PARBOABOA, Simalungun - Gelak tawa merekah di kedua pipinya kala mengisahkan kembali perjalanan panjang mendirikan Ruang Literasi Siantar pada 2021 silam.
Dia, Tomson Sabungan Silalahi, sebelumnya tak pernah membayangkan akan mencapai misi mulia itu.
Kisah tersebut bermula ketika ia memilih pulang ke kampung halaman setelah menempuh pendidikan Magister di salah satu kampus negeri di kota Jakarta.
Ia telah mengemas barang-barang koleksinya. Buku demi buku ia masukkan ke dalam kardus. Perlengkapan belajar yang tersisa tak lupa dibawa pulang.
Niatnya hanya satu, yakni bertemu orang tua dan keluarga sekedar melepas rindu setelah penatnya kehidupan di Ibu Kota.
Namun, saat Pandemi Covid-19 melanda tanah air, Tomson membulatkan tekadnya untuk membangun kembali Rumah Belajar yang telah lama ia dambakan.
Bermodalkan koleksi buku seadanya dan perlengkapan menulis sekenanya, Ruang Literasi Siantar kemudian terbangun.
Misinya yang mulia disambut hangat oleh para orang tua yang ada di desa.
Mereka lantas menyuruh anak-anaknya mengikuti program belajar yang dibuka Tomson.
Ia sendiri tidak memungut biaya sepeser pun untuk semua peserta yang mendapatkan pembelajaran.
Adapun program yang ia jalankan diantaranya adalah memfasilitasi ruang baca dan fasilitas buku kepada anak.
Ia juga menjalankan program les gratis kepada anak-anak tingkat SD hingga SMP dan pengadaan buku melalui teman-teman yang peduli terhadap pendidikan anak.
Tomson menyebut, impian berkontribusi dalam mencerdaskan generasi bangsa telah lama ia pupuk.
Hal ini bermula ketika ia menyadari arti penting membaca dalam kehidupan perkuliahan.
Rasa tertarik pada dunia literasi dipantik oleh salah seorang guru sewaktu ia berada di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).
Pak Gultom, demikian ia mengingat guru yang telah lama tak ia jumpai itu.
Kemampuan mengajar ‘Pak Gultom’, demikian Tomson mengisahkan, sangat berbeda jika dibandingkan dengan guru lainnya.
Tomson berpendapat, kemampuan itu didapat karena kebiasaan gurunya yang hobi membaca.
Arti penting budaya membaca kemudian terbentur setelah Tomson dipertemukan oleh teman-temannya yang memiliki nalar kritis.
Kebiasaan berdiskusi memacunya untuk membangun sebuah ruang baca yang mengasah kepekanaan anak-anak untuk terus berbagi ilmu dan bertukar pikir.
Ingin Punya Majalah Bobo Sejak Kecil
Masa kecil Tomson tidak berbeda dengan kehidupan anak desa pada umumnya. Ketika Orang Tuanya berbelanja ke pasar, tak jarang ia meminta untuk dibelikan majalah Bobo. Namun, kesempatan itu sangat sulit terkabul.
Kedua orang tuanya hanya berprofesi sebagai petani. Desakan ekonomi memberi tantangan dalam memenuhi keinginannya.
Rasa iri terhadap teman-teman sepantaran yang mudah mengakses buku tak bisa dielak. Dengan dukungan dana dari orang tua, mereka memiliki banyak koleksi buku.
Masa-masa itu memberi dorongan tersendiri baginya agar anak-anak saat ini tidak merasakan seperti yang telah ia rasakan.
Ia menilai, keadaan ekonomi masyarakat desa sangat mempengaruhi perkembangan belajar anak, khususnya di tempat tinggalnya.
Terlebih biaya pendidikan yang mahal, semakin menambah ketimpangan dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak.
Fase pendidikan sejak dini, pandang Tomson, perlu diberikan fasilitas penunjang.
“Seperti bacaan yang bermutu,” ucapnya singkat.
Berangkat dari kegelisahaan itu, ia kemudian berkeinginan memberikan kontribusi bagi anak-anak desa di sekitarnya.
Patah Tumbuh, Hilang Berganti
Ruang Literasi Siantar tidak berumur panjang. Setelah dua tahun berjalan, rumah belajar milik Tomson tidak beroperasi kembali.
Tantangannya beragam. Hal pertama tentu berkaitan dengan dukungan modal. Ia mengakui, rumah belajar yang dibangun tidak berjalan baik karena kurangnya modal dalam membeli perlengkapan dan membayar insentif pengajar.
Tabungannya bahkan telah terkuras habis untuk memenuhi kebutuhan belajar anak.
Tantangan lainnya disebabkan karena tidak adanya rekan yang bisa diajak untuk berkolaborasi.
Tomson memandang bahwa dalam menjalankan tugas mulia itu setidaknya memiliki rekan kerja.
Menurutnya, peran partner selain sebagai rekan kerja, juga bisa berganti untuk mencari pekerjaan.
"Cita-cita ini memang terlalu besar. Mau tidak mau harus mencari isi perut dulu kan," tuturnya.
Tomson membandingkan dengan teman-teman seperjuangan lainnya. Pergerakan mereka dibarengi dengan kegiatan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi. Karena itu, baginya, peran partner sangat membantu.
"Andaikan ada yg tinggal di sini, honor secukupnya mungkin masih bisa jalan," katanya.
Keadaan lain adalah soal dukungan pemerintah desa (Pemdes).
Pernah sekali Pemdes melalui badan usaha milik desa ingin berkolaborasi dengan Tomson dalam menjalankan programnya.
Namun ia memilih tidak melanjutkan kerja sama tersebut karena syarat utamanya adalah tempat belajar harus berada di tanah milik desa. Sedangkan Tomson membuka rumah belajar di rumahnya sendiri.
Kendalanya, papar Tomson, anak-anak yang terlibat dalam Ruang Literasi Siantar umumnya berlokasi jauh dari kota.
Pertimbangan terhadap keamanan anak menjadi alasan utama yang dipikirkan Tomson.
Sekretaris Desa, Sintong Turnip, mengatakan syarat dari badan usaha milik desa (Bumdes), rumah belajar itu harus berada di tanah milik desa.
"Syaratnya itu harus berada di tanah milik nagori (desa)," kata Sintong.
Bantuan yang diberikan hanya melalui kolaborasi dengan Bumdes dan Tomson sendiri belum memenuhi persyaratannya.
Sintong memang merespon baik kehadiran rumah belajar di desa-nya. Ia merasakan dampak positif dari kehadiran rumah belajar milik itu.
Anak-anak di desa bisa mendapatkan pembelajaran tambahan dengan les yang diberikan Tomson. Di samping itu, lingkungan sekitar menjadi lebih positif.
Namun persoalannya, pungkas Sintong sekali lagi, Tomson belum memenuhi persyaratan kerjasama dengan desa.
"Dia (Tomson) gak mau kalau tempatnya (rumah belajar) di lokasi Kantor Pangulu (Kantor Kepala Desa)," katanya.
Kini, Tomson berprofesi sebagai seorang guru Bahasa Inggris di salah satu sekolah swasta yang ada di Pematangsiantar.
Kegagalannya meneruskan cita-cita yang telah lama diimpikan tidak memberi banyak pilihan.
Niat memberikan kontribusi kepada anak-anak tidak membatasi ruang geraknya sebagai seorang guru.
Dalam proses belajar mengajar, Tomson tak lupa mendorong budaya literasi anak dengan membaca maupun menulis.
Dengan perannya sebagai guru, ia bersama muridnya telah menghasilkan karya antologi cerpen. Sebanyak 24 murid terlibat mengirim karya mereka.
Menurutnya, melibatkan anak dalam sebuah karya dan memberikan apresiasi kepada mereka adalah proses belajar yang sering dilupakan orang dewasa.
Anak-anak, pandangnya, haruslah dituntun dan dipenuhi kebutuhan pendidikannya.
"Anak-anak itu tidak suka disuruh, tapi ia akan meniru kebiasaan orang tuanya," tuturnya.
Ia menyebut, pola imitasi anak yang kuat seharusnya dilihat orang sebagai kesempatan menunjukkan teladan hidup yang baik.
“Kalau anak mau rajin membaca, lingkungan sekitar atau setidaknya orang tua harus memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya,” tutupnya.
Editor: Defri Ngo