PARBOABOA, Jakarta - Penerimaan peserta didik baru (PPDB) dari jalur zonasi kembali menuai polemik di berbagai wilayah di Indonesia.
Di Bogor, sejumlah orang tua yang tinggal berdekatan dengan SMAN 3 Bogor mendatangi sekolah tersebut pada Kamis (20/6/2024) karena anak mereka tidak diterima melalui jalur zonasi.
Orang tua bahkan sampai mengukur jarak dari rumah ke sekolah dengan meteran kayu.
Penjabat Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin, menyatakan bahwa Dinas Pendidikan Jawa Barat membatalkan penerimaan 31 calon siswa setelah pengumuman PPDB SMA 2024 karena terbukti melanggar aturan domisili.
Bey menegaskan bahwa pemerintah serius memberantas kecurangan dalam PPDB, “keputusan kelulusan bisa dianulir jika terbukti ada pelanggaran,” kata Bey pada Senin (24/6/2024).
Puluhan siswa tersebut diketahui berasal dari dua SMA di Kota Bandung yang terdiri dari 25 calon siswa dari SMA 3 dan 6 calon siswa dari SMA 5.
Dia menjelaskan, tim verifikasi lapangan menemukan bahwa mereka tidak berdomisili sesuai Kartu Keluarga.
Mereka melanggar Peraturan Gubernur Nomor 9 Tahun 2024 yang dipertegas dengan Surat Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang ditandatangan orang tua calon siswa.
Selain itu, Dinas Pendidikan Jawa Barat menemukan praktik pungutan liar (pungli) dalam pelaksanaan PPDB 2024 tingkat SMA/SMK/SLB.
Kasus ini bahkan melibatkan oknum kepala sekolah di Bekasi yang diduga menjual formulir pendaftaran PPDB secara online.
Plh Kadisdik Jabar, Ade Afriandi, menerangkan pihaknya telah menemukan satu kasus di Kota Bekasi di salah satu SMAN, di mana terjadi penjualan formulir pendaftaran.
"Kami mendapatkan informasi dari masyarakat dan kami tindak lanjuti," jelasnya, Selasa (25/6/2024).
Beragam kasus PPDB ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih membutuhkan pembenahan serius.
Seleksi Sekolah di Indonesia
Menanggapi hal itu, Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji kembali menyoroti pendidikan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Indra menjelaskan bahwa masalahnya adalah mungkin Indonesia menjadi satu-satunya negara yang tidak memandang pendidikan sebagai HAM yang sudah melekat dalam diri setiap anak Indonesia.
Jadi karena itu hak asasi, “seharusnya tidak boleh ada pelarangan anak bersekolah," jelas Wakil Ketua Umum Vox Point Indonesia bidang Pendidikan ini kepada Parboaboa, Selasa (25/6/2024).
Indra juga menyebut bahwa hanya di Indonesia masuk sekolah harus diseleksi. Sedangkan, di negara lain, anak-anak yang ingin bersekolah memiliki kesempatan yang terbuka lebar.
Syarat masuk sekolah pada jalur zonasi itu menurutnya, keliru. Apalagi, sampai timbul permasalahan seperti yang dilakukan orang tua di Bogor dan di beberapa wilayah lain.
Indra membandingkan, jika pada zamannya seleksi dengan nilai, sementara zaman sekarang pakai jarak. Namun menurut dia, dua-duanya keliru karena tidak memandang pendidikan sebagai HAM.
Seharusnya, tegas dia, semua warga negara wajib mendapat pendidikan dasar dan pemerintah wajib dan bertanggung jawab membiayainya.
Karena hal tersebut tertuang dalam Pasal 31 Ayat 1 sampai 5 UUD 1945 tentang Pendidikan dan Kebudayaan.
Adapun pasal tersebut dengan sangat jelas mengatur tentang kewajiban dan hak warga negara Indonesia dalam pendidikan, kewajiban pemerintah di bidang pendidikan dasar dan sistem pendidikan, dan anggaran pendidikan nasional.
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, jadi betul-betul setiap warga negara, bukan hanya yang jaraknya dekat, bukan hanya yang pintar, bukan hanya yang tinggal di kota atau daerah terpencil, daerah 3T, atas gunung, atau di pulau.
"Jadi semuanya, mau di bantaran sungai, mau dia agama Islam, Budha, Kristen, Katolik, Konghucu, mau siapapun," tegas Indra.
Jadi terang Indra, aturannya setiap warga negara wajib, bukan lagi berhak, tapi wajib mendapatkan pendidikan dasar.
Artinya ada kewajiban konstitusional untuk Pemerintah menyiapkan layanan pendidikan ini dan Pemerintah wajib membiayai itu.
Kalau bicara tentang minimnya anggaran dan aspek lain sambungnya tentu saja masih bisa diterima.
Tapi yang tidak bisa diterima adalah pemerintah mampu membuat program-program yang bukan dari hak asasi manusia.
Indra pun mendorong pemerintah bisa membangun sekolah lebih banyak lagi. Bagi dia, pemerintah mestinya membangun lebih banyak sekolah.
Untuk mungkin menjadikan sekolah swasta menurutnya, itu biar tetap dikelola swasta tapi biayanya dari pemerintah, “kan pasal 31 Ayat 2 itu mengatakan pemerintah wajib membiayainya, enggak harus sekolah negeri," jelas Indra.
Indra mengimbau untuk mendaftar masuk sekolah sebaiknya jangan melalui program seleksi. Karena itu, jelasnya, adalah hak asasi warga negara untuk harus diterima di sekolah tersebut.
Kalau bicara daya tampung, lanjutnya, yang penting daya tampungnya cukup dan paling mudah untuk mereka yang berada di sekitarnya.
"Jadi aturan zonasinya sudah benar, tetapi kita bicara filosofinya masih belum," tutup dia.
Editor: Norben Syukur