PARBOABOA, Jakarta - Genderang perang resmi ditabuh usai Israel dihujani ribuan roket militan Hamas Palestina pada Sabtu (7/10/2023).
Ratusan warga Israel dikabarkan meninggal dunia, ribuan orang luka parah. Dunia pun ikut cemas. Konflik diprediksi akan semakin meluas.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sudah bersumpah negaranya akan melakukan balas dendam dan menyatakan perang terbuka.
Deklarasi perang negara Zionis itu bahkan disepakati kabinet Israel kurang dari 24 jam usai militan Hamas melancarkan serangannya.
Eskalasi konflik Israel dan Palestina tentu menambah ketidakpastian ekonomi global. Apalagi, dunia belum benar-benar pulih dari konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
Pakar Ekonomi, Gunawan Benyamin mengatakan, Konflik antara Israel dan militan Palestina Hamas belum memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian global.
Menurut Gunawan, yang dikhawatirkan saat ini adalah potensi kenaikan harga minyak mentah dunia.
"Konflik Israel dan Palestina belum akan pengaruhi kinerja ekonomi, yang dikhawatirkan itu potensi kenaikan harga minyak mentah," kata Gunawan kepada PARBOABOA, Rabu (11/10/2023).
Gunawan mengatakan, harga minyak mentah sendiri mengalami kenaikan dari kisaran $82 per barel sebelum konflik terjadi, menjadi sekitar $86 per barel sesaat setelah konflik pecah pada Sabtu (7/10/2023).
Harga minyak sejauh ini, kata dia, memang tidak lagi mengalami kenaikan yang signifikan, khususnya setelah Rusia membatasi ekspor solar dan bensin sebelumnya.
Namun, dengan eskalasi konflik yang belum juga melandai saat ini tentu berpotensi meluas ke negara teluk lainnya.
"Hal ini tentu tetap harus diwaspadai karena banyak negara teluk yang merupakan negara dengan penghasil minyak dunia," ungkap Gunawan.
Gunawan tak menampik bahwa perang sesungguhnya akan memperburuk harga minyak dunia. Ia mengambil contoh perang Yom Kippur, yang melibatkan Israel dan koalisi negara-negara Arab pada tahun 1973.
Perang yang juga dikenal dengan Perang Ramadan atau Perang Oktober itu, kata Gunawan, juga sempat mempengaruhi harga minyak dunia naik hingga empat kali lipat.
"Situasi saat ini tentu tidak sama dengan 50 tahun lalu. Akan tetapi, ketidakpastian yang diakibatkan perang tersebut kian bertambah," papar Gunawan.
Gunawan menerangkan, situasi ekonomi global belakangan ini juga tengah mengalami ketidakpastian, dimana tekanan kinerja ekonomi terus melambat seiring dengan kenaikan bunga acuan.
Di sisi lain, kata dia, perubahan iklim juga memicu terjadinya penurunan produksi pertanian, gangguan rantai pasok karena perang, hingga sikap proteksi yang dilakukan negara surplus bahan pangan.
"Nah situasi kian memburuk manakala perang di teluk terjadi, ancaman kenaikan harga minyak dunia mencuat," jelas Gunawan.
Efek Dalam Negeri
Menurut Gunawan, kenaikan harga minyak dunia berdampak pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di tanah air, terlebih untuk BBM non subsidi.
Jika harga minyak konsisten naik dan bertahan untuk waktu yang lama, kata dia, maka akan mengganggu kemampuan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk subsidi.
"Jadi ancaman perang teluk saat ini ada di situ (minyak)," katanya.
Namun, meski berpengaruh terhadap kenaikan BBM, potensi kenaikan harga minyak mentah dunia justru bisa menjadi keuntungan tersendiri bagi harga minyak sawit.
Hal ini, kata Gunawan, lantaran harga minyak sawit atau CPO bisa naik mengikuti perkembangan harga komoditas lainnya.
"Harga komoditas CPO selama ini sering diuntungkan dengan adanya kenaikan harga minyak mentah ataupun harga komoditas subtitusi lainnya," kata Gunawan.
Sementara itu, Gunawan memastikan, perang Israel dan Militan Palestina Hamas tidak begitu berpengaruh terhadap ekonomi nasional.
"Kalau untuk perdagangan tidak akan terlalu berdampak, selama kita tidak berdagang banyak dengan negara-negara teluk," kata Gunawan.
Selain itu, situasi terkini di pasar keuangan tanah air, kata dia, juga tidak begitu terpengaruh dengan konflik yang terjadi.
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan, belum ada konsekuensi ekonomi global sebagai efek konflik Israel dan Militan Hamas.
Namun, lembaga sentral keuangan tersebut terus memantau perang yang telah menimbulkan ribuan korban jiwa di antara kedua kubu tersebut.
Editor: Andy Tandang