PARBOABOA, Jakarta- Sekolah inklusif menjadi alternatif selain Sekolah Luar Biasa (SLB) bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), sehingga dapat belajar bersama dengan anak-anak non disabilitas lainnya. Namun keberadaan sekolah inklusif masih terbatas. Tidak sedikit tenaga pengajar mengalami kendala saat behadapan dengan ABK selama proses belajar mengajar.
Project Leader of Kampus Merdeka Competitive Fund Universitas Teuku Umar, Firman Parlindungan mengatakan, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan tenaga pengajar di sekolah inklusif. Diawali dengan mengenali karakter ABK.
“Anak berkebutuhan khusus itu ada banyak sekali jenisnya dan kita harus tahu dia (anak,red) berkebutuhan khusus apa. Jika disleksia, maka disleksia yang seperti apa," kata Firman dalam webinar Pembekalan Kampus Mengajar Angkatan 5 Tahun 2023 yang digelar secara virtual dan difasilitasi Ditjen Kemenristekdikti, Rabu (01/02/2023)
Firman mengingatkan, penting pada tenaga pendidik untuk memastikan anak tetap terlibat dalam setiap kesempatan, sama dengan siswa lainnya dalam merespon pertanyaan, bertanya, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan teks.
“Harus didesainn konsep pembelajaran yang kemudian memberikan kesempatan yang sama dengan siswa lainnya,” ucapnya.
Firman juga mengatakan kepada tenaga pengajar untuk selalu memberdayakan anak berkebutuhan khusus, bukan mengasihaninya. Menurutnya, yang terjadi saat ini di sekolah inklusi justru mengasihani bukan memberdayakan.
Ia mencontohkan seorang guru yang memberikan ABK dengan posisi duduk paling depan dan memberi materi yang berbeda.
“Memberdayakan itu dengan memberikan kesempatan yang sama dan diajarkan hal yang bisa dia (ABK) lakukan untuk menyelesaikan masalah yang ada,” pungkasnya.
Untuk diketahui, disleksia merupakan gangguan proses belajar yang ditandai dengan kesulitan membaca, menulis, atau mengeja. Mengutip Neuro Health, disleksia dibagi beberapa jenis, yakni disleksia fonologis, surface dyslexia, rapid naming deficit, double deficit dyslexia, dan visual dyslexia.