Co-Firing Biomassa: Solusi Hijau atau Krisis Baru?

Jaringan Anti Asap Indramayu (Jatayu) dan Aliansi Bersihkan Indramayu (ALBIN) melakukan aksi damai di depan PLTU Indramayu 1. (Foto: trendasia.org)

PARBOABOA, Jakarta - Penerapan teknologi co-firing biomassa sedang digencarkan pemerintah untuk mempercepat transisi energi bersih.

Dalam Konferensi Perubahan Iklim Ke-28 di Dubai, Uni Emirat Arab pada 2023 lalu, Indonesia menegaskan komitmennya untuk mencapai emisi nol persen pada 2060 atau bahkan lebih cepat. 

Janji ini sangat penting mengingat Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat emisi tertinggi di dunia, sehingga langkah konkret diperlukan untuk mengatasi krisis iklim.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sendiri menegaskan komitmen untuk mencapai target penyerapan karbon bersih (net carbon sink) di sektor kehutanan dan lahan pada 2030.

Sebagai langkah nyata untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan batu bara, pemerintah telah menetapkan Kebijakan Energi Nasional. 

Berbagai regulasi lainnya juga dikeluarkan untuk mendukung tercapainya target penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025.

PLN, sebagai salah satu pelaku utama di sektor energi, turut mendukung upaya ini dengan berbagai strategi kreatif dan inovatif. 

Mereka memprioritaskan pengembangan EBT, serta mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dengan memanfaatkan gas buang sebagai sumber energi alternatif. 

Tidak berhenti di situ, PLN juga fokus pada penggunaan biomassa sebagai pengganti batu bara dan penerapan teknologi rendah karbon yang lebih efisien untuk pembangkit listrik.

Penerapan co-firing sebagai inovasi terbaru, dengan demikian menjadi terobosan penting untuk mewujudkan visi Indonesia bebas karbon sebagaimana digaungkan pemerintah.  

Langkah tersebut sejalan dengan Roadmap Konservasi Energi yang mencantumkan inisiatif co-firing sebagai salah satu upaya dalam penyediaan energi listrik yang lebih ramah lingkungan.

Peta Persebaran Co-Firing 

Dalam upaya mendukung pengembangan EBT di Indonesia, PLN telah menetapkan rencana ambisius untuk mengimplementasikan teknologi co-firing pada 52 unit PLTU di berbagai wilayah.

Co-firing adalah teknologi substitusi batu bara dengan biomassa dalam rasio tertentu, seperti wood pellet, cangkang sawit, dan serbuk gergaji (sawdust). 

Sejak Maret 2021, PLN telah menjalankan uji coba co-firing di 26 PLTU dengan porsi biomassa yang berkisar antara 1 hingga 5 persen.

PLN menargetkan kapasitas total co-firing di PLTU mencapai 18 GW pada 2024 dan diharapkan mampu mempercepat pemanfaatan EBT tanpa perlu membangun pembangkit baru.

Dari total 26 PLTU yang ditargetkan pemerintah, 13 di antaranya sukses mengimplementasikan co-firing secara komersial, dengan persebaran di Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok. 

Beberapa PLTU tersebut antara lain:

1. PLTU Paiton – 800 MW (Sawdust)

2. PLTU Jeranjang – 150 MW (SRF – Sampah)

3. PLTU Sanggau – 14 MW (Cangkang Sawit)

4. PLTU Suralaya – 1600 MW (Sekam Padi)

5. PLTU Ketapang – 20 MW (Cangkang Sawit)

6. PLTU Barru – 100 MW (SRF – Sampah)

7. PLTU Pacitan – 630 MW (Sawdust)

8. PLTU Rembang – 630 MW (Wood Pellet)

9. PLTU Adipala – 660 MW (Sawdust)

10. PLTU Labuan – 600 MW (SRF – Sampah)

11. PLTU Lontar – 945 MW (Sekam Padi)

12. PLTU Anggrek – 56 MW (SRF – Sampah)

13. PLTU Pelabuhan Ratu – 1050 MW (Sawdust)

Secara kumulatif, pada semester pertama tahun 2023, penggunaan biomassa telah mencapai 0,4 juta ton, dan diharapkan mencapai 1 juta ton di akhir tahun. 

Angka tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 0,58 juta dan tahun 2021 yang mengena angka 0,29 juta ton. Target ini akan bertambah hingga 10 juta ton pada tahun 2025.

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, merinci penerapan co-firing di wilayah Sumatera dan Kalimantan (Sumkal) telah mencapai total 38.547 ton. 

Sementara di Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara (Sulmapana) tercatat sebesar 12.445 ton, serta di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) sebesar 353.575 ton biomassa.

“PLN akan terus bergerak, dengan target tambahan dua PLTU lagi hingga akhir tahun, sehingga total menjadi 40 PLTU yang telah menerapkan co-firing," ungkap Darmawan. 

Ia juga menyebut bahwa PLN sedang berupaya mencapai 52 PLTU pada 2025, sehingga co-firing biomassa dapat menyumbang 12% dari total bauran EBT di tahun tersebut.

Untuk mendukung target dekarbonisasi sebesar 954 ribu ton CO2 pada tahun 2023, PLN telah merancang peta jalan nasional program co-firing hingga 2025. 

PLN juga terus berinovasi dalam menjaga rantai pasok biomassa ke pembangkit, dengan memanfaatkan jalur laut, serta menjalin kerja sama dengan pemerintah dan pemangku kepentingan.

“Implementasi teknologi ini bukan hanya sekadar langkah pengurangan emisi, tetapi juga menciptakan ekosistem energi kerakyatan. Di mana listrik yang dihasilkan dari kontribusi rakyat, kembali dinikmati oleh rakyat,” tutup Darmawan.

Kurangi CO2?

Penggunaan teknologi co-firing dalam pembangkit listrik disinyalir sebagai solusi untuk mengurangi emisi karbon. 

Riset Dhiyanti Nawang Palupi dan timnya (2024) mengungkapkan bahwa teknologi co-firing terbukti efektif dalam menurunkan emisi dan menghemat Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik. 

Menurut mereka, pembangkit listrik yang menggunakan kombinasi biomassa dan batu bara memiliki potensi besar mengurangi emisi karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NOx), dan sulfur oksida (SOx).

Namun, klaim ini ternyata tidak sepenuhnya benar. Selama dua dekade terakhir, sektor energi justru menjadi penyumbang utama emisi karbon di Indonesia, dengan kontribusi sebesar 32% dari total emisi. 

Data Emissions Database for Global Atmospheric Research menunjukkan bahwa Indonesia termasuk dalam 10 negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, dengan kontribusi sebesar 1,80%.

Lebih dari itu, aktivitas pembukaan lahan dan pembakaran biomassa di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dinilai menciptakan utang karbon yang sulit dilunasi hanya dengan menanam hutan energi. 

Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) bahkan menemukan skema co-firing biomassa yang justru memperburuk kualitas udara karena adanya pelepasan gas amonia dan partikel halus yang berbahaya bagi pernapasan.

Temuan CREA sejalan dengan pendapat Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin, yang menyorot klaim pengurangan emisi karbon sebesar 1,05 juta ton melalui co-firing adalah tidak akurat. 

Ia mencatat bahwa di Jawa Barat, khususnya di PLTU I Indramayu dan PLTU Pelabuhan Ratu, justru terjadi peningkatan pencemaran udara yang semakin parah akibat aktivitas cerobong PLTU.

"Segala sesuatu yang dibakar pasti menghasilkan emisi. Jika kita beralih dari energi fosil ke biomassa tetapi tetap melakukan pembakaran, bagaimana kita bisa mengklaim pengurangan emisi?" pungkas Anggi Prayoga dari Forest Watch Indonesia. 

Fakta yang terjadi di Jawa Barat memperlihatkan tingkat polusi udara yang tertinggi dan berdampak serius pada penurunan harapan hidup bagi 45 juta penduduknya. 

Temuan Trend Asia menunjukkan bahwa co-firing di 52 PLTU bisa menghasilkan emisi hingga 26,48 juta ton setara karbon atau dua kali lipat dari perhitungan PLN.

Lebih jauh, Trend Asia juga menyebutkan penggunaan teknologi co-firing berpotensi menyebabkan deforestasi seluas 2,33 juta hektare akibat pemanfaatan biomassa dari pohon.

Dengan demikian, klaim bahwa co-firing menurunkan emisi karbon perlu direvisi kembali, mengingat teknologi tersebut justru berdampak meningkatkan emisi, memperburuk kualitas lingkungan, dan mengancam kesehatan masyarakat.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS