parboaboa

Bamsoet Dorong Wacana Rekonsiliasi Nasional, Pengamat: Apa Urgensinya?

Norben Syukur | Politik | 21-05-2024

Ketua MPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet (Foto: Instagram @Bambang.Soesatyo)

PARBOABOA, Jakarta - Wacana rekonsiliasi politik nasional hampir tak berkesudahan. Sejak pengumuman pemenang Pilpres 2024 oleh KPU 24 April lalu, rencana ini terus bergulir liar tanpa terkendali.

Beberapa waktu lalu misalnya, wacana pertemuan Prabowo dan Megawati menguat di tengah isu politik lainnya.

Saat itu, para penggagas ide tersebut menyebutnya sebagai momentum rekonsiliasi kebangsaan pasca pemilu 2024. Namun sampai hari ini, agenda besar itu menguap begitu saja, entah ke mana.

Kendati demikian, wacana rekonsiliasi kembali mencuat ke publik dengan inisiator yang berbeda. Kali ini Ketua MPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengambil peran sebagai sutradara.

Kepada media dan publik, Bamsoet mempublikasikan rencananya dan tim akan menyelenggarakan rekonsiliasi nasional.

Tujuannya untuk mempertemukan para calon presiden pada Pilpres 2024, yakni Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. Ia mengaku acara ini digagasnya bersama politikus Maruarar Sirait.

Bamsoet menyampaikan hal ini saat memberikan sambutan dalam acara “Tribute to Akbar Tandjung” di Gedung Nusantara IV DPR Senayan, Jakarta, Sabtu (19/05/2024).

Ia menjelaskan bahwa pihaknya sudah menyiapkan sebuah gagasan rekonsiliasi nasional, "agendanya mempertemukan dalam suatu forum diskusi yang hangat, bicara tentang bangsa dan negara antara 01, 02, dan 03 dalam waktu dekat ini."

Bamsoet kemudian mengundang para aktivis nasional untuk ikut membantu upaya rekonsiliasi nasional tersebut.

Ia beralasan tantangan bangsa ke depan akan semakin berat, maka agenda rekonsiliasi ini sangat diperlukan.

Menurutnya, saat ini sangat diperlukan kekompakan, gotong-royong, dan saling memahami.

Saling mendukung satu sama lain antara presiden terpilih Prabowo Subianto dan presiden Jokowi serta presiden-presiden sebelumnya, "mesti menjadi satu membangun bangsa dan negara ke depan," kata Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini mengungkapkan, pertemuan rekonsiliasi antara kubu 01, 02, dan 03 ini nantinya akan membicarakan masalah-masalah terkait masa depan bangsa dan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa.

Selain itu, sambungnya, untuk memotivasi bahwa kontestasi sudah berakhir dan kini waktunya bahu-membahu membangun bangsa.

Walau demikian, di tengah jamaknya rencana rekonsiliasi ini, publik mengantongi banyak pertanyaan termasuk soal urgensi dari agenda tersebut.

Bukan Rekonsiliasi tapi Suara Profetis

Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Jefri San mengapresiasi rencana yang dicanangkan oleh Bamsoet dan kawan-kawan tersebut.

Namun Jefri mempertanyakan dalam konteks apa rekonsiliasi nasional diselenggarakan. "Saya kira itu bukan istilah yang tepat," jelasnya kepada PARBOABOA, Selasa (21/05/2024).

Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rekonsiliasi diartikan sebagai perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula atau perbuatan menyelesaikan perbedaan.

Sementara dalam teori perdamaian, rekonsiliasi juga digambarkan sebagai produk penutupan dan penyembuhan; “Penutupan dalam arti tidak membuka permusuhan, penyembuhan dalam arti direhabilitasi” (Galtung 1998: 65).

Andrew Schapp dalam studinya pada tahun 2003 berjudul, Political Reconciliation memaparkan, rekonsiliasi politik merupakan sebuah aspirasi yang menopang politik dengan membingkai sebuah pertemuan antara musuh-musuh.

Di mana mereka dapat memperdebatkan kemungkinan dan syarat-syarat untuk bersatu.

Rekonsiliasi menjadi langkah penting untuk menghilangkan ketidakpercayaan dan kebencian yang memicu berulangnya konflik.

Selain itu, langkah ini dibuat untuk mencapai konsolidasi perdamaian, dan memungkinkan terwujudnya perdamaian yang berkelanjutan.

Seperti yang ditulis Nutfah dan Anwar dalam Jurnal Kritis tahun I (I) 2015 bahwa tujuan dari rekonsiliasi adalah untuk mendorong proses perdamaian berkelanjutan pasca-konflik dengan melakukan pendekatan.

Jefri lantas menjelaskan jika mengacu pada konsep rekonsiliasi, seakan-akan Indonesia sedang dilanda konflik politik, baik antar parpol maupun antar kelompok kepentingan.

Menurut dia, polarisasi pasca Pilpres 2024 tidak separah dengan pemilu 2014 dan 2019. Yang pecah itu, sambung Jefri, mungkin hanya keluarga presiden dengan partainya, yang lain tidak.

"Karena itu memang konsekuensi dari proses pemilu, ada kawan dan ada lawan, kalah menang itu wajar," jelasnya.

Dia menegaskan, rakyat sudah dewasa dalam berdemokrasi. Sehingga dalam situasi saat ini, suara profetis dari para tokoh bangsa sangat dibutuhkan untuk mengimbangi lemahnya oposisi di parlemen dan pemerintahan.

Demokrasi itu, ungkap Jefri, sejatinya harus bising, ada gagasan di ruang publik, sebab roh utama demokrasi adalah kebebasan berpendapat.

Bangsa yang maju, tambahnya, selalu dimulai dari pengamalan nilai-nilai demokrasi, bukan malah diredam.

Sehingga menurut dia, yang perlu dicemaskan itu, gerakan para elit ini didorong oleh agenda politik pribadi yang justru jauh dari kebutuhan masyarakat seperti petani dan nelayan di desa.

Mereka sedang butuh keadilan sosial, butuh kepastian hukum dan pembasmian radikalisme, serta butuh implementasi gagasan atau visi misi dari Presiden terpilih.

Karena itu, dia berharap tokoh bangsa lebih mendarat, menginisiasi program yang tidak abstrak dan hanya berujung sertifikat, "tetapi kerja konkrit untuk pembangunan Indonesia menuju bangsa yang maju dan mandiri," tandasnya.

Sementara Founder dan Direktur The Indonesian Agora Research Center dan Ranaka Institute, menilai apa yang disampaikan oleh Bamsoet itu pertama-tama hanya sebagai upaya "cek ombak" saja.

Bamsoet, kata dia, hanya mau melihat bagaimana respons atau feedback dari kubu Ganjar atau Anies terkait upaya rekonsiliasi nasional yang diinisiasi oleh paslon pemenang.

Respons kubu Anies atau Ganjar itu kemudian menjadi basis bagi Bamsoet dan kubunya untuk mendesain konsolidasi politik selanjutnya.

Dalam konteks internal Parpol Golkar, menurut Ferdi ucapan Bamsoet itu juga boleh dibaca sebagai cara Bamsoet untuk merebut panggung politik dari Ketum Golkar sekarang.

Sebab, sejatinya upaya rekonsiliasi macam itu harus diinisiasi oleh Ketum Parpol pengusung. Ketum Parpol pengusunglah yang punya tanggung jawab politik untuk melakukan lobi-lobi semacam itu.

“Dalam konteks ini, Bamsoet mungkin saja mau menunjukkan bahwa ia mempunyai kemampuan untuk melakukan lobi politik yang melampaui kapasitas Ketum Golkar sekarang,” jelasnya kepada PARBOABOA, Selasa (21/05/2024).

Namun, secara prinsipil, Ferdi melihat tidak ada urgensi rekonsiliasi nasional saat ini. Pasca Pilpres Februari lalu, friksi dan polarisasi politik di tengah masyarakat tidak begitu genting dan menakutkan.

Malahan, alumnus Filsafat IFTK Ledalero melihat, kebutuhan yang paling mendesak saat ini ialah memperkuat oposisi untuk menjaga keseimbangan pemerintahan yang akan datang.

Lebih lanjut ia menjelaskan, jika ada elite politik yang menginginkan rekonsiliasi, perlu dicurigai. Itu hanya permainan bahasa.

Sebetulnya yang terjadi adalah bukan upaya rekonsiliasi, melainkan upaya rekonsolidasi kepentingan oligarki.

Ferdi menerangkan, dalam sejarah politik Indonesia memang tidak ada koalisi yang usianya lebih dari setahun.

Sebab watak Parpol kita dari dulu sampai sekarang sangat pragmatis. “Pragmatisme itu menguat karena begitu besarnya pengaruh oligarki dalam tubuh Parpol,” terang Ferdi.

Andaikan saja kubu Ganjar dan Anies, sambungnya, terbuai dengan tawaran rekonsiliasi itu, mau tidak mau kita harus mendorong agar masyarakat sipil memperkuat gerakan "oposisi rakyat."

“Itulah satu-satunya harapan yang tersisa untuk menjaga cek and balances dalam demokrasi Indonesia lima tahun ke depan,” tutupnya.

Editor : Norben Syukur

Tag : #Rekonsiliasi Nasional    #Bambang Soesatyo    #Politik    #Ketua MPR RI    #Partai Golkar   

BACA JUGA

BERITA TERBARU