PARBOABOA, Jakarta - Fadli Zon dihadapkan dengan tantangan besar sebagai Menteri Kebudayaan pertama di Indonesia.
Dalam 100 hari kerja, ia diharapkan mampu membangun fondasi kuat untuk pengembangan dan pemajuan kebudayaan di Indonesia.
Pemisahan kementerian khusus kebudayaan dari Kementerian Pendidikan menjadi langkah awal yang strategis, namun tugas besar menanti.
Akademisi dan pengamat budaya, Hikmat Darmawan, mengungkapkan bahwa Indonesia sebenarnya telah memiliki dasar yang cukup kuat melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Namun, keberadaan UU ini perlu dimaksimalkan untuk menjawab tantangan yang ada. Salah satu langkah penting adalah melakukan pemetaan masalah yang komprehensif.
“Pemetaan berdasarkan kemajuan budaya itu harus jelas, menguatkan yang sudah bagus dan menambah yang belum ada,” ujar Hikmat akhir Oktober 2024 lalu.
Ia menyoroti posisi dana kebudayaan sebagai salah satu elemen yang sudah ada tetapi belum optimal. Faktanya, masih banyak wilayah di Indonesia yang belum memperoleh akses setara.
Layanan bantuan (helpdesk) yang tersedia untuk mendukung pelaku seni budaya, misalnya dinilai belum berfungsi secara optimal.
Banyak pelaku seni yang membutuhkan informasi langsung dari penyelenggara harus menunggu hingga satu minggu untuk mendapatkan respons. Situasi ini diperparah ketika berurusan dengan administrasi yang mandek.
Beberapa penerima dana mengeluhkan bahwa lambatnya respons dari helpdesk sering kali berdampak pada keterlambatan pencairan dana tahap berikutnya.
"Dana kebudayaan harus dikuatkan karena masih belum 100 persen optimal," tegasnya.
Hikmat juga menekankan pentingnya kebijakan yang mendukung pengembangan kebudayaan di berbagai wilayah.
“Ada wilayah pengembangan yang belum tergarap. Kebijakan harus menjadi fondasi memajukan budaya yang sudah ada. Apakah itu dengan masuk ke ekonomi digital atau membangun infrastruktur budaya,” katanya.
Keberagaman Ruang Berkarya
Dalam sektor film, Hikmat menyoroti pentingnya membangun pasar yang lebih majemuk, memperbanyak tempat pemutaran film, dan mendorong keberagaman produksi. Fokusnya tidak boleh hanya di kota-kota besar seperti Jabodetabek.
Hal serupa juga berlaku untuk seni tari dan seni pertunjukan, yang memerlukan ruang seni berjenjang untuk berbagai jenis seni.
Selain itu, Hikmat mengingatkan bahwa perhatian Fadli Zon dan Kementerian Kebudayaan tidak boleh hanya terfokus pada budaya tradisional.
"Yang kontemporer juga [diperhatikan]. Kekayaan budaya Indonesia sangat besar," ujarnya.
Hikmat juga mengapresiasi konsep “lumbung” yang diperkenalkan pada Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2023.
Konsep ini mengedepankan kolaborasi antara berbagai pihak, antara lain kurator, komunitas, dan pelaku seni budaya untuk menghasilkan gagasan dan inovasi bersama.
Dengan pendekatan tersebut, Hikmat berharap seluruh elemen budaya dapat ikut terlibat dalam pemajuan kebudayaan.
Meski pelestarian tetap penting, ia mengingatkan bahwa kebudayaan tidak hanya tentang mempertahankan, tetapi juga memanfaatkan dan mengembangkan.
Ia memberikan contoh inovasi di Museum Nasional yang mengubah cara pandang publik terhadap benda-benda bersejarah, seperti penggunaan teknologi hologram.
“Orang jadi mendapatkan makna dari benda-benda yang disimpan, tidak hanya arkeolog atau karyawisata saja yang menganggapnya penting,” jelasnya.
Hikmat juga menekankan bahwa budaya akan lestari jika dimajukan. Artinya ada aspek pemanfaatan dan pengembangan yang dilakukan dari waktu ke waktu.
Semuanya akan menjadi lengkap jika Menteri Kebudayaan membangun diplomasi budaya dibanding sekadar melawan klaim budaya sepihak dari pihak luar.
“Ketimbang ribut soal klaim di media sosial, repatriasi itu lebih penting. Masih banyak yang harus kita ambil kembali,” tegasnya.
Dengan visi dan langkah yang tepat, Fadli Zon memiliki peluang besar untuk membawa kebudayaan Indonesia melangkah lebih jauh untuk membangun fondasi masa depan yang kokoh.