PARBOABOA, Jakarta - Pengamat politik Rocky Gerung kembali menyoroti soal kondisi politik Indonesia hari-hari ini.
Dalam diskusi bertajuk 'Harkat, Martabat dan Keselamatan Seorang Mantan Presiden' yang digelar di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, Jumat (1/9/2023), Rocky menyebut bahwa secara antropologis, politik di Indonesia berbasis dendam.
Tesis Rocky berangkat dari historisitas politik Indonesia di masa lalu; mulai dari kisah Ken Arok yang hidup dalam siasat dan ambisi merebut kekuasaan, kejatuhan Gus Dur dan rekayasa politik di baliknya, hingga retaknya relasi politik Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut bekas dosen Filsafat di Universitas Indonesia itu, situasi semacam ini bisa saja akan menyasar Presiden Jokowi. Ia akan mendapatkan serangan dari presiden terpilih. Karena itu, demikian Rocky, perlu adanya prisai yang membentengi Jokowi.
Menarik untuk kembali mengulas tesis Rocky soal dendam politik yang seakan menjadi warisan kultur politik masa lalu dan akan sulit hilang dari konstelasi politik Indonesia hari-hari ini.
Hasrat dan Ambisi Ken Arok
R. Pitono dalam bukunya Pararaton (1965) mencatat, perjalanan politik Ken Arok dalam perebutan kekuasaan tidak pernah terlepas dari hasrat, siasat dan ambisi politik.
Sebelum mendirikan Kerajaan Singasari, Ken Arok membunuh pemimpin Tumampel, Tunggul Ametung, demi menikahi Ken Dedes.
Tumapel atau yang kini termasuk wilayah Malang kala itu merupakan bagian dari Kerajaan Kediri yang dipimpin Sri Maharaja Kertajasa (1194-1222 M).
Dikutip dari Sanatana Dharma (2020) yang disusun Made Urip Dharmaputra, Ken Arok awalnya adalah pegawai Tunggul Ametung di Tunampel. Ia diterima sebagai pengawal atas permintaan brahmana Lohgawe, sosok yang konon datang dari India untuk mencari titisan Dewa Wisnu di tanah Jawa.
Namun, Ken Arok rupanya menaruh hati ke istri Tunggul Ametung, Ken Dedes, yang saat itu sedang mengandung. Didorong hasrat untuk memiliki Ken Dedes, Ken Arok nekat menghabisi nyawa Tunggul Ametung.
Setelah berhasil membubuh Tunggul Ametung, Ken Arok akhirnya menikahi Ken Dedes dan menguasai Tumapel sejak tahun 1222 M.
Tak berhenti di situ, setelah Tunggul Ametung dibunuh dan mengawini Ken Dedes, hasrat kekuasaan Ken Arok semakin memuncah.
Ambisinya memerdekakan Tumampel dari pengaruh Kerajaan Kediri membuatnya ingin menggulingkan wilayah yang dipimpin Raja Kertajaya itu. Ia akhirnya sukses menggulingkan Raja Kertajaya dari takhta Kerajaan Kediri. Wilayah kekuasaannya pun bertambah luas.
Hasrat dan ambisi Ken Arok melahirkan dendam. Pararaton menulis, Ken Arok mati dibunuh oleh Anusapati, anak Tunggul Ametung dan Ken Dedes pada 1247 M. Anusapati membalaskan dendam sang ayah dan membunuh Ken Arok dengan keris Mpu Gandring yang dulu pernah digunakan Ken Arok untuk menghabisi nyawa Tunggul Ametung.
Anusapati juga merebut Ken Dedes dan Tumapel dan mengambil-alih takhta Singasari, meski hanya bertahan dua tahun saja. Pada 1249 M Anusapti tewas lantaran dihabisi oleh putra Ken Arok dan Ken Umang, yakni Tohjaya, juga dengan keris Mpu Gandring.
Lengsernya Gus Dur
Warisan dendam dan siasat politik di masa lalu, demikian Rocky, juga terbaca dalam konstelasi politik Indonesia ketika dijatuhkannya Presiden Gus Dur.
Lengsernya Gus Dur menjadi salah satu peristiwa politik yang selalu menancap dalam ingatan dan memori publik. Tepat pada 23 Juli 2021, Gus Dur dimakzulkan dari tampuk kekuasaan Presiden RI.
Padahal, Gus Dur yang dilengserkan melalui sidang istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI itu, baru saja menjabat sebagai presiden selama 21 bulan sejak 20 Oktober 1999.
Greg Barton dalam Biografi Gus Dur, menceritakan detik-detik lengsernya presiden keempat RI itu terasa mencekam. Rakyat yang mendukungnya memadati Istana Kepresidenan Jakarta, berhadapan dengan militer yang berseliweran di sekitar Istana.
Sebelum dilengserkan, Gus Dur diterpa sejumlah isu kontroversial. Salah satu isu kencang dihembuskan adalah tudingan Pansus DPR RI soal dugaan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Badan Urusan Logistik (Bulog) sebesar 4 juta dollar AS.
Riak-riak politik menggoyangkan kursi kekuasaannya semakin memanas. MPR kemudian mengagendakan Sidang Istimewa pada 23 Juli 2021.
Gus Dur yang mendengar kabar ini jelang tengah malam 22 Juli 2001, langsung mengadakan pertemuan darurat dengan Wasekjen PBNU, Masduki Baidlowi dan tuju ulama sepuh di Istana Negara.
Mengutip laman resmi PBNU, dalam pertemuan yang penuh haru itu, Gus Dur meminta maaf lantaran tidak berterus terang kepada para ulama terkait situasi politik yang sedang terjadi.
Tangisnya pun pecah bukan karena lemah menghadapi situasi politik yang mencekam saat itu, tetapi karena memikirkan komitmen kuat para ulama dan pendukungnya.
Memasuki 23 Juli 2001, atas dorongan para ulama, suami Sinta Nuriyah ini mengeluarkan dekrit presiden yang memuat 3 poin utama, yakni pembekuan DPR dan MPR, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat, dan pembekuan Partai Golkar.
Langkah tersebut ternyata tidak mampu memecah kebuntuan politik saat itu, tetapi justru membuat Parlemen makin meradang. Dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan.
Pada 23 Juli 2021, melalui Sidang Istimewa MPR yang dipimpin Amien Rais, Gus Dur akhirnya resmi dilengserkan.
Amien Rais memang menjadi salah satu tokoh kunci di balik lengsernya Gus Dur. Ia juga disebut memainkan rekayasa politik ketika menjadi ketua MPR dan menuduh Gus Dur terlibat dalam skandal Buloggate 1 dan II serta skandal Brunaigate. Namun, semua tuduhan itu tidak terbukti hingga ke pengadilan.
Di sisi lain, beberapa hari sebelum pemilihan presiden digelar, Gus Dur seakan mendapat dukungan politik dari Amien Rais. Saat itu, mengutip Greg Barton, Amien Rais menyebut Gus Dur sebagai satu-satunya harapan untuk mempersatukan rakyat Indonesia.
Amien memang membuktikan pernyataannya kala itu, di mana Gus Dur terpilih menjadi presiden dan Megawati sebagai wakilnya. Sayangnya, Gus Dur yang disanjung itu, harus mengakhiri kekuasaannya di tangan Amin Rais juga.
Air Mata Megawati
Dendam politik itu juga terbaca dalam relasi politik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri yang dalam dua dekade terakhir renggang.
Selama belasan tahun, perjumpaan keduanya bisa dihitung jari. SBY dan Megawati hanya bertemu di acara-acara resmi, itu pun hanya berjabat tangan dan bertegur sapa.
Mengutip buku Prof Tjipta Lesmana, 'Dari Soekarno Sampai SBY Intrik & Lobi Politik Para Penguasa', konflik Megawati dan SBY dimulai sejak akhir 2003, beberapa bulan jelang Pilpres 2024.
Saat itu, SBY yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) di Kabinet Gotong Royong, yang dipimpin Megawati.
SBY saat itu diisukan akan maju dalam Pilpres 2024. Ia kerap diberi panggung dengan tampil dalam iklan di TV untuk sosialisasi pemilu sebelum akhirnya KPU menghentikan tayangan tersebut.
Aroma politik SBY mulai tercium Megawati, yang juga akan bertarung dalam Pilpres 2024. SBY kemudian dikucilkan. Pasalnya, SBY saat itu tidak dilibatkan dalam pembahasan tentang PP Kampanye Pejabat Tinggi Negara.
Pada 9 Maret 2004, SBY mengirim surat ke Megawati untuk konsultasi tugasnya sebagai Menko Polkam, namun, tak dibalas Megawati. Ia kemudian mengirim surat pengunduran diri sebagai Menko Polkam pada 11 Maret 2004.
Dua hari berselang, tepatnya pada 13 Maret 2004, SBY melakukan kampanye untuk Partai Demokrat di Bayuwangi. Manuver politik SBY membuahkan hasil.
Pada 5 Oktober 2024, di akhri jadi TNI ke-59, Megawati berpesan agar pendukungnya legowo menerima hasil pilpres. Ia sempat meneteskan air mata. Saat itu KPU telah mengumumkan bahwa SBY menjadi pemenang Pilpres.
SBY yang berpasangan dengan Jusuf Kalla berhasil mengalahkan Megawati yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi dengan perolehan suara 60,62% berbanding 39,38%.
Putri Bung Karno itu pun mau tak mau harus menyerahkan tongkat kepemimpinannya ke SBY. Sejak saat itu, Mega dan PDI Perjuangan berada di luar pemerintahan sebagai oposisi hingga 10 tahun lamanya.
Pada Pilpres 2014, Joko Widodo yang diusung PDIP berhasil mengambil alih tongkat kepemimpinan dari tampuk kekuasaan SBY.
SBY dan Demokrat pun berada di luar pemerintahan dan menjadi oposisi hingga 10 tahun lamanya. Kini, Demokrat dan PDIP tidak berada dalam gerbong politik yang sama dalam Pilpres 2024. Apakah politik dendam itu akan kembali dimainkan pada kontestasi pilpres kali ini?
Editor: Andy Tandang