PARBOABOA, Jakarta - Operasi Tangkap Tangan (OTT) merupakan salah satu metode penindakan yang paling dikenal dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Metode ini melibatkan penangkapan tersangka korupsi di tengah upaya melakukan transaksi atau tindakan yang mencurigakan, dengan tujuan membongkar praktik lancung itu secara langsung dan cepat.
Meskipun efektif dalam menunjukkan bukti nyata dari tindak pidana korupsi, OTT sering memicu perdebatan terkait efektivitas jangka panjangnya dan kesesuaiannya dengan hukum acara yang berlaku.
Dalam konteks ini, calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, menyampaikan pandangannya pada uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK di Komisi III DPR RI pada Selasa, (29/11/20240.
Johanis mengungkapkan bahwa jika terpilih sebagai ketua KPK, ia ingin meniadakan OTT. Ia menilai bahwa operasi tersebut tidak sesuai dengan pemahaman yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pernyataan ini disampaikan Johanis di hadapan para anggota Dewan sebagai bagian dari visi dan pendekatan baru yang ia tawarkan dalam pemberantasan korupsi.
Seandainya terpilih, "saya akan tutup atau close, karena OTT itu tidak sesuai dengan pengertian yang dimaksud dalam KUHAP," tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam pemahaman umum, istilah "operasi" seperti dalam dunia medis mengacu pada tindakan yang terencana dan disiapkan dengan matang. Sebaliknya, pengertian "tertangkap tangan" dalam KUHAP mengacu pada kejadian spontan di mana pelaku tertangkap di tengah aksi tanpa perencanaan.
Menurut dia, perbedaan ini "menunjukkan tumpang tindih konsep yang membingungkan."
Kendati demikian, pendapatnya tersebut tidak sejalan dengan mayoritas pimpinan KPK yang mendukung OTT sebagai strategi penting dalam pemberantasan korupsi.
Ia sendiri mengakuinya dengan mengatakan, pendapat pribadinya kerap kalah dari suara mayoritas yang menganggap OTT sebagai tradisi yang perlu dilanjutkan.
Dalam sesi uji kelayakan calon pimpinan KPK, Tanak mendapat pertanyaan dari Aboe Bakar Al Habsyi, Sekretaris Jenderal PKS, tentang pendekatan penindakan korupsi melalui OTT dibandingkan dengan pencegahan.
Di situ, Aboe mempertanyakan makalah Tanak yang terlihat lebih fokus pada penindakan, dan ingin tahu apakah Tanak kurang mendukung upaya pencegahan yang sudah diterapkan KPK.
Menurut Aboe, pencegahan jauh lebih efektif, karena dapat menghentikan niat korupsi sejak awal dengan memberikan peringatan yang membuat calon pelaku berpikir dua kali sebelum bertindak.
Aboe menjelaskan bahwa pendekatan pencegahan dapat membuat orang takut melakukan korupsi karena mereka sadar tindakan mereka diawasi dan bisa terkena jerat KPK.
Ia kemudian membandingkan pendekatan Indonesia dengan negara lain. Beberapa negara seperti Hong Kong atau Korea Utara, kata dia, lebih memilih penindakan tegas dengan langkah langsung seperti OTT.
Sebaliknya, negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Swedia, dan Denmark lebih fokus pada pencegahan yang efektif sehingga tidak memerlukan aksi tangkap tangan.
Menurut Aboe, pendekatan pencegahan di negara-negara tersebut terbukti mampu mengurangi korupsi tanpa harus mengandalkan operasi penangkapan.
Namun di Indonesia, tegasnya tantangan yang dihadapi cukup besar, sehingga "pendekatan seperti OTT masih dianggap perlu."
Menyesatkan
Dalam keterangan terpisah, Indonesia Corruption Watch atau ICW menilai, pendapat Johanis Tanak yang meminta OTT dihapus sebagai sesuatu yang menyesatkan.
Peneliti lembaga itu, Diky Anandya mengatakan pendapat Tanak tidak lebih dari upaya mengambil hati DPR yang mengujinya supaya lolos seleksi.
"Padahal yang disampaikan jelas tidak berdasar dan menyesatkan," kata Diky, Rabu (20/11/2024).
Ia menjelaskan OTT oleh KPK selalu melalui tahap perencanaan yang sistematis. Proses ini diawali dengan penyadapan, yang menjadi langkah awal untuk memantau aktivitas terduga pelaku.
Tak hanya itu, penyadapan tersebut dilakukan sesuai amanat Undang-Undang lembaga anti rasuah yang memberi wewenang kepada KPK untuk melakukan tindakan dalam rangka penyelidikan dan penyidikan.
Setelah mendapatkan cukup informasi, tegasnya, tim lalu melakukan pengintaian hingga akhirnya menangkap pelaku saat melakukan aksi korupsinya.
Selain itu, penyadapan, kata dia, merupakan bagian integral dari perencanaan OTT sehingga menjadi instrumen sah sesuai hukum. Dalam hal ini, istilah OTT yang digunakan KPK setara dengan konsep "tertangkap tangan" sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Itulah sebabnya, OTT yang dilakukan KPK selalu berdasarkan prosedur hukum yang jelas dan merupakan wujud nyata dari hasil penyelidikan mendalam.
Diky lalu menyoroti pentingnya OTT sebagai strategi penindakan korupsi yang telah banyak memberikan hasil konkret.
Ia mengungkapkan melalui OTT KPK berhasil mengungkap kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi, seperti menteri, pimpinan lembaga negara, hingga hakim konstitusi.
Karena itu, menghapus OTT, menurut dia, sama saja dengan melemahkan kemampuan KPK dalam menindak korupsi secara efektif.
Dalam rangka itu, ia mengingatkan bahwa pemilihan calon pimpinan KPK seharusnya didasarkan pada komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi, bukan pandangan yang berpotensi merusak kinerja KPK.
Usulan untuk menghapus OTT, tegasnya lagi, bertentangan dengan prinsip dan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini menjadi andalan KPK.
Lantas ia meminta DPR harus bijak dalam memilih pemimpin KPK untuk memastikan keberlanjutan upaya melawan korupsi.
OTT KPK
OTT adalah metode yang digunakan KPK untuk menangkap pelaku tindak pidana korupsi secara langsung ketika mereka sedang melakukan tindakan koruptif.
Metode ini bertujuan untuk memastikan pelaku dapat ditangkap beserta bukti-bukti yang kuat, sehingga mempercepat proses hukum dan menekan ruang gerak korupsi.
Pelaksanaan OTT diatur berdasarkan ketentuan hukum yang jelas dalam sistem hukum Indonesia. Salah satunya adalah Pasal 102 KUHAP, yang menjelaskan kewajiban penyelidik untuk segera bertindak dalam hal adanya peristiwa tertangkap tangan, tanpa harus menunggu perintah dari penyidik.
Setelah tindakan diambil, penyidik wajib membuat laporan resmi untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Selain itu, Pasal 111 KUHAP menegaskan, dalam peristiwa tertangkap tangan, siapapun berhak menangkap pelaku, terutama mereka yang memiliki tugas menjaga keamanan dan ketertiban.
Pelaku harus segera diserahkan kepada penyelidik atau penyidik, yang kemudian akan melanjutkan proses pemeriksaan di tempat kejadian untuk memastikan fakta-fakta yang relevan.
Dalam kondisi ini, aparat hukum berwenang mencegah siapa pun meninggalkan lokasi hingga pemeriksaan selesai, dan pelanggar dapat dikenai tindakan tegas.
Dengan dasar hukum ini, OTT menjadi salah satu alat penting dalam pemberantasan korupsi. Metode ini tidak hanya efektif dalam membongkar kasus korupsi, tetapi juga menciptakan efek jera bagi calon pelaku.
Melalui penerapan prosedur yang diatur dengan rinci, KPK harus memastikan bahwa tindakan OTT sejalan dengan prinsip hukum yang berlaku, menjaga legitimasi proses hukum dan memperkuat kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi.
Untuk diketahui, sejak berdirinya KPK, ada begitu banyak pejabat negara dan juga pihak swasta ditangkap melalui OTT.
Namun berdasarkan data ICW dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), ada penurunan drastis perihal OTT KPK pada periode 2019-2024.
Diky dari ICW berkata, penurunan paling darastis saat itu terjadi pada era kepemimpinan era Firli Bahuri, dibandingkan dengan era Agus Rahardjo.
Saat Agus Rahardjo memimpin, KPK mencatat 17 OTT di tahun pertama dan meningkat menjadi 19 OTT di tahun kedua. Sementara itu, di masa Firli, hanya ada 7 OTT di tahun pertama dan turun lagi menjadi 6 OTT di tahun kedua. Penurunan ini berlanjut di tahun-tahun berikutnya.
Menurut Diky, hal ini terjadi karena Firli lebih fokus pada pencegahan daripada penindakan kasus korupsi. Meski pencegahan penting, kata dia, pemberantasan korupsi dianggap harus seimbang antara penindakan dan pencegahan untuk benar-benar efektif.
Editor: Gregorius Agung