PARBOABOA, Jakarta - Kekerasan di tempat kerja kembali menjadi sorotan setelah sebuah kasus mencuat di Jakarta Timur.
Insiden penganiayaan yang dilakukan oleh George Sugama Halim (GSH), anak pemilik sebuah toko roti, mengingatkan kita bahwa kekerasan semacam ini dapat terjadi di mana saja, menimpa siapa saja, dan membawa dampak buruk bagi para korban.
Pada 17 Oktober 2024, GSH melakukan tindakan penganiayaan terhadap seorang pegawai wanita bernama DA di kawasan Penggilingan, Cakung, Jakarta Timur.
Peristiwa ini bermula ketika GSH meminta DA mengantarkan makanan ke kamar pribadinya.
DA menolak permintaan tersebut karena merasa itu bukan tugasnya dan sedang menyelesaikan pekerjaan lain.
Penolakan ini memicu amarah GSH yang kemudian menyerang DA dengan melemparkan kursi dan mesin EDC.
Akibatnya, DA mengalami luka serius berupa pendarahan di kepala bagian kiri.
DA segera melaporkan insiden ini ke Polres Metro Jakarta Timur pada 18 Oktober 2024.
Dalam waktu singkat, pihak kepolisian mengumpulkan bukti, termasuk hasil visum dan rekaman video yang viral di media sosial.
Proses hukum pun berjalan dengan cepat, dan pada 14 Desember 2024, kasus ini resmi naik ke tahap penyidikan.
Pelaku, yang sempat melarikan diri, akhirnya ditangkap di sebuah hotel di Sukabumi, Jawa Barat, pada 15 Desember 2024.
Kini, GSH menghadapi ancaman hukuman maksimal 2,5 tahun penjara sesuai Pasal 351 KUHP.
Kekerasan di Tempat Kerja
Kekerasan di tempat kerja tidak selalu berupa tindakan fisik. Pelecehan verbal, intimidasi, hingga perlakuan yang merendahkan martabat karyawan juga termasuk dalam kategori ini.
Dampaknya tidak hanya pada kesehatan fisik dan mental pekerja, tetapi juga pada produktivitas dan kesejahteraan keluarga mereka.
Data menunjukkan bahwa kasus seperti ini tidak jarang terjadi. Lingkungan kerja yang tidak aman dapat menciptakan ketakutan dan tekanan psikologis bagi karyawan.
Oleh karena itu, perlindungan terhadap pekerja menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan.
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki regulasi yang melindungi hak-hak pekerja. Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28G UUD 1945 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri, rasa aman, dan bebas dari perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
Jika kekerasan di tempat kerja terjadi, korban dapat melaporkan insiden tersebut ke pihak berwenang.
Pasal 310 KUHP memberikan dasar hukum untuk menuntut pelaku yang menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.
Dalam kasus kekerasan fisik seperti yang dialami DA, Pasal 351 KUHP menjadi landasan hukum yang digunakan.
Selain itu, pekerja juga dapat melaporkan tindakan kekerasan kepada atasan atau instansi yang menangani urusan ketenagakerjaan.
Jika penyelesaian internal tidak membuahkan hasil, konflik dapat diselesaikan melalui perundingan antara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha.
Proses ini bertujuan untuk menemukan solusi yang menguntungkan semua pihak.
Pencegahan kekerasan di tempat kerja memerlukan peran aktif dari berbagai pihak, termasuk pengusaha, pekerja, dan pemerintah.
Pengusaha harus menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman dengan menerapkan kebijakan nol toleransi terhadap kekerasan dan pelecehan.
Sementara itu, pekerja harus didorong untuk melaporkan setiap bentuk kekerasan yang mereka alami atau saksikan.
Pemerintah juga memiliki peran penting dalam mengawasi pelaksanaan aturan di tempat kerja.
Pengawasan ketat oleh instansi ketenagakerjaan dapat mencegah terjadinya kekerasan dan memastikan bahwa pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal.
Kasus kekerasan yang menimpa DA adalah pengingat bahwa perlindungan terhadap pekerja masih membutuhkan perhatian serius.
Regulasi yang ada sudah cukup kuat, tetapi implementasinya seringkali menghadapi tantangan di lapangan.
Saatnya semua pihak mengambil peran untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi semua.