Unjuk Rasa Petani Deli Serdang di Kementerian BUMN: Kehilangan Lahan Bercocok Tanam Hingga Tagih Janji Selesaikan Konflik Tanah dengan PTPN II

Petani asal Desa Sei Mencirim dan Simalingkar, Deli Serdang, Sumatra Utara berunjuk rasa di Kantor Kementerian BUMN di Jakarta, Senin (19/6/2023). (Foto: Parboaboa/Muazam)

PARBOABOA, Jakarta - Belasan petani asal Desa Sungai (Sei) Mencirim dan Simalingkar, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara menagih janji pemerintah, melalui Menteri BUMN, Erick Thohir terkait penyelesaian konflik tanah yang melibatkan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II.

Mereka mendatangi Kantor Kementerian BUMN dan berunjuk rasa, meminta Erick Thohir memenuhi janji yang pernah disampaikan Presiden Joko Widodo pada Agustus 2020.

Selain janji Presiden Jokowi, belasan petani di dua desa itu juga menagih janji pemerintah yang tertuang melalui SK Kepala Staf Kepresidenan No. 9/T/2020, tertanggal 1 September 2020. Bahkan, Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko membentuk satuan tugas khusus terkait penyelesaian konflik agraria Desa Simalingkar dan Desa Sungai Mencirim.

Saat itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan perintah Presiden Jokowi dengan memerintahkan Kementerian BUMN menyediakan 150 meter tanah per kepala keluarga untuk pembangunan rumah tinggal yang sempat digusur PTPN II.

Kementerian BUMN juga diperintahkan memberikan hak guna tanah sebesar 2.500 meter per kepala keluarga untuk pertanian.

Selain itu, Presiden Jokowi juga memerintahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membangun rumah dan pembangunan akses jalan pemukiman warga.

Namun, hingga saat ini, belum ada janji Presiden Jokowi yang dipenuhi Kementerian BUMN.

"Tolong petani ini Pak, biarkan kami bisa bercocok tanam di wilayah kami Pak," kata salah seorang petani di Deli Serdang, Hotmahuli Pasaribu (51) yang ikut berunjuk rasa di depan Kementerian BUMN, Senin (19/6/2023).

Sambil menangis, Hotmahuli mengaku kehilangan mata pencaharian bahkan tempat tinggalnya karena digusur PTPN II.

Hilangnya tanah untuk bercocok tanam berakibat pada mata pencaharian dan kehidupan Hotmahuli. Anaknya pun tak bisa bersekolah.

"Kami tidak dapat bercocok tanam, anak-anak kami juga tak bisa sekolah. Kami tidak tahu harus mengadu kepada siapa?" jelas Hotmahuli.

Nasib petani lain asal Deli Serdang, Sura Beru Sembiring (66) bahkan lebih parah. Ia harus merasakan konflik tanah dengan PTPN II sejak masih kecil hingga berusia lanjut.

Sura terpaksa menumpang adiknya sejak rumah dan lahan pertanian miliknya dirampas PTPN II. Anak dan cucu Sura juga tak bisa bersekolah, karena kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari.

"Saya meminta kepada pemerintah di Jakarta ini, dalam sisa-sisa kehidupan saya yang sudah tua ini, meminta mohon segera selesaikan konflik dengan PTPN II. Bapak BUMN tolong Pak selesaikan konflik sama PTPN II ini, cukup aku sudah tersiksa mulai dari bayi sampai saya tua begini," kata Sura.

Petani lainnya Eliana Beru Sembiring (61) juga menuntut hal yang sama kepada pemerintah melalui Menteri BUMN, Erick Thohir.

"Ladang kami digusur, rumah-rumah kami dirobohkan semua. Ada tanaman ubi, jagung, semua digusur. Kami ini ke Jakarta untuk menuntut, apalagi kami tak ada ongkos buat naik kapal," katanya.

Saat ini Eliana tak punya rumah, ia pun tidur menumpang dengan tetangga.

"Saya menumpang di rumah tetangga. Sekarang saya mencari buah-buah yang jatuh dikumpulkan untuk membeli beras," ucap Eliana.

Eliana bahkan bercerita bahwa ia sebelumnya pernah ikut aksi jalan kaki bersama 170 petani lainnya dari dua desa di Deli Serdang itu untuk bertemu Presiden Jokowi dan menuntut Kepala Negara menyelesaikan konflik tanah dengan PTPN II.

Saat itu, Presiden Jokowi menemui petani asal Deli Serdang dan memberikan sejumlah janji penyelesaian konflik, sehingga perjuangan jalan kaki sejauh 1.812 kilometer itu berbuah janji manis dari orang nomor satu di Indonesia itu.

Pemerintah Masih Belum Penuhi Janji ke Masyarakat

Perwakilan Konsorsium Pembaruan Agraria, Irman, mengatakan, janji pemerintah itu masih belum dipenuhi, hingga hari ini.

"Di lapangan tidak ada. Cuma ada tawaran perkebunan sosial, itu ibarat kemitraan," jelasnya.

Irman menegaskan, perkebunan sosial bukanlah solusi yang terbaik, karena warga hanya disuruh mengelola lahan dengan menanam komoditi kelapa sawit yang hasilnya harus disetor kepada PTPN II.

"Skemanya itu kemitraan. Hasilnya, 70 persen untuk perusahaan dan sisanya 30 persen untuk petani," jelasnya.

Irman menambahkan, sejak terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Nasionalisasi Aset yang dimiliki asing diambil alih oleh negara dan untuk kemakmuran rakyat di era Presiden Soekarno, rakyat dibolehkan menggarap tanah yang dimiliki asing, termasuk di dua desa tersebut.

ketgamb Petani dari Desa Sei Mencirim dan Simalingkar menagih janji pemerintah untuk menyelesaikan konflik tanah dengan PTPN II (Foto: Parboaboa/Muazam) #end

Hanya saja, di era Presiden Soeharto, Badan Pertanahan Nasional dan Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Keputusan (SK) yang memberikan wewenang seluas 1.254 hektare tanah dikelola PTPN IX (sebelum berganti nama menjadi PTPN II) pada 1975.

PTPN II lantas menguasai tanah seluas 854 hektare di Desa Simalingkar dan 850 hektare di Desa Sungai (Sei) Mencirim. Padahal menurut KPA, warga di dua desa tersebut mendapat SK Landreform sebagai bukti bahwa mereka berhak atas tanah pada tahun 1982.  

Kemudian, pada tahun 2009, PTPN II mendapat perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah dan nasib tanah warga kembali tumpang tindih.

Puncaknya, pada 2017 PTPN II melakukan pemasangan plang dengan pengawalan ribuan aparat TNI-Polri diikuti penggusuran tanah pertanian warga.

Di 2019, PTPN II membangun sejumlah tanah itu menjadi ribuan perumahan yang bekerja sama dengan pihak Perumnas Sumatra Utara.

Akibatnya 25.096 kepala keluarga kehilangan sumber mata pencahariannya, sehingga tak mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan biaya pendidikan bagi anak-anak mereka.

Dikutip dari laman Kantor Sekretariat Kepresidenan, Direktur PTPN II Irwan Perangin-Angin menyatakan kesiapannya segera merealisasikan janji pemberian lahan kepada warga Desa Simalingkar dan Sei Mencirim. Hanya saja, PTPN II memerlukan kesepakatan melalui ketetapan Gubernur Sumatera Utara yang nantinya akan diusulkan ke holding perkebunan (PTPN III).

PTPN II juga meminta, lahan garapan yang sebesar 2.500 meter persegi per kepala keluarga ditetapkan dengan skema pinjam pakai di atas lahan hak guna usaha (HGU) PTPN II.

Sementara itu, Kepala Kanwil BPN Sumut Dadang Suhendi menyatakan, telah menerima hasil verifikasi jumlah warga di dua desa dan titik lokasi lahan yang disiapkan PTPN II. Dadang juga mengklaim siap menyerahkan sertifikat tanah untuk lahan tapak rumah bagi warga di Desa Simalingkar dan Sei Mencirim.

Namun untuk tahapan ini, lanjut Dadang, PTPN II harus menandatangani pelepasan tanah kepada warga sesuai jumlah yang telah terverifikasi.

“Proses kerja-kerja ini terus berjalan, kami juga akan kawal terus agar penyelesaian konflik agraria di dua desa ini bisa lebih cepat selesai,” imbuh Dadang.

Untuk mengkonfirmasi, Parboaboa telah menghubungi Menteri BUMN, Erick Thohir melalui staf khusus Arya Sinulingga.  Namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan.

Editor: Kurnia
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS