Generasi Muda Enggan Bertani: Ancaman bagi Keberlanjutan Pertanian di Simalungun

Seorang Petani sedang melakukan proses pengolahan tanah di Desa Wonorejo, Kecamatan Pematang Bandar. (PARBOABOA/Jeff Gultom)

PARBOABOA, Simalungun - Para petani di Kecamatan Pematang Bandar, Simalungun sedang dihantui kekhawatiran.

Pasalnya, minat generasi muda untuk bertani, khususnya sebagai buruh tani penanam padi terus menurun.

Tren ini diprediksi dapat mengancam keberlangsungan sektor pertanian dalam lima tahun ke depan, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian desa.

Nursaman, seorang petani berusia 65 tahun yang juga menjabat sebagai Ketua Kelompok Tani (Poktan) Tunas Muda di Desa Wonorejo merasakan kegelisahan ini. 

Ia mengaku cemas jika sesekali kondisi tersebut membuat sektor pertanian tidak lagi diminati.

"Sekarang, buruh tani untuk penanaman di generasi penerus hampir tidak ada lagi, sedangkan yang tua sudah mulai mundur," ujarnya kepada Parboaboa, Kamis (8/8/2024).

Para perempuan juga, kata dia, tak lagi berminat untuk bertani. Dulu misalnya, para istri berusia 30 tahun masih aktif turun ke sawah sebagai buruh tani penanam padi. Namun, seiring waktu, keadaan berubah drastis.

"Kemajuan teknologi menjadi salah satu penyebabnya, selain itu sekarang mencari uang juga sudah tidak harus jadi buruh tani lagi, bisa online dan lain-lain," katanya.

Nursaman memperkirakan, dalam 2-3 tahun ke depan, tenaga buruh tani penanaman padi akan semakin berkurang.

Sambil melihat ke arah petani yang sedang menanam padi, dengan penuh prihatin ia berujar, "kalau bapak lihat, dalam proses penanaman itu saya tidak tega lagi. Sekarang, buruh tani yang menanam sudah di atas 60 tahun."

"Generasi yang berumur 30-an tidak mau lagi jadi buruh tani," tambahnya.

Ia menambahkan, fenomena ini tidak hanya sekedar menurunnya jumlah buruh tani, tetapi juga terkait pandangan sosial yang berlaku di kalangan pemuda setempat.

Apalagi, di sana aktivitas menanam padi seringkali diasosiasikan sebagai pekerjaan perempuan, membuat laki-laki tidak terlalu berminat.

"Gengsi lah, Pak,' mereka bilang, takut dikira banci," ujar Nursaman sambil tertawa kecil.

Di tengah krisis regenerasi ini, teknologi mulai mengambil alih sebagian pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh tenaga manusia. Narsuman mengatakan, meski hal ini memudahkan pekerjaan tetapi upaya menjaga keberlanjutan sektor pertanian tetap menjadi prioritas.

Nursaman mencatat, hampir separuh anggota Kelompok Tani Tunas Muda kini sudah menggunakan mesin yang disediakan pemerintah, termasuk mesin pemanen. Biasanya, tegas Nursaman, "kalau pakai mesin, biayanya 35 ribu, sedangkan untuk buruh tani manual 55 ribu."

Namun, anehnya tegas Nursaman, dibanding jumlah buruh tanam yang terus menurun, buruh pemanen justru semakin banyak terutama di saat musim panen tiba.

"Mereka seperti burung, di mana ada panen di situ mereka berebut. Bukan hanya di kecamatan ini saja, tapi di kecamatan lain juga sama. Pemuda-pemuda buruh tani itu cepat mengambil pekerjaan itu," katanya.  

Fenomena penurunan jumlah buruh tani perempuan penanam padi di daerah itu diakui oleh Kushandani (47), Penyuluh Pertanian BPP Kecamatan Pematang Bandar.

"Kalau kita lihat Sekarang, di musim ini, umur 30-an adalah yang paling muda. Generasi yang berumur 20-an belum ada sama sekali," ungkapnya kepada Parboaboa, Kamis (8/8/2024).

Menurutnya, perkembangan teknologi dan perubahan sosial, seperti pernikahan muda, menjadi penyebab utama menurunnya minat para wanita menjadi buruh tanam. 

Dengan semakin jarangnya wanita muda yang mau menjadi buruh tanam, dampaknya semakin terasa. Kata Kushandani, "generasi sekarang lebih memilih pekerjaan lain yang mungkin dianggap lebih nyaman."

Namun begitu, meskipun jumlah buruh tanam berkurang, Kushandani mencatat bahwa jumlah buruh panen justru meningkat setiap tahunnya. Pekerjaan ini masih diminati, terutama oleh kaum pria dan lulusan SMA.

"Khusus di Pematang Bandar ini, di mana ada padi kuning, pasti ada orang Pematang Bandar," pungkasnya.

Di sisi lain, Siti, wanita berusia 22 tahun dari Desa Wonorejo, Kecamatan Pematang Bandar, memutuskan untuk tidak mengikuti jejak orang tuanya sebagai buruh tani. 

Setelah melihat kerja keras dan kelelahan yang dialami orang tuanya sebagai buruh tani penanaman, Siti memilih untuk mencari peluang kerja lain yang lebih sesuai dengan kemajuan teknologi saat ini.

Sejak lulus SMA, Siti menyadari bahwa pekerjaan buruh tani yang dulu menjadi keharusan bagi keluarganya kini tidak lagi relevan baginya. 

"Melihat orang tua saya yang bekerja keras setiap hari di ladang, saya tahu betapa melelahkannya pekerjaan itu, Bang," ungkap Siti kepada Parboaboa.

Kini, dengan kemajuan teknologi dan banyaknya peluang kerja baru, Siti ingin mencari jalan yang berbeda. Dia lebih tertarik mencoba berbagai usaha seperti menjual aneka minuman dan berjualan online, yang dianggapnya lebih menjanjikan dan tidak seberat pekerjaan di ladang.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS