang datang untuk masuk ke dalam masjid.
Di media sosial, pandangan warganet terbelah. Ada yang menganggap video tersebut sesuatu yang biasa, ada pula yang melihatnya sebagai politik identitas.
Hal ini tentu bisa dimaklumi, mengingat Ganjar merupakan salah satu capres yang bakal bertarung dalam Pilpres 2024. Kemunculannya di video azan di tengah konstelasi pilpres serentak menciptakan beragam asumsi, termasuk soal politik identitas.
Di kalangan pengamat dan akademisi pun punya perspektif yang berbeda soal video tersebut. Ada yang menilai kemunculan Ganjar di video azan merupakan politik identitas, ada juga yang menganggapnya sah-sah saja.
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, misalnya. Ia menduga Ganjar memang melakukan potensi politik identitas.
Karena sebelumnya, kata Nurlia, Ganjar tidak pernah akrab dengan situasi yang lekat dengan simbol keagamaan. Melalui video tayangan azan maghrib, Ganjar berupaya memperlihatkan citra dirinya yang identik dengan umat Islam.
Pengamat pemilu, Kaka Sumita, juga mempunyai perspektif yang sama. Bagi Kaka, tayangan video azan yang menampakkan wajah Ganjar sudah termasuk politisasi identitas.
Menurut Kaka, Ganjar menonjolkan agama atau keyakinannya yang patut diduga hendak memengaruhi pilihan publik pada kontestasi Pilpres 2024 mendatang.
Meski pun dalam video tersebut tidak ada ajakan atau seruan untuk memilih kandidat tertentu, kata Kaka, namun jika diputar secara berulang, maka akan masuk ke memori publik yang pada akhirnya bisa mempengaruhi pilihan politik.
Kaka menegaskan, politik identitas tidak boleh dipersempit hanya pada ada atau tidaknya ajakan atau seruan memilih kandidat tertentu. Menurutnya, politik identitas bisa dibaca dalam konteks ketika seorang kandidat menonjolkan identitasnya entah agama, suku, ras golongan atau kelompok tertentu.
Kaka kemudian membeberkan temuan lembaganya soal politik identitas yang kerap dimainkan sejumlah kandidat. Yang paling nyata terlihat, kata dia, di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilpres 2019 lalu.
Kala itu, calon inkumben Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dijegal oleh isu agama dengan narasi bahwa Ahok yang beragama Kristen tidak layak memimpin Jakarta yang adalah mayoritas Islam. Hal ini diperparah dengan pernyataan kontroversi Ahok di Kepulauan Seribu terkait surat Al-Maidah ayat 51.
Sementara, pada Pemilu 2019, politik identitas juga menyerang capres Joko Widodo yang disebut berasal dari keturunan PKI dan anti-Islam.
Kaka tak memungkiri, bahwa politik identitas adalah cara kampanye paling mudah dan murah untuk merebut suara pemilih. Berbeda ketika para kandidat menjual visi dan misi yang dinilainya membutuhkan kerja keras untuk menyusun dan kecermatan untuk menyampaikannya agar dipahami publik.
Di sisi lain, sebagian publik akan lebih mudah terpengaruh dengan narasi agama ketimbang mencermati program-program yang dirancang. Padahal, program dan visi misi kandidat sangat penting diketahui untuk mempermudah pengawasan di masa depan.
Berbeda dengan Pengamat politik Hendri Satrio, yang mengaggap video azan sesuatu yang lumrah. Ia mengatakan, Ganjar mempunyai target politik di balik tayangan video tersebut, yakni berupaya menarik suara dari kelompok sosiologis atau kalangan umat Islam.
Karena itu, Hendri menegaskan, tidak ada salah jika Gubernur Jawa Tengah dua periode itu mempromosikan dirinya. Bagi Hendri, yang tidak boleh dilakukan dalam politik identitas adalah menyuarakan reward atau punishment.
Misalnya, kalau tidak pilih Ganjar akan masuk neraka, atau sebaliknya, kalau pilih Ganjar akan masuk surga. Hal ini, kata Hendri, akan berdampak pada perpecahan dan konflik horizontal di tengah masyarakat.
Selain itu, Hendri mengingatkan bahwa akan ada banyak kandidat capres dan cawapres yang menjual ke-Islamannya atau ke-Jawaannya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu.
Sama seperti Kaka, Hendri sepakat bahwa politik identitas merupakan cara marketing politik yang paling mudah untuk meraih suara publik.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebelumnya sudah menerima surat klarifikasi dari TV swasta yang menayangkan video azan tersebut.
Ketua KPI Pusat Ubaidillah mengatakan, pihaknya sedang mengkaji surat tersebut dan hasilnya akan segera diumumkan ke publik.
Sementara itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu akan menyurati partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024 yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden (bacapres).
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja juga meminta parpol pengusung capres tertentu untuk menahan diri melakukan sosialisasi frekuensi publik. Selain karena pendaftaran calon presiden belum dimulai, kata dia, tahapan kampanye juga belum berlangsung.
Bawaslu juga belum menyimpulkan ada tidaknya pelanggaran yang terjadi terkait kemunculan Ganjar pada video azan maghrib tersebut.
Bagja mengingatkan bahwa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15/2023 soal Kampanye Pemilu tidak memperkenankan sosialisasi pada frekuensi publik.
Mengingat Ganjar sampai saat ini belum resmi ditetapkan sebagai calon presiden Pemilu 2024, Bawaslu hanya akan menyurati partai politik sebagai bentuk imbauan.
Sekilas tentang politik identitas
Secara historis, politik identitas muncul bersamaan dengan pengalaman traumatis, situasi ketertindasan dan diskriminasi yang dialami oleh kelompok atau komunitas tertentu.
Profesor Filsafat Magniz Suseno, dalam Jurnal Filsaf yang diterbitkan STF Driyakara berjudul "Politik Identitas? Renungan Tentang Makna Kebangsaan" mendefinisikan politik identitas sebagai usaha politik untuk mengakhiri situasi terhina, terabaikan, tereksploitasi, untuk memperoleh pengakuan dan keadilan.
Maka tujuan politik identitas, menurut Magniz, bukan sekadar menyasar aspek politik, ekonomi atau tindakan administratif, tetapi lebih merupakan upaya untuk mencari keadilan, pengakuan akan identitas, hingga berakhirnya tindakan diskriminasi.
Politik identitas dapat ditemukan di sejumlah negara dan dalam berbagai bentuk. Misalnya, gerakan Black Power di Amerika Serikat, yang bertujuan untuk mengakhiri penindasan terhadap orang-orang negro.
Demikian pula, nasionalisme bangsa-bangsa tertindas seperti Polandia, Timor Leste, dan Palestina juga mencerminkan politik identitas yang berjuang untuk pengakuan dan keadilan.
Indonesia, kata Magniz, juga memainkan narasi yang sama. Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil kesadaran kolektif sebagai suatu bangsa, setelah melewati pengalaman traumatis dijajah, dihina, dan didiskriminasi, yang kemudian menyatakan diri dalam Sumpah Pemuda dan mencapai tujuannya dalam Indonesia Merdeka.
Achmad Fachrudin dalam buku 'Konflik Politik Identitas' menjelaskan, politik identitas merupakan aliran politik yang melibatkan seseorang atau kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan karakteristik, seperti agama, suku, etnisitas, gender, dan jenis kelaminnya.
Secara lebih luas, politik identitas juga bisa dimaknai sebagai aktivitas yang menjadikan identitas, baik agama, etnis, kebudayaan atau pun bahasa, sebagai metode atau strategi untuk memperoleh kekuasaan tertentu.
Namun, politik identitas dapat menjadi bermasalah jika disalahgunakan. Misalnya, penggunaan narasi agama yang provokatif untuk menjatuhkan lawan politik, pemisahan antara mayoritas dan minoritas, atau larangan memilih pemimpin minoritas; yang pada akhirnya dapat mengganggu keakraban sebagai suatu bangsa.
Menurut Fachrudin, pada tingkat yang lebih ekstrem, politik identitas jika disalahgunakan dapat berujung pada fasisme atau separatisme, yang berpotensi memecah belah bangsa.
Editor: Andy Tandang