Testimoni Istri Ferdy Sambo
PARBOABOA - Awal April 2023. Pemeriksaan terhadap pembesuk sungguh ketat. Begitu melewati pintu jeruji besi, petugas berucap bahwa barang bawaan ditaruh di loker saja. Handphone, kamera, dan alat perekam tak boleh dibawa. Pula, alat tulis. Instruksi itu tentu saja kami patuhi tanpa syarat.
Seluruh barang bawaan kami masukkan ke dalam loker. Roti bakar saja yang kami bawa dan itu kemudian dicek petugas dengan mesin scanner. Aman.
Giliran tubuh kami kemudian yang diperiksa. Steril.
Kami berdua lantas diminta menunggu. Sebentar saja orang yang kami besuk di sebuah rumah tahanan di Jakarta itu telah tampak. Lambaian tangannya dari kejauhan kami balas.
Kenalan lama yang sedang kami besuk. Ia pernah menjadi narasumber kami termasuk dalam penulisan buku. Sebut saja namanya Tedi.
Oleh Tedi kami diarahkan ke kursi yang dipojok. Di ruang berluas sekitar 6x7 meter ini kami lantas bercakap melepas rindu. Sudah setahun lebih kami tak bersua. Roti bakar yang kami bawa dimakannya dengan bersemangat. Diajaknya kami menyantap serta dengan alasan agar kompak. Bercakap sembari melahap pun berlangsung.
Seorang perempuan paruh baya bangkit dari tempat duduknya yang di sebelah kanan kami. Air mineral gelas, tiga potong bolu, dan tisu diletakkannya di meja kami. “Silakan,” ucapnya dengan mengangguk dan tersenyum.
“Terima kasih, Mbak Putri,” kata Tedi. Kami berdua berucap serupa.
“Kenalkan. Mereka ini kawan saya,” ucap Tedi.
Orang itu menyalami kami berdua seraya berucap, “Saya Putri.” Sangat santun, suaranya lembut bersahabat.
Kami membalas jabat tangannya dengan hangat.
Dia kembali ke tempat duduknya. Di sofa itu ia disertai dua anak remaja: yang satu perempuan dan satu lagi lelaki.
Sambil bercakap dengan Tedi, kami mencermati tiga orang yang di sebelah. Sebab? Keakrabannya mengesankan. Remaja putra itu tiduran di sofa. Kakinya berbantalkan paha ‘Mbak Putri’ yang mengenakan oblong krem dan celana tiga perempat. Kepalanya dibelai-belai perempuan itu. Sambil bertukar kata mereka bertiga. Namun, nadanya serba lembut.
Seusai dipijati kakinya, lelaki remaja itu kemudian minta kuku jemari kaki dan tangannya digunting. ‘Mbak Putri’ melakukannya dengan penuh kasih sayang.
Pemandangan yang menggugah perasaan itu membuat Has (P. Hasudungan Sirait) nyelutuk spontan. “Lihat itu…kompak betul mereka.”
“Keluarga Sambo ini memang sangat akrab dan saling menyayangi. Selalu terharu saya setiap melihat mereka kumpul,” kata Tedi dengan berbisik.
“Itu Putri yang istrinya Sambo?” Has bertanya dengan nada surprised?
“Mbak Putri…sini. Ada yang mau kenalan,” kata Tedi dengan suara yang agak dikeraskan. Ia menunjuk ke arah Has.
Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya dan mendekat. Ia menyalami Has. Keduanya pun berjabat tangan sambil tergelak.
Agar lebih akrab, sesuai dengan anjuran Tedi kami bertiga merapat ke sofa di sebelah kanan. Putri Candrawathi (PC) mempersilakan kami mengambil tempat setelah kedua remaja itu berdiri menyalami.
PC mengenalkan kedua temannya. Rupanya itu anaknya yakni Trisha Eungelica Ardyadana Sambo (Trisha) dan Tribrata Putra Sambo. Trisha si sulung sedangkan Tribrata anak kedua. Pasangan Ferdy Sambo-Putri Candrawathi beranak empat. Anak ketiga mereka Trishanna Datia Sambo (Datia). Sedang yang keempat saat itu masih balita.
Kami berenam langsung larut dalam perbincangan akrab. Tak seperti ibunya yang lebih banyak tersenyum daripada ngomong dan matanya sembab, Trisha dan Tribrata ceria.
Trisha saat itu mahasiswa kedokteran di Universitas Trisaksi. Tribrata baru lulus dari SMA Taruna Nusantara (Tarnus), Magelang, dan sudah diterima lewat jalur khusus di Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB).
“Saya sedang bersiap mengikuti tes Akpol [Akademi Kepolisian Semarang]. Kalau diterima nanti nggak akan ambil yang di ITB,” ucap Tribrata.
PC menjelaskan bahwa sejak lama Tribrata dan Datia ingin menjadi polisi. Mereka terinspirasi oleh sang ayah.
“Anak-anak ingin jadi polisi karena ikuti jejak ayahnya. Mungkin, lihat bapaknya dalam keseharian. Kelihatan gagah…pegang tongkat komando.” PC menjelaskan.
Saat kami bercakap, ada dua tahanan yang menjambangi untuk sekadar bertukar salam. Keduanya lelaki. Yang satu Tionghoa sepuh dan satu lagi berusia 50-an tahun, ber-ras Melayu, dan mengenakan kopiah haji. Mereka sama-sama mengucapkan terimakasih kepada PC karena telah dimasaki makanan. Senyum yang dilengkapi dengan anggukan jawabannya.
Satu setengah jam saja kami besuk hari itu. Begitu pendek pun, itu sungguh mengaduk-aduk hati kami kemudian. Sungguh sebuah dekonstruksi untuk pikiran. Gambaran sosok PC yang kami dapatkan dari media massa—terutama TV yang 3 bulan terus-menerus menayangkan persidangan tentang apa yang dinamai publik sebagai ‘kasus Sambo’—dan media sosial sangat lain dengan apa yang baru saja kami saksikan.
Dalam penggambaran yang bertubi-tubi di media (massa dan sosial), PC itu glamour, hedonis, genit, dan budak seks. Gara-gara nafsu seks berlebih dialah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat ditembak mati oleh Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu dan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Demikian menurut penggambaran wartawan dan netizen.
Ah, yang mana yang benar: versi yang menjadi anutan khalayak luas itukah atau yang kami lihat sendiri di rumah tahanan? Sebagai jurnalis, kami berdua tentu mesti skeptis. Jadi, kami penasaran dan terdorong untuk memverifikasi.
Sekitar dua pekan berselang kami membesuk Tedi lagi. Soalnya, persuaan kami pertama itu terpotong oleh perbincangan yang tak dinyana dengan keluarga Sambo. Padahal, nasib proyek penulisan buku yang sudah hampir klar—ihwal bagaimana pemerintah Indonesia menangani pandemi Covid-19 selama 2 tahun—mesti kami bicarakan.
Tatkala kami bertiga sedang ‘rapat’ di sebuah bilik kecil di rumah tahanan yang sama siang itu PC muncul. Ada yang akan dibicarakannya dengan Tedi. Kaos lengan panjang dan celana panjangnya serba hitam. Matanya masih saja sembab. Anggukan dan senyumannya kami balas dengan ‘apa kabar’.
Awalnya ia lebih banyak diam setelah mengambil tempat. Menyimak saja, dia. Jemari tangan kiri yang tetap mengepal di dada dialasnya dengan jemari tangan kanan.
Hanya kami berempat di ruangan mungil itu. Naluri jurnalis kami berdua kontan muncul. Kesempatan kami gunakan untuk menggali cerita. Bincang ihwal buku Covid kami kesampingkan dulu.
Apa sesungguhnya yang terjadi di rumah Magelang pada petang 7 Juli 2022? Pertanyaan itu kami ajukan dengan sangat hati-hati. Rin [Rin Hindryati] yang memulai.
Seketika PC menunduk. Tangan yang bertumpu dan mengepal di dada diturunkannya ke paha. Air menitik kemudian di sudut matanya setelah terdiam sesaat.
“Apa yang sebenarnya terjadi di Magelang waktu itu Mbak? Seperti apa pelecehan seksual yang dilakukan Brigadir Yosua?” Rin bertanya.
Setelah menyeka air mata dengan tisu yang di meja, istri Ferdy Sambo itu berkisah dengan suara yang acap tertahan. Intinya, ia diperkosa Brigadir Yosua. Jalan ceritanya? Setelah kami rangkai, kira-kira seperti berikut ini perkisahan dia. Versinya kurang-lebih sama dengan yang pernah dituturkannya kepada Komnas Perempuan saat pemeriksaan di tahun 2022.
Diperkosa!
Pada Senin 4 Juli 2022 Ferdy Sambo-Putri Candrawathi bertolak dari Jakarta ke Magelang disertai para ajudan dan asisten rumah tangga. Tujuan utamanya adalah mengantarkan Datia yang akan bersekolah di SMA Taruna Nusantara. Bukan naik pesawat mereka melainkan mobil. Pertimbangannya, naik mobil lebih praktis di zaman Covid itu. Swap antigen atau tes PCR, misalnya, tak perlu.
Besok paginya, Ferdy Sambo berangkat dari rumah Magelang ke Semarang untuk mengikuti perayaan hari Bhayangkara. Sorenya, sambil menonton televisi PC ia selonjoran di sofa yang terletak di depan pintu lantai 1. Badannya sedang tak enak. Kelelahan penjadi penyebabnya.
Selain baru saja naik mobil Jakarta-Magelang, selama beberapa hari berturut sebelumnya ia sibuk mengurusi Bhayangkari. Pula, ia yang mempersiapkan bawaan Datia yang akan pindah ke Magelang. Sedari dulu ia sendiri memang yang terjun langsung mengurusi anak-anaknya.
Sembari menunggu Susi, asisten rumah tangga, yang sedang membereskan pekerjaan di rumah Magelang ia masih saja selonjoran di sofa. Pindah ke kamarnya di atas ia malas karena pasti akan sulit tidur nanti sebab sendirian.
Yosua mendekat dan menawarkan untuk membopong dia ke kamar atas.
“Saya kaget sekali. Kok kurang ajar, kata saya dalam hati. Ia beberapa kali menawarkan tapi saya tolak terus,” kata PC. “Saya bilang akan jalan sendiri ke atas kalau sudah tidak lemas.”
Kuwat Ma’ruf, marah mendengar ucapan Yosua yang dianggapnya tidak sopan. Orang sipil yang merupakan kepercayaan keluarga—sudah 20 tahun bekerja untuk mereka, ia merupakan sosok paling baik di mata anak-anak Sambo—sampai menegur sang brigadir.
Sebentar saja ketegangan kecil itu sudah berlalu.
Besoknya, Selasa, PC mengajak orang serumah ke mal karena Datia memerlukan sepatu olahraga. Yoshua bilang dirinya ikut. Lantas, mereka, bersama Brigadir Kepala (Bripka) Ricky Riza, berangkat naik mobil. Ricky dibelikan sepatu juga oleh PC waktu itu.
Rabu, 6 Juli 2022, Ferdy Sambo bergabung di rumah Magelang. Malamnya para ajudan, termasuk Yosua, sibuk mempersiapkan kejutan untuk ulang tahun ke-22 pernikahan Ferdy Sambo—Putri Candrawathi. Perkawinan mereka pada 7 Juli 2000.
Pas pergantian dari tanggal 6 ke 7 kenduri berlangsung. Sebagaimana kebiasaan mereka, PC menyuapi hadirin termasuk ajudan dan asisten rumah tangga.
Seusai acara, Irjen Ferdy Sambo yang merupakan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri bersama ajudan berangkat ke Jakarta melalui Yogyakarta. Ada lagi tugas yang akan dijalankannya.
Badan PC masih letih dan kini begadang lagi. Ia tidur di kamar atas dan baru terbangun sekitar pukul 11.00. Dia turun untuk makan siang tapi setelah itu naik lagi ke peraduan.
Rizky Riza dan Richard Eliezer sedang mengantar kebutuhan Tribrata dan Datia–termasuk bantal dan selimut—ke Asrama Taruna Nusantara. Jadi, di rumah waktu itu hanya ada Kuwat Mar’uf, Yosua, dan Susi selain PC.
PC terbangun petang itu karena merasa ada yang mendekati. Tatkala membuka mata ia pun terkejut. Yosua berdiri di sebelah kakinya.
“Mau apa kamu Jo?”
Lelaki yang matanya merah dan mulutnya bau minuman keras tidak menjawab melainkan menyergap. Dia memeloroti celana pendek PC dan menyingkap kaosnya.
PC sempat menendangi benda apa pun yang ada di dekatnya, termasuk tempat sampah, untuk menghasilkan suara gaduh. Tapi, ia terlalu lemah. Penetrasi pun terjadi.
Selesai melampiaskan nafsunya lelaki yang berasal dari kesatuan Brimob mengancam. “Kalau kamu mengadu, pilih saja: anak perempuanmu yang mana yang akan aku giniin,” ucapnya. “Kalau ngomong, suamimu akan kuhabisi. Juga anakmu yang di Tarnus.”
PC ketakutan. Ia sempat memikirkan suami dan anak-anak yang sangat dicintainya. Yosua mengetahui tempat Tribrata dan Datia di Taruna Nusantara karena sudah pernah ke sana.
Mendengar ada suara seseorang di tangga, Yosua panik. PC dibantingnya di lantai kamar sebelum dijadikan tameng. Nyonya rumah itu disuruhnya berjalan di depan untuk membuka pintu. Ia mengikuti di belakang. Ya, seperti sedang menyandera.
Ia menggiring PC ke arah kamar mandi di sebelah kamar sang induk semang. Di sana ia mendorong keras perempuan itu hingga terjengkang.
Yosua kemudian turun dengan mengendap-endap. Kuwat Mar’uf yang sedang di teras bawah melihatnya.
Sambil menggebrak dinding-kaca pembatas, Kuwat Ma’ruf berteriak. “Hei, ngapain kamu?”
Yosua turun dan menghambur ke luar rumah lewat pintu belakang. Kuwat Ma’ruf mengejarnya sembari mengacung-acungkan pisau. Tapi, orang yang sehari-hari bekerja multi-tasking di rumah keluarga Sambo—termasuk menjadi supir dan tukang kebun—kalah cepat.
Sekembali ke rumah, Kuwat Mar’uf meminta Susi memeriksa keadaan di atas. Itu sekitar pukul 19.30 WIB.
PC ternyata terkapar di depan kamar mandi. Susi mencoba menyadarkannya dengan mengguncang-guncang tubuh. Berhasil. Bersama Kuwat Ma’ruf, nyonya rumah itu dibopongnya ke kamar dan diselimuti.
Tak lama berselang PC menelepon Ricky Riza dan Richard Eliezer agar segera pulang.
Keduanya lekas bergabung.
Merasa ada yang tak beres, keduanya langsung menuju kamar atas. Di sana mereka melihat PC tidur sambil berselimut. Ricky Reza bertanya apa yang terjadi. PC bertanya di mana Yosua. Kemudian meminta untuk memanggilnya.
Sebelum memanggil, Ricky Reza yang merupakan pengawal berpangkat tertinggi di rumah itu mengamankan dulu senjata Yosua.
Brigadir Yosua ada di depan rumah. Ricky Reza menanyakan apa yang terjadi. Yosua mengatakan dirinya tidak tahu mengapa Kuwat Mar’uf marah kepadanya. Ricky membujuk sehingga ia bersedia menemui PC.
PC dan Yosua berbicara berdua di kamar itu sekitar 15 menit. PC sudah mengambil keputusan.
“Kamu saya maafkan. Masalah ini selesai. Tapi kamu risain [mengundurkan diri sebagai ajudan Ferdy Sambo],” ucapnya. Sehabis berujar demikian anak pasangan Samuel Hutabarat—Rosti Simanjuntak disuruhnya turun.
Ada pertimbangannya sehingga ia sampai ke keputusan meminta Yosua risain. Lulusan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Trisakti yang sempat berpraktik itu memikirkan banyak hal.
Yosua menyimpan senjata api. Bisa terjadi keributan besar nanti. Sementara Magelang kota kecil sehingga kabar akan lekas santer. Kalau itu sampai terjadi imbasnya pasti banyak. Karir suaminya bisa terganggu. Padahal, sebagai istri itu dijaganya betul selama 22 tahun berumah tangga. Pula, ia mengkhawatirkan ancaman Yosua: akan menghabisi Ferdy Sambo dan anak-anaknya.
Kuwat Mar’uf yang tidak tahu persis apa yang terjadi kemudian mengusulkan ke PC agar melapor ke suaminya. Alasannya, agar tak ada duri dalam rumah tangga.
Jumat subuh 8 Juli 2022 PC menelepon suaminya. Sambil menangis ia bilang Yosua telah masuk ke kamarnya dan berlaku kurang ajar. Sengaja tak diungkapkannya apa sesungguhnya yang terjadi.
Ferdy Sambo berang mendengarkan laporan itu. Begitupun, PC meminta agar ia tak menghubungi siapa-siapa termasuk ajudan yang di Magelang. Soalnya, Magelang kecil; orang lain nanti tahu. Lagi pula, Yosua bersenjata dan memiliki tubuh yang lebih besar dibanding ajudan yang di rumah Magelang.
Setuju Ferdy Sambo. Namun, ia meminta istrinya itu lekas pulang dan setiba di Jakarta menceritakan apa yang sejatinya terjadi.
Rombongan pulang ke Jakarta dipandu mobil patroli pengawal. Sesampai di rumah Saguling, PC pun mengisahkan apa yang dialaminya.
Ferdy Sambo gemetaran, marah, dan menangis. Ia mengatakan tidak ada gunanya pangkat tinggi kalau keluarga dibegitukan. Akibatnya sangat fatal kemudian. Penembakan terjadi di rumah dinas Duren Tiga Nomor 46, Jakarta. Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat kehilangan nyawa seketika.
Begitu kira-kira testimoni Putri Candrawathi kepada kami siang itu. Kami menjadi sangat penasaran, selain tercengang, sebaik menyimaknya. Tentu saja sebagai jurnalis kami tak berhenti sampai di tuturan itu. Penelusuran panjang pun kami lakukan. Sejumlah kalangan kami wawancarai. Tujuannya tak lain dari mencari kebenaran.
Rekomendasi Komnas
Komnas Perempuan yang ditugasi Komnas HAM sebagai penyelidiknya telah mendengar langsung kisah ini dari PC dalam pemeriksaan yang mereka lakukan di tahun 2022. Sebab itulah, seperti kata Komisioner Siti Aminah Tardi kepada kami, mereka merekomendasikan agar kepolisian memeriksa kejadian di rumah Magelang.
“Rekomendasi Komnas Perempuan itu telah menjadi bagian dari rekomendasi Komnas HAM yang diserahkan secara resmi ke Mabes Polri,” kata Siti Aminah.
Ketua Komnas HAM Taufan Damanik menyatakan, pihaknya telah meminta polisi mendalami kasus pelecehan seks di Magelang (Kompas.com, edisi Rabu, 30 Agustus 2022). Kesaksian PC, lanjut dia, telah masuk dalam berita acara pemeriksaan (BAP) kasus Sambo.
Masalahnya kemudian adalah kesaksian PC ini tidak menjadi bahan pertimbangan majelis hakim selama persidangan di pengadilan. Padahal, menurut Putri Candrawathi kepada kami, gara-gara itulah suaminya, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, menyuruh Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu menyikat Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. (Bersambung)
Reporter: Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirait