Cerita Fikry Korban Salah Tangkap Polisi: Dipaksa Mengaku sebagai Begal, Disiksa hingga Dipenjara

Fikry (kiri) bersama tiga temannya saat dibawa ke Polsek Tambelang, Kabupaten Bekasi. (Foto: Dok Rusin)

PARBOABOA, Jakarta - Muhammad Fikry (21) masih ingat betul kejadian nahas yang menimpanya hingga menjadi korban salah tangkap polisi.

Peristiwa yang terjadi pada 26 Juli 2021 itu membuatnya terpaksa mengaku sebagai begal oleh aparat keamanan.

Fikry lantas menceritakan mulanya ia menjadi korban salah tangkap polisi.

Pada 26 Juli 2021 sore, Fikry bersama Abdul Rohman (22), Randi Apriyanto (21) dan Muhammad Rizky (21) tengah asyik nongkrong di warung kopi (Warkop) miliknya di desa Wanasari, Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Kemudian, sekira pukul 18.00 WIB, warkop Fikry dihampiri 4 mobil pribadi yang berisi polisi berseragam preman.

Saat itu Fikry dan temannya langsung dibawa oleh polisi yang keluar dari 4 mobil pribadi tersebut tanpa basa basi, tanpa pula menunjukkan identitas, surat tugas dan surat perintah penangkapan.

“Saya tanya saya salah apa, dia enggak jawab, cuma bilang, udah ikut aja. Dengan polosnya, saya ngikut aja,” ujar Fikry kepada PARBOABOA.

Bahkan saat itu, lanjut Fikry, penangkapannya disaksikan ayahnya, Rusin.

Kala itu Rusin hanya bisa pasrah dan bingung melihat anaknya dibawa polisi. Ia hanya sempat bertanya, "Anak saya mau dibawa kemana Pak? Mereka kenapa?” tanya Rusin.

Pertanyaan Rusin hanya dijawab polisi dengan “Bapak tenang aja, kalau anak Bapak nggak bersalah nanti juga dilepas,” ujar Rusin mengingat kembali kejadian kelam itu.

Fikry dan ketiga temannya lantas digelandang ke Polsek Tambelang, Kabupaten Bekasi yang jaraknya sekitar 30 menit dari warung kopi. Mereka lantas digiring ke Gedung Telkom yang letaknya sekitar 30 meter dari Polsek Tambelang. Gedung itu sepi dan tak ada aktivitas.

Polisi membawa Fikry dan temannya dengan mata tertutup lakban dan tangan terborgol. Di Gedung Telkom itu lah mereka dipaksa mengaku sebagai begal, perbuatan yang sama sekali tidak pernah mereka lakukan.

“Polisi ngomong gini, lu begal ya? Lu begal ya? Begal apa Pak? Saya enggak tahu,” cerita Fikry.

Ia hanya mengingat sekitar 10 hingga 15 orang polisi yang mencecarnya dan 3 temannya kala itu.

Tidak mendapat jawaban yang diinginkan, polisi kemudian menyiksa dan terus memaksa Fikry dan temannya untuk mengakui perbuatan yang tak pernah mereka lakukan itu.

“Dipukul pakai tangan kosong, kepala saya dilempar batu sampai bocor, terus saya ditempeli besi panas di badan, kaki dan muka, terus teman saya kupingnya ditembak,” ucap Fikry.

“Saya 8 jam disiksa. Dari jam 8 malam sampai jam 4 pagi,” sambungnya.

Fikry saat berada di tahanan Polsek Tambelang. (Foto: Dok Rusin) 


Penyiksaan kepada Fikry dan 3 temannya belum berakhir. Keesokan harinya, mereka dibawa ke ruang tahanan Polsek Tambelang. Di sana, mereka kembali disiksa dengan membenturkan kepala Fikry ke tembok tahanan.

Penyiksaan kembali terjadi saat mereka dibawa ke ruangan untuk diperiksa penyidik untuk keperluan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Saat itu, Fikry dan 3 temannya lagi-lagi dipaksa mengakui perbuatan mereka agar tidak disiksa.

“Kita kan ngeyel, karena enggak mengakui, kaki kita digencet sama kaki meja. Jadi, meja diangkat terus kaki meja ditaruh tuh di jempol kaki kita, terus diduduki sama polisi. Sampai kuku pecah,” ucap Fikry.

“Kalau kita nggak jawab seperti keinginan mereka saat di-BAP, maka akan ditodong tembakan. Intinya, yang satu nanya, yang satu lagi siap menyiksa," jelasnya.

Tak tahan dengan penyiksaan, akhirnya Fikry dan teman-teman mengakui perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan itu.

“Setelah mereka mendapatkan pengakuan kita, udah penyiksaannya setop. Enggak ada lagi penyiksaan karena mereka sudah mendapatkan pengakuan dari kita berempat,” ucapnya.

Bahkan luka-luka yang didapat saat menjadi korban penyiksaan pun tak diobati polisi selama di tahanan.

“Tugas polisi cuma ngasih makan. Itu luka-luka sembuh dengan sendirinya," ungkap Fikry.

Diseret ke Meja Hijau dan Divonis Bersalah

Fikry (tengah) bersama ayahnya (kedua dari kiri) didampingi LBH Jakarta mengajukan permohonan ganti rugi. (Foto: LBH Jakarta) 


Setelah terpaksa mengaku, Fikry akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan divonis penjara. Ia terpaksa harus merasakan dinginnya jeruji besi atas perbuatan yang tak pernah ia lakukan. Total masa tahanan yang ia jalani yaitu 5 bulan di tahanan Polsek, seminggu di Polres, dan 4 bulan di Lapas Cipayung, Cikarang.

Dalam dakwaan jaksa, Fikry dan 3 temannya dituduh melakukan pencurian disertai kekerasan di Jalan Raya Sukaraja, Desa Sukaraja, Kecamatan Tambelang pada 24 Juli 2021. Sidang tuduhan pembegalan itu berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Cikarang, Jawa Barat.

Dalam sidang tersebut, Fikry dan 3 temannya dituntut penjara 2 tahun karena melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebagaimana diatur Pasal 365 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam persidangan terungkap fakta bahwa Fikry ada di musala yang menjadi tempat kejadian perkara (TKP) begal dan terekam melalui kamera pengawas (CCTV). Bahkan, aktivitas Fikry di musala yang terekam CCTV dibenarkan pakar telematika, Roy Suryo yang saat itu menjadi saksi ahli di persidangan kasus pembegalan (dikutip dari salinan Putusan PN Cikarang Nomor 697/Pid.B/2021/PN Ckr).

Setelahnya, majelis hakim yang memeriksa perkara itu tetap memutuskan Fikry dan 3 temannya bersalah melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan.

Majelis memvonis Abdul Rohman dengan penjara 10 bulan. Sementara Fikry, Randi, dan Rizki divonis dengan pidana penjara masing-masing 9 bulan.

Tak terima dengan putusan itu, Fikry lantas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung untuk kasus ini hingga akhirnya PT Bandung melalui putusan Nomor 170PID/2022/PTBDG menyatakan, Fikry bebas dari segala dakwaan.

Pada pokoknya, Fikry dinyatakan tidak pernah berada di lokasi kejadian dan waktu tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.
Putusan itu juga diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1351 K/Pid/2022 pada tingkat kasasi.

Setelah disiksa dan dituduh sebagai begal, Fikry merasa trauma. Ia bahkan takut bila bertemu orang banyak dan melihat polisi.

"Sering ngerasa trauma. Dampak parahnya psikis saya terganggu. Takut ketemu orang banyak, trauma kalo lihat polisi," ujar Fikry.

Kini, ia sudah ikhlas dirinya menjadi korban salah tangkap dan penyiksaan polisi. Fikry hanya berharap tak ada lagi korban seperti dirinya.

"Harapan cuma satu sih, Polri kedepannya mengoreksi diri terus mengubah kultur penyiksaan tersebut agar tidak terjadi lagi korban salah tangkap dan penyiksaan," pungkas Muhammad Fikry.

Editor: Kurnia
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS