PARBOABOA, Pematangsiantar - Badai pasir ganas kerap melanda sejumlah negara di kawasan Timur Tengah dalam beberapa waktu terakhir. Terbaru, bencana ini membuat ribuan orang dilarikan ke rumah sakit akibat sesak napas.
Dilansir AFP, Jumat (20/5/2022), di Irak, sedikitnya 4.000 orang dirawat di rumah sakit karena mengalami masalah pernapasan akibat badai pasir yang juga mengakibatkan penutupan bandara, sekolah, dan kantor polisi di seantero negeri.
Badai pasir yang terjadi pada Senin lalu adalah yang kedelapan sejak pertengahan April. Debu tebal menyelimuti ibu kota Irak, Baghdad, dengan suasana sekitar menjadi berwarna oranye.
Sementara di Uni Emirat Arab (UEA), pada Rabu, gedung tertinggi di dunia Burj Khalifa seolah menghilang saat badai pasir melanda.
Bangunan setinggi 828 meter di kota Dubai itu seolah tenggelam ditelan badai pasir. UEA dan Irak merupakan dua di antara negara dalam jalur badai pasir bersama Kuwait, Arab Saudi, Iran dan lainnya dalam beberapa hari terakhir.
Menurut waqi.info dan aplikasi polusi Plume, indeks kualitas udara (AQI) ibu kota Abu Dhabi melonjak ke zona berbahaya dalam semalam.
Belakangan, badai pasir di Timur Tengah menjadi lebih sering dan intens. Situasi itu dikaitkan dengan eksploitasi alam seperti aktivitas peternakan berlebihan, penggundulan hutan, penggunaan air sungai yang berlebihan, dan makin banyaknya bendungan.
Para ahli mengatakan fenomena itu bisa memburuk karena perubahan iklim membelokkan pola cuaca regional dan mendorong terjadinya gurun.
Ahli dari Institut Timur Tengah Banafsheh Keynoush mengatakan, badai pasir sering berasal dari negara yang memiliki vegetasi terbatas.
Kondisi tersebut membuat angin kencang badai terbentuk dan terbawa ke area pemukiman karena tak adanya hambatan dari vegetasi.
Adapun sejumlah ahli lain di wilayah Iran dan Irak menilai, badai pasir mungkin diperparah akibat kesalahan pengelolaan sumber daya air di kedua negara itu.
Di mana di Iran dan Irak, sungai-sungai mengering sehingga frekuensi badai menjadi besar.
Grafik Pusat Meteorologi Nasional UEA menunjukkan hampir semua negara dilewati badai pasir. Secara bergantian muncul peringatan "Waspada: peristiwa cuaca berbahaya diperkirakan terjadi."
Data menunjukkan angin dengan kecepatan hingga 40 kilometer per jam menerbangkan pasir sehingga mengurangi jarak pandang di beberapa daerah menjadi kurang dari 2.000 meter.
Dikutip dari The National News, orang-orang di kawasan Teluk Arab kerap kali menyebut badai pasir dengan “Shamal” yang berarti angin utara.
Hal ini merujuk pada fenomena arah angin saat badai terjadi. Meski demikian belum diketahui sepenuhnya mengenai apa penyebab badai.
Akan tetapi, sejumlah ahli mengaitkannya dengan deforestasi dan penggurunan.
Sementara itu, ahli meteorologi di Pusat Prediksi Badai Pasir dan Debu Organisasi Meteorologi Dunia Enric Terradellas mengatakan, peningkatan frekuensi badai pasir disebabkan penurunan aliran sungai di Iran dan Irak karena adanya pembangunan bendungan.
“Salah satu sumber utama badai pasir dan debu adalah Irak, di mana aliran sungai berkurang karena perlombaan dalam pembangunan bendungan di kawasan hulu,” kata Terradellas.
Ia menyebut, hilangnya rawa-rawa dan mengeringnya danau serta sedimen yang tertinggal adalah sumber debu yang berperan menimbulkan badai pasir di wilayah itu.
Meskipun badai pasir yang terjadi telah mempengaruhi sektor kesehatan dan ekonomi wilayah tersebut, namun sejumlah ahli mengatakan badai tersebut membawa nutrisi dari Sahara.
Diketahui, sejumlah negara Timur Tengah saat ini mencoba mengatasi masalah badai pasir ini.
Arab Saudi memiliki rencana yang disebut “Inisiatif Hijau Saudi dan Inisiatif Timur Tengah Hijau” guna mengurangi emisi karbon 60 persen dengan cara menanam 50 miliar pohon.
Upaya penghijauan terbesar di dunia ini diharapkan bisa mengurangi terjadinya badai pasir di Arab Saudi maupun Timur Tengah.
Adapun UEA tengah berinvestasi dalam bidang teknologi yang berupaya menyiapkan negara itu menghadapi potensi badai pasir, salah satunya adalah peluncuran sistem prakiraan badai pasir secara real time pada 2016.