PARBOABOA, Jakarta - Hari Buruh Internasional diperingati setiap tahunnya pada 1 Mei. Momentum ini menandai perayaan penting bagi kelas buruh dan pekerja di seluruh dunia dalam usaha memperjuangkan hak-hak sebagai pekerja yang adil.
Hal yang lazim terjadi di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia, buruh sering mengadakan demonstrasi di jalan untuk menyampaikan keinginan dan tuntutan mereka demi peningkatan kesejahteraan.
Dalam peringatan May Day 2024, aksi ini melibatkan berbagai serikat pekerja dari sektor industri dan non-industri yang berkumpul di Bundaran HI, Jakarta.
Salah satu yang unik dari pemandangan tersebut adalah kehadiran Serikat Pekerja Kampus (SPK), yang terdiri dari dosen dan staf pendidikan dari Universitas Negeri dan Swasta di Indonesia.
SPK tampil memperjuangkan kesejahteraan dengan menyoroti peningkatan biaya hidup dan liberalisasi pendidikan yang semakin menguat.
Ketua SPK, Dhia Al Uyun, menyatakan dari riset yang dilakukan lembaga yang ia pimpin tersebut, banyak dosen dan staf di Indonesia yang mendapat gaji di bawah upah minimum regional.
Menurutnya, kondisi ini mengganggu fokus dan efektivitas mereka dalam mengajar dan melakukan riset.
Dhia lebih lanjut menyerukan kepada rekan-rekan dosen di seluruh Indonesia untuk bersatu dalam serikat. Ajakannya ini bertujuan untuk menyatuhkan kekuatan dalam merespon kodisi upah yang mereka alami.
Apalagi katanya, hasil riset SPK pada awal 2023 yang mengungkap bahwa sebagian besar dosen mendapat gaji bersih kurang dari Rp 3 juta, bahkan setelah bertugas lebih dari enam tahun.
Kondisi ini juga memaksa banyak dosen untuk mencari pekerjaan tambahan, yang berdampak pada kualitas pendidikan yang mereka berikan.
Lebih kritis lagi bagi dosen di Universitas Swasta, yang memiliki risiko tujuh kali lebih besar untuk mendapatkan gaji bersih di bawah Rp 2 juta. Sebanyak 61% merasa bahwa kompensasi yang diterima tidak sepadan dengan beban kerja dan kualifikasi mereka.
Fajri Siregar dari tim Litbang SPK pada kesempatan yang sama menekankan bahwa ada kesadaran di kalangan dosen tentang kurangnya penghargaan dan kemungkinan mendapatkan upah lebih di tempat lain, yang mempengaruhi motivasi dan keterlibatan mereka dalam tugas.
Bertolak dari situasi ini, SPK pun menyerukan perubahan kebijakan yang mendasar untuk meningkatkan kesejahteraan dosen dan staf kampus. Pertama, peningkatan gaji pokok. Kedua, penyesuaian upah berdasarkan faktor regional dan institusi.
Ketiga, re-evaluasi beban kerja. Keempat, revisi peraturan pendidikan nasional. Kelima, peningkatan transparansi dan pemberdayaan di tingkat institusi.
Mereka berpendapat bahwa kesejahteraan dosen dan staf kampus adalah investasi penting bagi masa depan bangsa, dan dengan kondisi kerja yang adil dan kompetitif.
“Kami mendorong revisi kebijakan substansial untuk memastikan kompensasi dan kondisi kerja yang adil dan kondusif bagi pendidikan dan riset berkualitas tinggi,” kata Fajri.
SPK berharap dengan implementasi rekomendasi ini, dapat tercipta lingkungan kerja yang lebih adil dan kondusif.yang tidak hanya meningkatkan kesejahteraan dosen dan staf kampus, tetapi juga kualitas pendidikan dan riset di Indonesia secara umum.
Sejarah Dibentuknya SPK
Melansir situs resminya, SPK merupakan sebuah serikat pekerja yang berfokus pada peningkatan kesejahteraan bagi para pekerja di sektor pendidikan tinggi.
Situs tersebut menyatakan bahwa setiap individu yang bekerja dalam lembaga perguruan tinggi memegang peran sebagai pekerja kampus, yang berkontribusi pada pencapaian tujuan pendidikan tinggi melalui produksi pengetahuan dan penghasilan lulusan yang berkualitas.
SPK didirikan untuk memastikan pemenuhan hak-hak dasar bagi seluruh pekerja kampus yang berupaya mencapai tujuan pendidikan tersebut.
Pada tanggal 17 Agustus 2023 lalu, para pekerja kampus dari seluruh Indonesia berkumpul di Salemba, Jakarta Pusat, untuk mengadakan kongres pendirian serikat ini.
Kongres ini merupakan buah kerjasama dosen lebih dari 100 universitas di Indonesia yang bergabung pada lembaga tersebut.
Pendirian serikat ini merupakan respons terhadap Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional (PermenPAN-RB), yang dinilai memiliki dampak negatif terhadap dosen dan pekerja lainnya di lingkungan kampus.
Peraturan tersebut dianggap diterapkan secara sepihak tanpa keterlibatan partisipatif, mengatur penilaian kinerja dengan ketat yang berfokus pada pencapaian target atas perintah pimpinan.
Peraturan itu juga mengintegrasikan kinerja dosen ke dalam struktur birokrasi yang menghambat kreativitas demi nama institusi. Ini juga menambah beban administratif yang semakin berat.
Awalnya, SPK dibentuk untuk memperjuangkan hak dosen, namun kemudian para pendiri menyadari bahwa pekerja kampus tidak hanya meliputi dosen, melainkan juga tenaga kependidikan, keamanan, kebersihan, serta asisten dosen dan pekerja magang.
Mereka kemudian mengembangkan SPK untuk menjadi wadah bagi semua pekerja kampus yang ingin berorganisasi, tanpa memandang jenis atau status pekerjaannya.
Penelitian dari Tim Riset Kesejahteraan Dosen mengungkapkan bahwa sekitar 42.9% dosen masih menerima gaji di bawah Rp 3 juta per bulan sampai saat ini.
Sementara itu, Tim Perumusan Masalah Komite Persiapan Pembentukan Serikat Pekerja Kampus menemukan bahwa 58% tenaga kependidikan penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidup.
Diketahuisaat ini SPK memiliki anggota aktif 94 orang yang dipimpin oleh Dhia Al-Uyun, seorang dosen dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Editor: Norben Syukur