PARBOABOA, Jakarta - Masalah penagihan utang seringkali menjadi perdebatan di tengah masyarakat, terutama menyangkut batasan yang harus dipatuhi oleh debt collector atau pihak penagih utang.
Salah satu pertanyaan yang kerap muncul adalah: apakah debt collector berhak menagih utang kepada keluarga debitur yang tidak terlibat langsung dalam perjanjian utang-piutang?
Di lapangan, tidak jarang ditemukan kasus di mana keluarga atau kerabat debitur, seperti orang tua, pasangan, hingga anak, ikut mendapatkan tekanan dan intimidasi agar melunasi utang yang belum diselesaikan.
Situasi ini tentu menimbulkan keresahan dan kebingungan mengenai hak-hak dan kewajiban pihak terkait.
Secara hukum, aturan mengenai utang dan penagihannya sudah diatur dalam beberapa peraturan di Indonesia, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Namun, praktiknya tidak selalu sejalan dengan ketentuan hukum tersebut. Debt collector, dalam beberapa kasus, memanfaatkan tekanan emosional kepada keluarga untuk memaksa pembayaran, terutama ketika debitur tidak dapat dihubungi.
Karena itu, pertanyaan besar yang harus dijawab adalah, apakah ada dasar hukum yang memperbolehkan debt collector menagih kepada keluarga? Atau justru tindakan tersebut melanggar hak-hak keluarga yang seharusnya dilindungi dari penagihan?
Salah satu aturan penagihan oleh debt collector diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan ini dirancang untuk melindungi konsumen dari praktik penagihan yang tidak sesuai dengan prosedur dan memastikan bahwa hak-hak debitur tetap terjaga.
Dalam aturan tersebut, debt collector diwajibkan bekerja secara profesional, mengikuti kode etik, dan menjaga agar proses penagihan dilakukan dengan wajar tanpa memberikan tekanan berlebihan kepada debitur maupun keluarganya.
Debt collector juga dilarang keras menggunakan kekerasan atau ancaman selama proses penagihan. Informasi pribadi debitur harus dijaga kerahasiaannya dan tidak boleh disebarluaskan kepada pihak yang tidak berkepentingan.
Prinsip utama yang berlaku adalah bahwa penagihan utang hanya dapat dilakukan kepada pihak yang secara langsung terikat dalam perjanjian utang-piutang, yakni antara debitur dan kreditur.
Dengan demikian, keluarga atau pihak lain yang tidak terlibat dalam perjanjian tersebut tidak memiliki kewajiban untuk membayar utang tersebut.
Pengecualian terjadi jika salah satu anggota keluarga telah terlibat sebagai penjamin dalam perjanjian. Dalam kasus ini, jika debitur utama gagal melunasi kewajibannya, debt collector berhak menagih kepada penjamin sebagai bentuk pertanggungjawaban yang sah.
Di luar kasus penjaminan, penagihan kepada keluarga yang tidak terlibat dalam perjanjian dianggap sebagai pelanggaran aturan dan melanggar prinsip etika penagihan.
Itu artinya, debt collector tidak boleh menekan atau memaksa anggota keluarga untuk membayar utang yang bukan tanggung jawab mereka.
Namun, jika debt collector tetap ngotot melakukannya, apalagi sampai mengancam dan menyita barang pribadi, Anda tidak perlu khawatir.
Praktisi Hukum, Alexander Lay dari dari Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi menyatakan, penyitaan barang-barang milik debitur yang wanprestasi hanya bisa dilakukan atas dasar putusan pengadilan.
Selain itu, debt collector yang mengambil atau menyita barang-barang milik debitur tanpa izin, kata dia "bisa dijerat dengan pidana, sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)."
Sementara itu, jika pengambilan dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum, pelaku dapat dikenakan Pasal 362 KUHP tentang pencurian, yang ancaman hukumannya adalah penjara hingga lima tahun atau denda.
Lalu, apabila penagihan disertai dengan kekerasan atau ancaman, maka pelaku bisa dijerat dengan Pasal 365 ayat (1) KUHP, yang memuat ancaman pidana hingga sembilan tahun penjara.
Tindakan seperti ini tidak hanya melanggar hukum pidana, tetapi juga membuka ruang bagi korban untuk menempuh jalur hukum perdata. Karena itu, Anda bisa melaporkan kejadian tersebut kepada kepolisian jika menemukan indikasi kekerasan atau penyitaan barang secara paksa.
Munir Fuady, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, menjelaskan bahwa tindakan pemilikan tidak sah atau pemanfaatan barang orang lain tanpa izin (conversion) termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum.
Untuk memenuhi unsur ini, harus ada tindakan nyata dari pelaku, dengan tujuan mengambil atau menguasai barang yang menjadi hak pihak lain tanpa persetujuan pemilik. Tindakan tersebut dapat berupa pengambilalihan paksa, penolakan untuk mengembalikan barang, memindahkan barang tanpa izin, atau memberikan barang kepada pihak ketiga.
Munir juga menyatakan bahwa jika suatu perbuatan memenuhi unsur tindak pidana dan perbuatan melawan hukum sekaligus, kedua sanksi, pidana dan perdata dapat diterapkan bersamaan.
Artinya, korban berhak menuntut ganti rugi secara perdata melalui gugatan, dan, di saat yang sama, pelaku dapat diproses secara pidana.
Dengan demikian, jika Anda atau pihak lain mengalami kerugian akibat tindakan debt collector yang menyita barang secara melawan hukum, Anda memiliki hak untuk menempuh dua jalur sekaligus: mengajukan laporan pidana ke polisi dan mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan.
Editor: Gregorius Agung