PARBOABOA, Pematangsiantar - Sedikitnya 145 orang tewas dalam bentrokan antara kelompok Arab dan non-Arab di Darfur, Sudan, pada Selasa waktu setempat.
Dilansir Associated Press, Rabu (15/6/2022), mengutip keterangan kantor PBB untuk Kemanusiaan (OCHA), kekerasan yang terjadi di Afrika timur itu juga melukai 180 orang.
Menurut OCHA konflik antara suku Arab Rizeigat dan suku non-Arab Gimir pecah pada 6 Juni di distrik Kolbus, yang berjarak sekitar 160 kilometer dari negara bagian Darfur Barat, El Geneina.
Bentrok bermula dari sengketa tanah antara dua orang yang berbeda suku. Akan tetapi, konflik kemudian meluas dan melibatkan beberapa anggota dari kedua suku tersebut.
Akibatnya, sebanyak 101 orang dari suku Gimir dan 25 orang dari suku Rizeigat tewas. OCHA juga menyebut 25 desa di Kulbus telah diserang, dijarah, dan dibakar.
Peristiwa itu memaksa lebih dari 50.000 orang di Darfur barat mengungsi. Sementara di Kordofan selatan sedikitnya 19 orang dilaporkan tewas, sementara 54 orang terluka dalam bentrok antarsuku lainnya awal bulan ini, lapor OCHA.
Pemimpin suku Gimir, Ibrahim Hashem mengatakan situasi di seluruh desa di sekitar Kolbus masih tegang.
Ia juga menambahkanjika pemerintah telah menyiagakan sejumlah unit Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di beberapa desa di Gimir.
RSF kebanyakan beranggotakan warga Arab yang sempat menjadi militan di kelompok Janjaweed. Mereka kerap menekan pemberontakan bersenjata yang dilakukan minoritas non-Arab Darfur pada 2003.
Konflik di Darfur bermula di tahun 2003, ketika etnis Afrika memberontak. Mereka menuduh jika pemerintahan Presiden Al-Bashir yang didominasi suku Arab di ibu kota Khartoum melakukan diskriminasi.
Al-Bashir sendiri kini telah mendekam di penjara sejak digulingkan pada 2019. Ia didakwa melakukan genosida serta kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Pengadilan Kriminal Internasional.