PARBOABOA, Jakarta - Kemacetan lalu lintas yang tak kunjung reda di Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) telah menjadi bencana ekonomi.
Menurut data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), kemacetan tersebut telah menimbulkan kerugian sebesar Rp100 triliun per tahun.
Kerugian ini tidak hanya mencakup biaya operasional yang semestinya dapat digunakan untuk mengurangi kemacetan itu sendiri, tetapi juga dampak-dampak serius yang merasuki berbagai aspek masyarakat dan lingkungan.
Beberapa dari dampak ini termasuk peningkatan konsumsi bahan bakar yang mencapai 2,2 juta liter per hari, kerugian produktivitas akibat keterlambatan di tempat kerja, serta dampak buruk pada lingkungan yang memerlukan biaya penanganan.
Sementara itu, Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kemacetan diakibatkan oleh jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta yang terus meningkat dalam lima tahun terakhir.
Tercatat, jumlah kendaraan bermotor di Ibu Kota mencapai 26,37 juta unit pada 2022. Jumlah ini meningkat 4,39 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 25,26 juta unit.
Pada 2020 jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta sebanyak 24,26 juta unit. Angka tersebut naik dari 2019 sebanyak 23,86 juta unit dan dari 2018 sebanyak 22,49 juta unit.
Berdasarkan jenisnya, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta pada 2022 paling banyak berupa sepeda motor. Terdapat 17,3 juta unit sepeda motor atau setara 65,6 persen dari total kendaraan bermotor di kota tersebut.
Kemudian terdapat 3,76 juta mobil penumpang, 748,39 ribu unit truk, dan 37,18 ribu unit bus di DKI Jakarta pada 2022.
Enggan Menggunakan Kendaraan Umum jadi Penyebab Kemacetan
Penggunaan kendaraan umum dinilai cukup efektif untuk mengurangi kemacetan. Di Jakarta sendiri, terdapat beberapa jenis kendaraan umum, di antaranya TransJakarta atau yang biasa dikenal dengan Tije, angkutan kota (angkot), dan kereta api.
Namun, masyarakat tampaknya masih enggan beralih dari kendaraan pribadi sehingga harus menghabiskan waktu berjam-jam di jalan.
Darmaningtyas, seorang Pengamat transportasi dari Institusi Studi Transportasi (Instran), menyarankan penerapan aturan wajib menggunakan angkutan umum secara bergiliran sebagai solusi potensial.
Misalnya, setiap Senin, lembaga pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi, serta Kementerian Pendidikan dan Dinas Pendidikan, diharuskan menggunakan angkutan umum.
Kemudian giliran instansi perhubungan seperti Kemenhub, Dinas Perhubungan, biro-biro perjalanan wisata dan lainnya setiap Selasa. Begitu seterusnya untuk instansi pemerintah lainnya.
"Setiap hari bukan hanya Senin atau Selasa tertentu. Itu pasti dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan meningkatkan keterisian angkutan umum," katanya kepada PARBOABOA, Selasa (31/10/2023).
Selain itu, Darmaningtyas mengusulkan agar penegakan hukuman lebih tegas terhadap kendaraan yang parkir di jalan dan trotoar.
Dia juga mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengimplementasikan aturan dalam Perda Nomor 5/2014 tentang Transportasi di Jakarta yang mengharuskan pemilik mobil memiliki garasi.
“Tidak usah bikin MRT (mass rapid transit) atau LRT (light rail transit). Cara-cara seperti itu sudah bisa mengatasi kemacetan. Kalau hal-hal seperti itu tidak ditangani, meskipun bikin LRT atau MRT, kemacetan akan tetap terjadi,” imbuh Darmaningtyas.
Editor: Wenti Ayu