PARBOABOA, Jakarta - Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keindahan alam dan keanekaragaman budaya, menawarkan berbagai destinasi yang memukau bagi para pengunjung.
Salah satunya adalah Wae Rebo, sebuah desa tradisional yang terletak di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dengan ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, desa ini telah mendapat pengakuan dunia sebagai salah satu desa paling indah di dunia, menduduki peringkat kedua versi The Spectator Index.
Dikelilingi oleh pegunungan yang hijau dan hutan todo yang rindang, Wae Rebo menjadi rumah bagi berbagai jenis tanaman pakis dan anggrek.
Dilansir dari laman Wonderful Indonesia, Wae Rebo pernah menerima Top Award of Excellence oleh UNESCO pada UNESCO Asia Pacific Heritage Awards 2012, di Bangkok pada 27 Agustus 2012.
Tahun berikutnya, Desa Wisata Wae Rebo mendapat penghargaan dalam industri arsitektur oleh Aga Khan.
Tak sampai disitu, pada tahun 2021, desa ini terpilih sebagai salah satu dari tiga perwakilan Indonesia di Best Tourism Village, sebuah kompetisi desa wisata terbaik di dunia yang diadakan oleh United Nations World Tourism Organization (UNWTO) atau badan PBB yang berfokus pada sektor pariwisata.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, The Spectator Index, melalui akun X, @spectatorindex, Desa Wae Rebo kini menduduki peringkat kedua pada World’s Most Beautiful Small Towns, 2024.
Kearifan lokal desa Wae Rebo
Berdasarkan informasi dari situs Wonderful Indonesia, penduduk Desa Wae Rebo masih memiliki garis keturunan dari Suku Minangkabau.
Awal mula penemuan Desa Wae Rebo dimulai dengan perjalanan Empo Maro, pria asal Minangkabau, yang berlayar dari Sumatera menuju Labuan Bajo.
Setelah menjalani hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, akhirnya ia memilih untuk menetap di Desa Adat Wae Rebo.
Salah satu ciri khas yang paling mencolok dari rumah adat Wae Rebo adalah keberadaan tujuh rumah dengan bentuk menyerupai kerucut yang disebut 'Mbaru Niang'.
Desain arsitektural Mbaru Niang mengandung filosofi dan mencerminkan tatanan sosial penduduk Wae Rebo.
Konstruksi tradisional ini menunjukkan harmoni antara manusia dan alam, sekaligus menggambarkan secara fisik interaksi sosial Suku Manggarai.
Struktur Mbaru Niang dibagi menjadi lima tingkat, dengan atap terbuat dari daun lontar yang dilapisi ijuk. Setiap tingkatan ditujukan untuk fungsi tertentu, meliputi area berkumpul, penyimpanan bahan pangan, tempat ibadah, dan lain-lain.
Rumah ini berdiri mengikuti prinsip-prinsip nenek moyang yang mengedepankan hubungan kuat dengan alam tanpa mengganggu tanah.
Dalam arsitekturnya, terdapat elemen-elemen dari Minangkabau, terutama pada Niang Dangka atau atap Mbaru Niang yang unik dengan ciri khas bertanduk ganda.
Di Desa Wae Rebo, tradisi adat masih sangat kental, seperti Ritus Upacara Penti.
Upacara ini adalah ekspresi kebersamaan dan rasa syukur warga desa kepada pencipta serta leluhur atas berkah dan harapan yang telah terwujud selama tahun yang sudah dilalui.
Desa Wae Rebo juga terkenal dengan kekayaan seni budayanya, seperti 'Rangku Alu', sebuah permainan dan tarian yang unik.
Dalam pertunjukan ini, empat peserta memanfaatkan tongkat bambu untuk menciptakan pola silang sambil bergerak, sedangkan peserta lainnya meloncat melewati celah-celah yang terbentuk untuk menghindar agar tidak terjepit bambu.
Tak ketinggalan, Tarian Caci juga menambah daftar panjang tradisi seni di Wae Rebo.
Tarian ini tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga merefleksikan nilai-nilai budaya dan sosial masyarakat setempat.
Di sisi lain, Desa Wae Rebo juga dikenal dengan produk kerajinan tangannya, seperti kain tenun dengan motif Manggarai yang terinspirasi dari bentuk bunga dan warna-warni cerah.
Sementara itu, di bidang kuliner, desa ini menawarkan kopi dan madu hutan sebagai produk unggulan yang mencerminkan kekayaan alam setempat.
Desa ini juga dikenal dengan adanya mata air alami yang berasal dari pegunungan, dimanfaatkan oleh warga untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci, dan minum.
Sumber mata air ini dikenal sebagai Sosor, yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu Sosor Pria dan Sosor Wanita.
Hal menarik lainnya di desa ini adalah tidak tersedianya sinyal seluler, dan pasokan listrik hanya tersedia mulai pukul 6 sore hingga 10 malam.
Pesona alamnya yang menakjubkan, dengan luas padang rumput hijau yang dihiasi gunung-gunung dan kabut, menciptakan suasana yang memikat, penuh kedamaian dan ketenangan.
Editor: Beby Nitani