PARBOABOA – Fenomena Waithood atau menunda pernikahan semakin populer di kalangan perempuan, khususnya kaum milenial.
Beberapa alasannya termasuk beban sebagai sandwich generation dan trauma yang dialami kalangan milenial khususnya perempuan.
Dilansir dari laman The Conversation, Senin (01/07/2024), ketidakstabilan ekonomi global tidak hanya menciptakan ketakutan atas daya tahan negara dari krisis, melainkan juga pada mindset kolektif tentang seksualitas, makna pernikahan serta keturunan.
Masalah yang bertumpuk tentang kesetaraan gender, ketimpangan ekonomi dan pendidikan. Selain itu juga masih kentalnya budaya patriarki juga menciptakan kekhawatiran bagi perempuan di banyak negara untuk membina rumah tangga dan memiliki anak.
Di Indonesia, negara yang berlandaskan budaya religius dan spirit kekeluargaan menjadi salah satu tanda mulai terlihatnya penurunan data pernikahan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam sepuluh tahun terakhir, tren pernikahan di Indonesia terus menurun secara tajam.
Angka pernikahan nasional terendah tercatat pada tahun 2022 yaitu hanya 1.7 juta pernikahan. Di mana pada tahun sebelumnya, angka pernikahan tercatat sebanyak 1,79 juta.
Sementara terakhir kali angka pernikahan adalah pada tahun 2011 yaitu sebanyak 2.31 juta pernikahan.
Data BPS menunjukkan bahwa persentase pemuda baik laki-laki atau perempuan yang belum menikah di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 64,54 persen dari total 65,82 juta pemuda atau sekitar 24 persen dari total populasi secara nasional.
Pada tahun 2022, hanya ada 34,33 persen pemuda Indonesia yang sudah menikah. Angka ini menurun sebesar 3,36 persen dari tahun 2021.
Di sisi lain, mayoritas atau sebesar 76,68 persen pemuda yang belum menikah berasal dari Jakarta.
Menurut BPS, salah satu penyebab penurunan ini adalah adanya pergeseran persepsi para kaum muda tentang pernikahan. Selain itu berhubungan dengan kualitas hidup, utamanya terkait pendidikan dan status ekonomi.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengungkapkan bahwa usia perempuan menikah cenderung semakin delay atau mundur.
Rata-rata usia perempuan menikah saat ini adalah 22 tahun atau lebih. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, khususnya di tahun 2020 lebih banyak perempuan yang menikah sebelum usia 22 tahun.
BKKBN juga menemukan bahwa rata-rata perempuan hanya praktis melahirkan satu anak perempuan.
Artinya, satu perempuan meninggal digantikan dengan satu anak perempuan yang dilahirkan. Hal ini nantinya akan membuat sustainability kualitas hidup lebih terjaga.
Sebuah studi literatur menemukan bahwa perempuan Indonesia mulai menunda untuk menikah pada usia matang.
Hal ini sebagian besar dapat bermakna bahwa hasrat seks dan memproduksi keturunan dengan seorang laki-laki dalam rumah tangga bagi perempuan sudah mulai bergeser.
Ditengarai ada beberapa alasan mengapa perempuan milenial memilih menunda pernikahan, di antaranya adalah identitas digital masyarakat.
Pengaruh digitalisasi di Indonesia pada kehidupan masyarakat telah memberi ruang publik bagi perempuan untuk mengekspresikan diri.
Wacana kebebasan perempuan untuk memilih antara peran domestik, kosmopolitan atau menjalani keduanya, mendobrak stereotip perempuan yang kerap dicap sebagai kaum terbungkam.
Pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan membuat pola pikir mereka menjadi lebih luas dan terbuka dalam menjalani hidup dan mengontrol dirinya sendiri.
Hal ini menjadikan kaum perempuan Indonesia lebih mandiri dan terbuka dengan berbagai pilihan hidup, termasuk menunda pernikahan.
Media digital juga memiliki andil dalam memproduksi berbagai macam ideologi melalui gerakan aktivisme yang dapat membantu mempengaruhi cara pandang terhadap makna kebahagiaan, termasuk soal berumah tangga.
Pada beberapa kanal media sosial, mudah ditemukan akun aktivisme gerakan sosial yang lantang menyuarakan isu kesetaraan gender. Misalnya akun Instagram @indonesiafeminisme, @lawanpatriarki dan @perempuanbergerak.
Generasi digital ini sangat berkaitan dengan fenomena waithood. Mereka lebih lantang mengemukakan identitas diri, dianggap memiliki wawasan yang luas, menyukai kebebasan dan memiliki kontrol atas dirinya sendiri.
Selain itu, alasan kalangan milenial menuda pernikahan atau waithood adalah beban sebagai sandwich generation.
Sebuah studi menemukan bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab paling masuk akal berkembangnya fenomena waithood.
Pasalnya, kondisi ekonomi global yang terus merosot telah memicu kekhawatiran terhadap kesenjangan kondisi keuangan seseorang setelah menikah.
Apalagi, jika posisi perempuan dalam keluarga adalah tulang punggung secara finansial. Pada beberapa kasus, perempuan memiliki beban tanggung jawab atas masa depan adik-adiknya, tagihan sekolah dan kebutuhan rumah tangga. Situasi ini dinamakan sandwich generation.
Kondisi ini mengakibatkan banyak perempuan melupakan sejenak prioritas untuk menikah. Selain keinginan untuk membahagiakan keluarganya lebih dulu, status sebagai sandwich generation membuat perempuan khawatir akan kehidupan finansial mereka jika berumah tangga.
Hasil kajian demografis tentang generasi sandwich di Indonesia menemukan sebanyak 6,42 persen dari 7.009 rumah tangga yang diteliti masuk dalam sandwich generation.
Sekitar 10,9-11,3 persen merupakan perempuan bekerja. Beberapa studi menemukan bahwa status sandwich generation, khususnya perempuan, memberikan dampak negatif terhadap kondisi pernikahan.
Di sisi lain, trauma masa lalu, pengalaman Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian menjadi alasan waithood.
Sebuah studi menunjukkan bahwa kekecewaan terhadap suatu hubungan pernikahan juga bisa menjadi alasan perempuan dewasa menunda pernikahan.
Misalnya, mereka lahir dan besar dari keluarga yang tidak harmonis atau lingkungan sosial yang hanya menunjukkan sisi buruk pernikahan.
Situasi itu juga berkaitan dengan kekerasan berbasis gender, termasuk verbal dan fisik, yang selalu terjadi dalam keluarga.
Teori feminisme menggambarkan, lembaga pernikahan seringkali menjadi tempat bersarangnya kasus kekerasan pada perempuan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyatakan bahwa selama 2021, ada sebanyak 459.094 kasus kekerasan pada perempuan.
Sebanyak 73 persen di antaranya atau sekitar 335.339 kasus adalah kekerasan yang terjadi di ranah personal. Mayoritas kasus termasuk dalam kategori Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kasus perceraian juga mendorong fenomena waithood semakin berkembang. BPS mencatat, pada tahun 2022 terjadi lonjakan angka perceraian yaitu di angka 516.334 kasus.
Angka ini merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2017, jumlah perceraian di angka 374.516.
Oleh kalangan perempuan, waithood bisa dikategorikan sebagai dampak dari banyaknya kasus KDRT dan perceraian.
Posisi perempuan yang lebih rentan menjadi korban kekerasan dibandingkan laki-laki menambah sisi gelap pernikahan.
Perempuan memilih menunda, bahkan tidak mau sama sekali untuk menikah, biasanya memiliki krisis kepercayaan terhadap lembaga pernikahan.
Banyak pakar feminisme menganggap bahwa pernikahan cenderung melanggengkan budaya patriarki, khususnya di Indonesia.
Hal ini karena perempuan selalu disudutkan mengenai standar usia ideal untuk menikah serta kesehatan reproduksinya.
Pada akhirnya, berkembangnya fenomena waithood oleh perempuan saat ini tidak hanya didorong karena adanya tuntutan untuk mendapatkan hak setara dari kaum laki-laki.
Fenomena waithood tidak hanya menunjukkan terjadinya transformasi sosial yang semakin berkembang di tengah masyarakat.
Tetapi juga sebagai bentuk perjuangan perempuan dalam rangka melawan kuatnya budaya patriarki.
Dengan memilih untuk menunda pernikahan, banyak perempuan merasa dapat lebih mengembangkan kualitas dirinya serta menyiapkan kemandirian secara emosional dan finansial.
Kesiapan emosional dan finansial perempuan akan dapat membantu mereka lebih mudah untuk melawan kekerasan berbasis gender di dalam lembaga pernikahan dan masyarakat.