PARBOABOA, Jakarta – Visi misi para calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) sedang diuji untuk mengukur keberpihakannya terhadap isu-isu penting dan strategis di tengah masyarakat.
Salah satu isu penting harus yang diperhatikan adalah tata-kelola pendidikan yang baik untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing tinggi.
Sejauh ini, ketiga pasangan capres-cawapres memang telah mempublikasikan garis besar peta jalan mereka untuk mendukung iklim pendidikan yang nyaman dan bermutu.
Pasangan Ganjar-Mahfud misalnya, menekankan pentingnya integrasi pendidikan dan vokasi, wajib belajar 12 tahun gratis, satu keluarga miskin satu sarjana dan kesejahteraan dosen.
Sementara itu, Pasangan Anies-Cak Imin (Amin), memetakan tata kelola pendidikan dari aspek keterjangkauan biaya pendidikan, Institusi pendidikan berbasis agama, pendidikan berkeadilan dan kesejahteraan guru.
Tak jauh berbeda, Prabowo-Gibran juga menekankan hal yang kurang lebih sama, yakni membangun sekolah unggul dan integritas dan menaikkan gaji guru ASN dan dosen.
Komitmen ketiga capres-cawapres di atas menjadi cikal-bakal untuk memastikan prospek dan kemajuan pendidikan Indonesia di masa-masa yang akan datang.
Lantas, apakah yang telah dirumuskan masing-masing capres-cawapres dapat mengurai benang kusut persolan pendidikan di Indonesia saat ini?
Normatif
Pengamat Pendidikan, Doni Kusuma menilai, apa yang dirumuskan para capres-cawapres untuk mengentas persoalan pendidikan, belum menyentuh aspek fundamental demi mendukung tata kelola pendidikan yang berkualitas di Indonesia saat ini.
"Sejauh ini saya belum melihat ada komitmen yang fundamental dari ketiga capres tentang pendidikan," kata Doni dalam keterangan tertulisnya kepada PARBOABOA, Senin (20/11/2023).
Menurutnya, apa yang diuraikan ketiga capres-cawapres masih bersifat normatif, sehingga membuat publik tidak mendapat gambaran yang jelas bagaimana visi-misi tersebut akan direalisasikan.
"Dari 3 capres ini, yang tidak dijelaskan dalam visi-misi adalah strateginya. Kerena ketiganya masih sangat normatif, kita tidak punya gambaran bagaimana ketiga capres mencapainya," kata Doni.
Doni menerangkan, seharusnya visi-misi yang dirumuskan harus lebih konkrit dengan mengacu pada pada kondisi rill persoalan pendidikan di Indonesia.
Salah satu tantangan pendidikan saat ini, terang Doni adalah ketidaksiapan menghadapi guncangan teknologi digital sehingga membuat peserta didik kelabakan menghadapi setiap perubahan.
"Isu penting adalah transformasi sistem pendidikan menghadapi era digital dan kecerdasan buatan. Sistem harus ditata ulang agar pendidikan efektif," katanya.
Sementara itu, ketika disinggung soal efektivitas kurikulum merdeka, untuk mendeteksi problem kesiapan infrastruktur teknologi digital di setiap satuan pendidikan, Doni mengatakan tidak berpengaruh signifikan.
Ia mengatakan, secara teknis mungkin saja aturannya ada, tetapi hal ini berbenturan dengan kepemimpinan menteri pendidikan, Kebudayaan, Ristek dan Teknologi Nadiem Makarim yang ia nilai anti kritik dan mau menang sendiri.
"Kemendikbud sekarang anti kritik. Merasa benar sendiri dan tidak mendengarkan kritik masyarakat," pungkasnya.
Doni mengatakan, anti kritik kepemimpinan Nadiem Makarim tidak hanya terkait penguatan pendidikan berbasis digitalisasi, tetapi juga menyasar aspek fundamental keberadaan para guru saat ini.
"Yang terakhir masalah ketidakpastian nasib guru P3K dan ketidakadilan lulusan PGSD yg bisa diikuti oleh semua jurusan saat melamar PGSD," kata Doni.
Sebagaimana diketahui, syarat menjadi guru P3K saat ini hanya berlaku bagi guru hononer yang mengabdi di sekolah negeri, tidak berlaku bagi mereka di sekolah swasta, sekalipun mereka telah lama mengabdi.
Sementara itu, para guru tamatan PGSD mendapati ketidakadilan, karena formasi yang dikhususkan bagi mereka justru diberikan juga kepada tamatan jurusan lain.
Karena itu, Doni meminta komitmen para capres-cawapres, agar kelak, jika terpilih harus mampu memilih menteri yang paham dan mengerti betul persolan pendidikan dengan seluruh kompleksitasnya.
"Capres harus memilih Mendikbud yang paham persoalan pendidikan di Indonesia dan tahu cara penyelesaiannya," tutupnya.
Kualitas Pendidikan Indonesia
Tingkat kualitas pendidikan Indonesia saat ini memang amat memprihatinkan. Berdasarkan Rilis Worltop20.org, yang dihimpun dari data 6 organisasi internasional, pendidikan Indonesia berada di Posisi 67 dalam rangking dunia.
Beberapa Indikator yang survei adalah tingkat pendaftaran sekolah anak usia dini, tingkat penyelesaian Sekolah Dasar (SD), tingkat penyelesaian Sekolah Menegah (SMP), Tingkat Penyelesaian Sekolah Menengah Atas (SMA) dan tingkat kelulusan di Perguruan Tinggi (PT).
Indonesia, dari beberapa Indikator itu memperoleh skor sebagai berikut: Pendaftaran sekolah anak usia dini (68%), tamat SD (100%), Tamat SMP (91,19%), tamat SMA (78%) dan Sarjana (19%).
Peringkat Indonesia persis berada di bawah Albina (66) dan di atas Sebia (68). Sementara itu peringkat pertama ditempati oleh Denmark, menyusul Korea Selatan, Netherlands, Jerman, dan peringkat ke-5, Irlandia.
Kemudian dari peringkat 6-10, secara berurutan masing-masing ditempati, Swedia, Finlandia, Slovenia, Perancis dan Belgia.
Negara-negara di Kawasan ASEAN sendiri tidak satu pun yang masuk ke daftar 20 besar negara dengan kualitas pendidikan terbaik.
Survei ini dilakukan oleh 6 lembaga internasional, yaitu PIRLS, TIMSS, EIU, UNESOC, PISA dan OECD.
Editor: Rian