PARBOABOA - Hafizh Khoiruddin kelimpungan tiap kali menyisir pakaian yang tidak lagi ia gunakan dari lemari. Baju yang sudah tak layak pakai bikin dia kerepotan. Pilihannya kerap kali jatuh pada membuangnya di tempat sampah.
“Kalau memang sudah banyak bolong, sudah hancurlah, dibuang ke tempat sampah bareng limbah domestik lain,” kata pegawai swasta yang tinggal di Daerah Khusus Jakarta itu.
Urusan selebihnya ia serahkan pada petugas yang tiap hari rutin mengambil sampah di lingkungan tempat tinggal. Nasib pakaian-pakaian itu akan berakhir sebagai limbah tekstil yang teronggok begitu saja di tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
Secara global, 57 persen limbah pakaian di dunia memang berakhir di tempat pembuangan akhir. Masalahnya, dunia fesyen dewasa ini punya ketergantungan kepada bahan sintetis yang berasal dari olahan plastik dalam bentuk polyester dan nilon.
Keduanya masuk kategori limbah yang butuh waktu 200 tahun untuk terurai. Saat ini, 60 persen produk fesyen terbuat dari unsur yang mengandung plastik.
Makin banyak pakaian bekas atau sisa proses produksi yang dibuang, artinya menambah banyak unsur mikroplastik yang merusak lingkungan. Cemaran partikel berukuran 1 mikrometer-5 milimeter ini dapat menembus jaringan tubuh makhluk hidup, yang dalam akumulasi tertentu dapat mengancam kehidupan manusia dan satwa.
Kondisi tersebut menjadi momok di tengah pertumbuhan industri tekstil. Di Indonesia sendiri, sektor ini diperkirakan tumbuh 5,1 persen per tahun sejak 2019.
Seiring dengan itu, limbah tekstil di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2019, berdasarkan sistem informasi pengelolaan sampah nasional (SIPSN), limbah jenis ini mengambil porsi 2,3 persen dari total sumber sampah nasional.
Sementara, data pada 2023 bagian sampah tekstil bertambah menjadi 2,752 persen. Persentasenya memang tampak kecil, tapi lain lagi bila dikonversi dalam bentuk tonase.
Dengan jumlah total produksi sampah nasional sebanyak 70 juta ton pada 2023, artinya 1,82 juta ton sampah tekstil yang dihasilkan di tahun yang sama.
“Jadi, dua ratus kali lipat sampah Jakarta per hari kalau dikonversikan, begitu kondisi sampah tekstil,” kata Abdul Ghofar, Dewan Pengarah Aliansi Zero Waste Indonesia, memberikan ilustrasi. Produksi sampah Jakarta sehari sendiri menyentuh angka 8 ribuan ton.
Jumlah limbah tekstil ditengarai akan terus bertambah. Laporan kolaborasi Bappenas, Kedutaan Besar Denmark dan UNDP pada 2022—yang bertajuk The Economic, Social, and Environmental Benefits of a Circular Economy in Indonesia—meramalkan komposisi limbah tekstil akan terus melonjak bila tidak terjadi perubahan pola produksi dan konsumsi. Limbah kain yang diproduksi diprediksi meningkat 70 persen pada 2030.
Jika skenario tersebut menjadi kenyataan, limbah fesyen akan mencapai porsi 3,9 persen dari total produksi sampah nasional pada saat itu. Laporan yang sama juga merinci proyeksi sumber pencemaran tersebut, yakni 0,5 persen dari tahap prakonsumsi—yang biasanya berasal dari limbah sisa proses produksi pakaian—dan 3,4 persen berasal dari pascakonsumsi di masyarakat.
Kedua sumber itu merupakan hulu utama sampah fesyen. Industri pakaian menghasilkan limbah berupa potongan kain hingga barang tak lolos uji mutu yang tidak dijual ke konsumen. Di sisi lain konsumsi pakaian oleh masyarakat menghasilkan pakaian bekas yang tidak digunakan lagi.
Sisi produksi dan konsumsi ini saling berkelindan dalam ekosistem bisnis industri pakaian. Itu sebabnya, pertumbuhan limbah fesyen tidak bisa dilepaskan dari tren fast fashion. Istilah ini merujuk pada strategi industri tekstil mendorong perubahan tren yang cepat di dunia mode untuk meningkatkan penjualan.
Fast fashion menjadi konsekuensi tak terelakan dari kemunculan revolusi industri yang memicu produksi skala besar untuk setiap barang. Gejala ini kemudian menemukan momentum sekitar tahun 1960-an.
Saat itulah mulai menjamur jenama fesyen ternama yang melakukan pergantian koleksi pakaiannya dengan cepat. Kini, sejumlah pemain fesyen besar menawarkan model pakaian terbaru setiap dua pekan sekali.
Akibatnya surplus produk fesyen membanjiri pasar secara berlebih. Menurut Abdul Ghofur, jumlah pakaian yang beredar saat ini diperkirakan cukup untuk 10 tahun ke depan tanpa perlu memproduksi pakaian baru.
Yang terjadi, konsumen didorong untuk mengikuti tren mode dengan terus membeli pakaian baru. Di sisi lain, kualitas industri fast fashion kian menurun. Pakaian pun akhirnya mudah rusak dan tidak bisa digunakan dalam jangka waktu panjang.
“Jadi, core value dari fast fashion industry sangat merusak,” ucap Ghofur sengit.
Kondisinya kian diperburuk dengan perilaku konsumsi pakaian. Perusahaan konsultan manajemen Mckinsey mencatat, secara global terjadi peningkatan pembelian pakaian per kapita sebesar 60 persen antara tahun 2000-2014. Tren tersebut memicu peningkatan produksi sampah fesyen.
Di Indonesia sendiri, kecenderungannya juga menunjukkan gelagat ke arah yang mengkhawatirkan. Penelitian YouGov, sebuah firma riset pasar yang berkantor pusat di Inggris, pada 2017 menemukan fakta mencengangkan.
Temuannya mendapati bahwa tiga dari 10 orang Indonesia membuang pakaiannya setelah hanya menggunakannya satu kali. Bahkan, 15 persen dari responden survei membuang tiga pakaian yang baru dikenakan satu kali.
Selain itu, survei juga mendapati dua dari tiga orang Indonesia membuang pakaian setahun terakhir. Sementara itu, satu dari empat orang membuang 10 pakaian dalam setahun sebelumnya.
United Nations Environment Programme, lembaga dunia di bawah PBB yang membidangi lingkungan, memperkirakan setiap detik satu truk sampah pakaian di dunia dibakar atau dibuang. Hanya 15 persen dari total limbah tekstil yang didaur ulang, sementara sisanya berakhir di tempat pembuangan sampah.
Alhasil, semakin banyak partikel mikroplastik mencemari tanah dan air. Limbah pakaian turut punya andil dalam pendangkalan sungai.
Situasi tersebut menambah berat beban yang harus ditanggung lingkungan untuk menopang pertumbuhan dunia fesyen. Di lapangan, terdapat banyak kesulitan pengolahan limbah fesyen.
Parboaboa berbincang dengan Hermansyah, wirausahawan di bidang daur ulang sampah. Ia merupakan pendiri Bank Sampah Harum di Depok, Jawa Barat. Pengalamannya mengolah sampah telah membentang 11 tahun terakhir.
Dengan rekam jejak seperti itu, ia cukup kawakan menangani berbagai jenis sampah. Tapi baginya limbah pakaian masuk kategori barang yang cukup merepotkan.
Ia mengeluhkan limbah pakaian yang menurutnya, "Tidak bisa didaur ulang." Limbah tekstil punya karakteristik yang sulit diolah ke bentuk awalnya. Hal itu berbeda dengan jenis sampah lain seperti plastik.
Sampah plastik dengan mudah dibersihkan dan dicacah untuk kemudian dijadikan biji plastik. Setelah itu, biji plastik bisa dicetak lagi untuk membuat produk plastik lain. Metode yang hampir serupa juga bisa berlaku dengan jenis sampah berbahan kaca atau besi.
Beberapa produk tekstil memang berbahan dasar plastik. Masalahnya, plastik yang digunakan sebagai bahan pakaian telah melalui proses pencampuran dan pengolahan dengan bahan lain.
Itu sebabnya, limbah pakaian sulit untuk didaur ulang. Hermansyah menilai, isu lingkungan menjadi tantangan bagi produsen pakaian untuk mencari alternatif bahan yang bisa didaur ulang.
Karena tidak mampu mengolah limbah pakaian, bank sampah milik Hermansyah hanya menerima donasi pakaian dalam kondisi layak pakai. Meski pada kenyataannya, banyak juga orang yang memberikan pakaian yang sudah tidak layak pakai.
Tiap hari, Bank Sampah Harum bisa mengumpulkan pakaian bekas antara 30-100kg. Di Bank Sampah Harum, pakaian-pakaian itu akan dipilah.
Pakaian yang masih layak pakai itu nantinya dijual lagi dengan harga murah ke masyarakat. Sementara pakaian bekas yang sudah tidak bisa digunakan lagi pada akhirnya akan berujung dibuang ke tempat pembuangan akhir.
Bank Sampah Harum sebisa mungkin berusaha meminimalkan sampah yang masuk ke TPA. "Kita tetap fokus pada penyelamatan sampah sebanyak-banyaknya," kata Hermansyah.
Hambatan yang dialami Hermansyah merupakan potret umum penanganan sampah fesyen di Indonesia. Menurut Abdul Ghofur, Indonesia memang masih belum punya fasilitas khusus pengolahan limbah tekstil.
Dari 166 pusat daur ulang yang tersedia di seluruh Indonesia, mayoritas masih berfokus pada penanganan limbah kertas dan botol. Keberadaan fasilitas penanganan limbah tekstil menjadi kian mendesak di tengah produksi sampah fesyen yang kian meningkat.
"Kapasitas 100 ton per hari menangani limbah tekstil saja itu sangat membantu mengurangi," kata Ghofur.
Penanganan limbah tekstil yang berlaku selama ini lebih banyak bertumpu pada inisiatif-inisiatif sporadis warga. Ghofur menilai perlu dibangun ekosistem berkelanjutan yang terkoordinasi untuk mengatasi ancaman sampah fesyen.
Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah lebih banyak limbah fesyen yang masuk ke tempat pembuangan akhir atau dibuang ke sungai. Bagi Ghofur, situasinya sudah mendesak.
“Limbah tekstil itu maju kena mundur kena, ditimbun bermasalah, dibuang ke sungai bermasalah, dan dibakar juga bermasalah. Harusnya ada pre-treatment,” ia menegaskan.
Vinda Damayanti Ansjar, Direktur Pengurangan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan lembaganya belum pernah melakukan pemetaan dan kajian terhadap ancaman sampah tekstil. Ia juga mengonfirmasi bahwa pemerintah tidak memiliki fasilitas pengolahan limbah tekstil.
Ia hanya menekankan pentingnya solusi jangka panjang dan berkelanjutan untuk menangani sampah fesyen melalui berbagai pendekatan. Dari sisi industri, kata dia, pelaku usaha harus mulai membuat produk yang tahan lama, mudah digunakan kembali dan dapat di daur ulang.
Ia juga menekankan pentingnya industri membangun bisnis model ekonomi sirkular agar tekstil/pakaian bekas pakai dapat dikumpulkan kembali untuk diguna ulang dan didaur ulang. "Menyiapkan infrastruktur model bisnis circular economy perlu melalui kerja sama dan kolaborasi multipihak," pungkasnya.
Reporter: Achmad Rizki Muazam, Putra Paskah