PARBOABOA, Jakarta - Presiden ke-5 Republik Indonesia (RI), Megawati Soekarno Putri mencium adanya potensi rekayasa hukum konstitusi jelang pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Ketua umum (Ketum) PDIP itu mengungkapkan hal tersebut dalam sebuah pidato bertajuk, Suara Hati Nurani.
Pidato itu disiarkan secara langsung melalui kanal resmi youtube PDIP, Minggu, (12/11/2023).
Apa yang disampaikan Megawati ini sebenarnya tidak terlepas dari putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), yang mencopot hakim Anwar Usman sebagai ketua Mahkamah Konstitusi (MK) karena melakukan pelanggaran etika berat.
Mega memberikan semacam alarm, bahwa ada yang tidak beres dalam putusan MK terkait pengujian UU batas usia minimum capres-cawapres belum lama ini.
Dalam pidatonya, Mega mengatakan, keputusan MKMK telah memberikan cahaya terang di tengah kegelapan demokrasi.
Dalam pidato yang sama, ia menyentil, keputusan MKMK tersebut menjadi bukti, bahwa kekuatan moral politik, kebenaran dan politik akal sehat tetap berdiri kokoh meski menghadapi rekayasa hukum konstitusi.
Apa yang disampaikan oleh putri presiden Soekarno ini, tentu saja membuat panas telinga orang-orang yang merasa diuntungkan oleh putusan kontroversial MK.
Namun tidak demikian dengan pengamat, sekaligus pakar komunikasi politik, Emrus Sihombing.
Dalam bacaannya, Emrus mengatakan, pidato Megawati mengandung pesan kebangsaan yang kuat, mengingat posisinya sebagai seorang negarawati sekaligus mantan presiden.
"Saya ikuti betul pidato Ibu Megawati. Saya memahami dan saya melihat bahwa pidato tersebut sebagai pidato seorang negarawati yang sangat luar biasa," kata Emrus kepada PARBOABOA, Selasa (14/11/2023).
Megawati, kata Emrus, merupakan tokoh bangsa yang masih ada hingga saat ini. Ia sejajar dengan Soekarno, Abddurrahman Wahid (Gusdur) serta tokoh-tokoh bangsa lainnya.
Ia juga seorang pemimpin partai besar di Indonesia, yang pernah terlibat dalam sejumlah gejolak politik tanah air hingga membentuk cara pandangnya yang selalu mengedepankan kepentingan bangsa.
karena itu Emrus meyakini, apa yang diucapkan Mega dalam pidatonya tidak keluar begitu saja, melainkan berangkat dari sebuah permenungan mendalam dengan asupan data dan fakta yang akurat.
"Saya kira sangat banyak informasi, masukan data dan fakta yang didapatkan Ibu Mega," terang Emrus.
Netralitas Pemilu
Megawati juga mencium ada potensi kecurangan pemilu dengan berkaca pada fakta politik hari ini di Indonesia.
Lantas, ia meminta masyarakat agar tidak membiarkan diri diintimidasi. Masyarakat harus melakukan perlawanan dengan menggunakan hak pilih sesuai dengan hati nurani.
Emrus menangkap pesan dibalik pernyataan ini sebagai bentuk kritikan terhadap libido kekuasaan yang hari ini mulai menunjukkan taringnya.
Melalui kekuasaan, demikian Emrus, ada semacam upaya dari penguasa menggunakan fasilitas dan legitimasi negara untuk memprioritaskan organisasi atau kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
Hal ini salah satunya dapat dibaca dari sikap presiden Jokowi yang bertemu dengan relawannya di Bali, persis, usai ia bertemu dengan tiga calon presiden di Istana negara.
Menurut Emrus, publik sebenarnya optimis akan netralitas sang presiden ketika ia mengundang ketiga capres, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan ke Istana Negara belum lama ini.
Namun, seketika, sikap netralitas orang nomor satu di Indonesia ini dipertanyakan menyusul pertemuan dengan sejumlah relawannya di Bali, Denpasar.
Kalau konsisten menunjukkan netralitas, presiden seharusnya, kata Emrus harus juga bertemu dengan relawan ketiga capres.
Menurut Emrus, ia harus bisa merangkul semua relawan, baik relawan Prabowo Subianto, relawan Ganjar Pranowo dan relwan Anies Baswedan.
Putusan MK Bertentangan dengan Sila ke-5 Pancasila
Sementara itu, terkait dengan putusan MK yang meloloskan kepala daerah bisa menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, meski belum berumur 40 tahun, Emrus tegas mengatakan, putusan itu menabrak sila ke-5 pancasila.
Sebab, melalui putusan itu, MK seolah-olah memberikan privelese khusus kepada kepala daerah ketimbang profesi-profesi lain.
"Bukankan putusan itu seolah-olah kepala daerah yang berada di bawah 40 tahun mendapatkan privelese dari keputusan MK tersebut," kata Emrus.
Seharusnya, kalau diputus dibawah 40 tahun, tidak hanya berlaku kepada kepala daerah, tetapi berlaku untuk semua.
Emrus mengungkapkan hal itu karena tidak semua kepala daerah punya integirtas baik. Di mana-mana di Indonesia, banyak juga kepala daerah yang tersandung kasus hukum seperti korupsi.
"Saya terus terang, sehebat apa itu kepala daerah? Ratusan kepala daerah itu juga berurusan dengan korupsi kan," tegasnya.
Emrus tidak menampik bahwa semua profesi ada cacat celanya, yakni punya potensi untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan moralitas.
Namun, persamaan di depan hukum harus ditegakkan dengan memberi kesempatan yang sama terhadap semua orang, sehingga tidak ada kesan diskriminatif.
"itulah sebabnya mengapa saya katakan, putusan itu menabrak sila ke-5 pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, salah satunya keadilan demokrasi," ujar Emrus.
Pelanggaran Etika Lebih Berat dari Pelanggaran Hukum
Emrus juga menyentil soal putusan MKMK yang mencopot Anwar Usman sebagai ketua hakim MK. Menurutnya, putusan MKMK menyelamatkan demokrasi Indonesia.
Putusan majelis yang diketuai oleh Jimly Asshiddiqie ini ia nilai telah menyelamatkan bangsa, menyelamatkan hati nurani, dan demokrasi akal sehat.
Ermus memberikan analisis dan bacaan yang menarik soal pelanggaran etika berat hakim MK, Anwar Usman. Menurutnya, pelanggaran etika lebih berat dari pelanggaran hukum.
"Melanggar UU mungkin masih lebih baik. Misalnya, kalau melanggar UU atau hukum orang bersalah, kalau tidak melanggar UU, orang benar, kan begitu. Kalau tidak melanggar etika berarti orang baik, tetapi kalau melanggar etika, berarti dia orang buruk," jelas Emrus.
Berdasarkan analisis itu, maka kalau seseorang melanggar etika, apalagi melanggar etika berat, berarti bisa dikategorikan sangat buruk.
Oleh karena Anwar Usman dijatuhkan pelanggaran etika berat, ia menyarankan agar mengudurkan diri sebagai seorang hakim.
Menurutnya, tidak cukup bagi Anwar dicopot sebagi ketua MK, tetapi juga harus mengundurkan diri sebagai seorang hakim.
"Sebagai sahabat dan sebagai warga republik Indonesia, beliau itu sahabat saya, saya menyarankan beliau mengundurkan diri sebagai hakim".
Emrus mengaku, bersahabat baik dengan Anwar Usman. Sebagai sahabat, ia meminta agar segera melepaskan tugasnya sebagai seorang hakim.