PARBOABOA, Simalungun - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait Pajak dan Retribusi Daerah yang diusulkan Pemerintah Kabupaten Simalungun melalui Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) menuai pro dan kontra.
Menurut pengamat kebijakan publik, Roy Valiant Salomo, perubahan peraturan tidak menjadi landasan pemungutan pajak dan retribusi di daerah-daerah termasuk Simalungun bisa optimal.
"Ganti perda (peraturan daerah) belum tentu optimal juga pemungutan pajaknya," katanya saat dihubungi PARBOABOA, Senin (9/10/2023).
Akademisi Universitas Indonesia ini mengatakan, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi optimalnya pengutipan suatu pajak yang berpotensi sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Antara lain, profesionalisme pegawai di dinas pendapatan daerah, sikap dan karakter pimpinan daerah, budaya kerja serta manajemen pelayanan.
"Pelayanan ini masih terbagi lagi, bisa luring (tatap muka) ataupun sekarang ini sudah memanfaatkan teknologi," jelas Salomo.
Ia juga mengingatkan Pemkab Simalungun, melalui Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah Simalungun untuk mengkaji ulang potensi-potensi pajak dan retribusi yang bisa dioptimalkan di kabupaten itu.
"Namun, jika potensi yang ada saja tidak bisa dimaksimalkan, artinya ada yang salah dengan kepemimpinan di Simalungun," tegas Salomo.
Sementara pengamat kebijakan publik lain, Trubus Rahardiansyah menilai, perubahan peraturan daerah menjadi salah satu langkah tepat Pemkab Simalungun meningkatkan pemungutan pajak dan retribusi daerah.
Menurut Trubus, langkah Pemkab Simalungun merasionalkan jenis layanan Pajak yang sebelumnya 32 menjadi 18 jenis layanan menjadi langkah efektif meningkatkan perekonomian masyarakat serta memudahkan pelaku usaha menjalankan bisnisnya.
"Sekarang itu banyak di Pulau Jawa yang jenis pajaknya bisa lebih dari 32 sehingga masyarakat dan pelaku usaha di sana pusing karena banyaknya pajak. Dengan merasionalkan jenis layanan pajak di sana, secara tidak langsung pemerintah Simalungun ingin membantu dan meningkatkan perekonomian masyarakat," jelas Akademisi Ilmu Hukum dan Kebijakan Publik di Universitas Trisakti Jakarta ini.
Trubus juga tidak menampik raperda tersebut bisa menjadi role model daerah lain, jika telah disahkan dan berhasil diterapkan di Simalungun.
Ia juga mengingatkan pengawasan, utamanya terhadap jenis layanan pajak dan retribusi di Simalungun yang dikurangi, guna menghindari terjadinya kecurangan yang berpotensi mengurangi potensi pendapatan asli daerah (PAD) di Simalungun.
"Jenis layanan yang semakin sedikit punya potensi tindak kecurangan yang semakin besar," ungkap Trubus.
Pada Kamis (5/10/2023), Pemkab dan DPRD Simalungun menyetujui usulan Raperda tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Persetujuan tersebut dilakukan dalam rapat paripurna yang dihadiri Wakil Bupati Simalungun, Zonny Waldi.
Saat itu, semua fraksi di DPRD Simalungun setuju terkait usulan yang mengubah jumlah layanan penarikan pajak dan retribusi daerah tersebut.
Meski menyetujui, pengesahan raperda ini masih melalui beberapa tahapan ke depan. Yaitu harmonisasi ke Kementerian Hukum dan HAM, evaluasi ke Pemprov Sumut, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.
Sementara itu, Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah Simalungun melalui Kepala Bidang Pajak dan Retribusi Daerah, Parmonangan Situmorang menilai, raperda tersebut nantinya bisa mengoptimalkan pemungutan pajak dan retribusi serta peningkatan perekonomian masyarakat melalui kemudahan berusaha.
Parmonangan menjelaskan, peraturan tersebut lahir dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 untuk mewujudkan desentralisasi fiskal yang adil, transparan, akuntabel dan berkinerja.
Kemudian pada UU Nomor 1 Tahun 2022 tersebut akan dilakukan penguatan local taxing power, dengan tetap menjaga kemudahan berusaha di daerah.
"Dapat meningkatkan ekosistem perekonomian di Simalungun sehingga dapat mendukung upaya pemenuhan dan penjaminan ketentuan yang diamanatkan sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945," jelas Parmonangan kepada PARBOABOA, Senin (09/10/2023).
Sejumlah strategi yang akan diterapkan di raperda tersebut yaitu menurunkan administration dan compliance cost melalui restrukturisasi jenis pajak daerah khususnya yang berbasis konsumsi, rasionalisasi retribusi dari 32 jenis layanan menjadi 18 layanan dan memperluas basis pajak.
Parmonangan berharap, perubahan jumlah pada jenis layanan mampu memberikan insentif kepada pelaku usaha untuk mengantisipasi biaya ekonomi yang tinggi.
"Selain mengoptimalkan pemungutan pajak dan retribusi juga dapat membantu perekonomian masyarakat khususnya pelaku usaha, ini akan efektif jika diterapkan" imbuhnya.