PARBOABOA, Jakarta - Usulan melibatkan partai politik dalam pemilihan kepala desa (pilkades) yang diinisiasi oleh Badan Legislatif (Baleg) DPR RI jadi sorotan publik.
Bahkan langkah ini dinilai sebagai cerminan pandangan dangkal para anggota dewan.
Alasan bahwa pilkades potensi konfliknya tinggi dan sering memakan korban jiwa dianggap terlalu mengada-ada.
DPR justru dinilai menodai jalannya pemerintahan desa, yang selama ini sering diwarnai isu netralitas terutama saat pemilu dan pilkada.
Belum lama ini, Wakil Ketua Baleg DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, mengajukan usulan agar pilkades diadakan melalui mekanisme partai politik.
Usulan ini bertujuan menjadikan pilkades mirip dengan pemilu dan pilkada. Doli mengklaim bahwa pilkades lebih banyak menimbulkan korban jiwa dibandingkan pemilu lainnya.
“Jika berbicara soal korban jiwa, pemilihan di desa jauh lebih banyak korbannya dibanding pileg dan pilkada,” ungkap Doli saat rapat Baleg DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (31/10/2024).
Anggota Fraksi Partai Golkar tersebut, juga mengusulkan agar mekanisme ini dibahas dalam revisi delapan paket undang-undang melalui Omnibus Law.
Gagasan untuk menyusun regulasi komprehensif terkait politik dan pemilu memang sedang mengemuka di DPR.
Sementara selama terdapat, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sudah melarang aparatur desa untuk terlibat dalam politik praktis.
Pasal 29 huruf (g) melarang kepala desa menjadi pengurus parpol, sementara poin (j) melarang mereka terlibat kampanye Pemilu atau Pilkada.
Aturan ini diperkuat dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang melarang kepala desa dan perangkatnya terjun dalam politik praktis.
Cederai Demokrasi Desa
Founder dan Direktur The Indonesian Agora Research Center dan Ranaka Institute, Ferdinandus Jehalut, menilai wacana keterlibatan parpol dalam pilkades ini sebagai sebuah langkah mundur.
Baginya, wacana ini merupakan upaya awal untuk melebarkan penetrasi oligarki sampai ke tingkat desa.
Di Indonesia jelasnya, oligarki itu umumnya masuk melalui pintu partai politik. Mereka memanfaatkan momentum elektoral untuk berpenetrasi ke dalam tubuh partai politik.
Ia mengatakan, pada momentum elektoral itulah partai politik butuh dana untuk memenangkan pemilu.
“Salah satu sumber dananya ialah para pengusaha yang kemudian jadi oligark partai,” jelas Ferdy kepada Parboaboa, Selasa (5/11/2024).
Barternya kemudian lanjutnya, adalah proyek dan kebijakan yang menguntungkan oligarki itu sendiri. Rakyatnya tetap jadi korban.
Aktivis Demokrasi di Yayasan Satunama Yogyakarta ini punya kekhawatiran bahwa keterlibatan partai politik dalam pilkades justru akan meningkatnya risiko politik uang dan klientelisme.
Calon yang diusung partai politik berpotensi menggunakan sumber daya finansial atau jaringan partai untuk mempengaruhi hasil pemilihan.
Ini bisa menciptakan dinamika politik yang tidak sehat di tingkat desa, karena kepentingan pribadi atau kelompok tertentu akan lebih diutamakan daripada kesejahteraan bersama.
Lebih lanjut ia menjelaskan, keterlibatan partai politik dalam pilkades juga berpotensi memecah-belah masyarakat desa karena perbedaan pandangan politik yang lebih besar.
Masyarakat desa, yang biasanya homogen dan memiliki relasi sosial yang erat, berpotensi mengalami konflik internal akibat afiliasi politik yang berbeda.
“Ini kan akan melemahkan kohesi sosial dan meningkatkan gesekan antar kelompok di tingkat lokal,” ungkapnya,
Selain itu, ia menambahkan, kepala desa yang terlalu dekat dengan partai politik bisa mengurangi kemandirian dalam mengambil keputusan yang seharusnya berfokus pada kebutuhan lokal.
Seperti dalam kasus pilkada, kepala desa mungkin akan lebih memprioritaskan agenda partai atau tekanan dari atas, daripada mendengarkan aspirasi masyarakatnya secara langsung.
Dalam konteks ini, kepala desa berpotensi akan menjadi boneka partai.
Keterlibatan partai politik dalam pilkades juga dapat mengurangi independensi politik di desa.
Desa akhirnya lebih mudah dipolitisasi untuk kepentingan partai di tingkat kabupaten, provinsi, atau nasional.
Desa sebagai unit pemerintahan otonom seharusnya memiliki keleluasaan dalam mengelola urusan internalnya tanpa intervensi politik dari luar.
“Keterlibatan partai politik akhirnya bisa merusak semangat otonomi desa,” tegasnya.
Menurut Ferdi juga, di tengah semakin menguatnya transformasi partai politik menjadi perusahaan politik, tentu sulit mengharapkan transformasi sosial politik di tingkat desa melalui partai politik.
Oleh karena itu, wacana keterlibatan parpol dalam pilkades sama sekali tidak berfaedah.
Apalagi, jelasnya, partai politik di Indonesia, “nyaris tidak punya ideologi yang jelas,” tutupnya.
Sementara itu, menurut pengamat politik dan analis kebijakan publik, Jefri San, wacana ini bertentangan dengan konsep dasar tentang desa dalam UU Desa.
Berdasarkan UU tersebut, desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat.
Artinya ruang seluas luasnya untuk mengorganisir diri demi mendukung terwujudnya desa yg maju dan mandiri.
Karena itu, ia berharap gerakan-gerakan politik itu tidak mengkooptasi masyarakat dan nanti justru menciptakan benturan kepentingan.
“Cukuplah bendera partai politik berkibar di desa, janganlah kepala desanya juga dibajak oleh parpol,” jelas Jefri kepada Parboaboa, (Selasa, 5/11/2024)
Lebih lanjut ia mengatakan, jika ide lewat jalur parpol ini diatur, maka ini akan memperumit proses pilkades itu sendiri.
“Bayangkan saja 75 ribu lebih Kades se-indonesia datang ke jakarta berhari hari untuk menunggu SK pencalonannya, ini akan membutuhkan biaya yang besar,” tegasnya.
Di tengah narasi besar Presiden soal efisiensi anggaran, menurut Jefri, ide ini tidak relevan.
Biarkan masyarakat desa yg menentukan sendiri pemimpin di kampung, bukan selalu disodorkan oleh elit parpol sebagaimana yg dialami selama pemilu ini.
Selain itu, keterlibatan parpol berpotensi menimbulkan polarisasi di masyarakat dan menciptakan ketegangan yang tak perlu karena warga terpecah berdasarkan afiliasi politik.
Editor: Norben Syukur