PARBOABOA, Jakarta - Jalan panjang Rancangan Undang-Undang (RUU) hampir hilang entah ke mana.
Namun, secercah harapan muncul saat Presiden Jokowi kembali menekankan pentingnya perampasan aset dan pengembalian uang negara untuk dikawal bersama.
Ia memantik pesan tersebut saat memberikan pengarahan dalam rangka peringatan 22 tahun Gerakan Nasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU) PPT di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Rabu (17/4/2024).
Mantan Walikota Solo ini berharap, adanya upaya maksimal untuk menyelamatkan dan mengembalikan uang negara, karenanya, menjadi penting untuk dikawal bersama.
Lebih lanjut, Jokowi mengakui bahwa pemerintah telah mendorong pengajuan UU Perampasan Aset dan UU Pembatasan Uang Kartal ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk disahkan bersama.
Salah satu tujuannya, kata Jokowi, untuk memperkecil tindak pidana pencucian uang (TPPU). "Kami telah mendorong, bolanya ada di DPR sehingga apa yang menjadi milik negara bisa segera dikembalikan," ucap dia.
Sementara itu, Anggota Komisi III Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan dalam menanggapi hal itu, menegaskan, jika pemerintah bernafsu agar aturan perampasan aset itu segera ada, lebih baik dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
“Perppu saja, tidak usah tunggu DPR,” jelas Hinca kepada media, pada Minggu (21/4/2024). Hinca menjelaskan, setelah RUU ini diserahkan dari Pemerintah ke DPR, sampai saat ini belum ada kejelasan.
Menurut Hinca, pada hal pimpinan DPR yang seharusnya tinggal mengesahkan, “ini kita paham betul itu waktu itu eranya menggebu-gebunya, kan Pak Mahfud sampai datang ke Komisi 3 yang soal emas itu loh, Rp389 triliun. Itu yang saya bilang, petir menyambar di siang bolong, hujan nggak turun-turun, akhirnya kan masuk itu,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Hinca mengatakan bahwa sejak proses pembahasan di komisi III, pihaknya sudah meminta agar pemerintah sebaiknya membuat Perppu terkait perampasan aset. Ini jalan yang mesti ditempuh untuk meminimalisir kendala sebagaimana yang terjadi di DPR saat ini.
Jokowi Berusaha Relate Saja
Pengamat politik dari Formappi, Lucius Karus, justru mempertanyakan keseriusan Jokowi dalam usaha mendorong terwujudnya UU Perampasan Aset tersebut.
Lucius berharap, Jokowi menyampaikan dorongan pembahasan RUU Perampasan Aset ini, bukan hanya karena berada di forum peringatan 22 tahun Gerakan Nasional Anti Pencucian Uang.
"Jadi, biar terlihat relate saja antara agenda perayaan dan apa yang disampaikan oleh Jokowi," jelasnya kepada Parboaboa, Rabu (24/04/2024).
Seharusnya, terang Lucius, jika benar Jokowi memang berniat segera membahas RUU Perampasan Aset, ia bisa saja membangun lobi dengan elit partai politik parlemen maupun elit DPR untuk segera membahasnya.
"Itulah yang dilakukan Jokowi untuk mempercepat pembahasan RUU favoritnya seperti RUU Cipta Kerja dan RUU IKN," tegasnya.
Menurut Lucius, sebenarnya mudah saja jika Jokowi benar-benar ingin segera membahas RUU Perampasan Aset ini, karena ia punya koalisi partai politik parlemen yang bisa dengan mudah diajaknya mendukung apa yang menjadi niatnya.
"Kan kelihatan beda sekali nasib RUU Perampasan Aset dengan RUU lain yang juga menjadi prioritas Jokowi, seperti yang saya sebutkan tadi," ungkapnya.
Jadi bagi Lucius, pendorong dan/atau penghambat proses pembahasan RUU ini adalah elit politik (Pemerintah dan DPR/partai politik).
"Semangat mereka tampak begitu lesu untuk segera memulai proses pembahasan. Mungkin mereka sedang tidak membutuhkan RUU ini karena justru bisa mencelakakan mereka sendiri," tandasnya.
Sementara pada kesempatan lain, pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Ari Wibowo menjelaskan, selain mendukung Kejaksaan Agung (Kejagung) memiskinkan pelaku korupsi (koruptor), masyarakat juga perlu mendorong pemerintah agar segera mengesahkan RUU perampasan tersebut.
Ia menambahkan, sudah sejak Mei 2023, Presiden sudah mengirimkan Surat Presiden (Supres) RUU Perampasan Aset kepada DPR. "Apa hasilnya? Sampai sekarang belum kunjung dibahas," ujarnya, Rabu (24/04/2024).
Lorong Sunyi RUU Perampasan Aset
RUU Perampasan Aset mulai digulirkan sejak 2012 lalu. Awalnya, pada tahun itu, pemerintah melalui BPHN Kemenkumham membuat laporan akhir naskah akademik RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dengan harapan segera disahkan.
Nasib berkata lain. RUU tersebut mengalami perjalanan panjang dan terjal, seperti tidak menarik perhatian. RUU ini menempuh jalan sunyi sebelas tahun lamanya. Baru pada 2023 lalu, RUU kembali menjadi sorotan.
Hal ini berawal dari Menkum HAM, Yasonna H. Laoly, yang mengatakan bahwa RUU Perampasan Aset sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas), walau itu juga hanya janji kosong.
Terbukti, belum lama ini, Jokowi kembali mengingatkan tentang percepatan pengesahan RUU tersebut. Aspek revolusi sebagai materi muatan RUU Perampasan Aset ini sangat kuat. Hal ini tercermin dari tiga perubahan paradigma:
Pertama, terkait pihak yang didakwa dalam suatu tindak pidana bukan hanya subjek hukum sebagai pelaku kejahatan, tapi juga aset yang diperoleh dari kejahatan.
Kedua, mekanisme peradilan terhadap tindak pidana yang digunakan adalah mekanisme peradilan perdata karena terkait dengan aset (harta).
Ketiga, untuk putusan pengadilan, tidak dikenakan sanksi pidana seperti yang terjadi pada pelaku kejahatan lainnya. Mengingat terhadap kejahatan yang tidak menimbulkan korban secara langsung (victimless), pelaku seolah-olah terbebas dari kewajiban membayar ganti rugi.
Makna Perampasan Aset
Sesungguhnya, aturan perampasan aset telah dituang dalam Pasal 10 KUHP, Pasal 3, dan Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Dijelaskan bahwa perampasan aset dalam KUHP dan UU Tipikor adalah hukuman tambahan yang dijatuhkan dalam putusan hakim setelah melalui proses persidangan (court process).
Sedangkan perampasan aset pada konsep non-conviction based (NCB) merupakan mekanisme hukum yang memungkinkan aset negara diambil oleh pelaku untuk disita kembali.
Tujuannya adalah pengembalian kerugian negara (asset recovery) demi percepatan persidangan.
Demi proses yang cepat dan efektif, salah satunya dapat diterapkan adalah asas hukum lex specialis derogat lex generalis (aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum) sebab RUU Perampasan Aset mengatur tentang hukum acaranya sendiri.
Editor: Norben Syukur