Parboaboa, Jakarta - Delima Silalahi (46) menjadi satu-satunya aktivis perempuan asal Indonesia yang menerima penghargaan Goldman Environmental Prize tahun ini.
Delima menerima penghargaan untuk kategori negara pulau dan kepulauan di Francisco April lalu.
Goldman Environmental Prize atau Anugerah Lingkungan Goldman merupakan penghargaan yang diberikan setiap tahun kepada aktivis lingkungan dari lingkup akar rumput dari Afrika, Asia, Eropa, Kepulauan dan Negara Kepulauan, Amerika Utara, dan Amerika Selatan/Amerika Tengah.
Delima yang juga Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) ini turut membagikan pengalaman serta tantangan terutama saat mendampingi masyarakat adat selama kurang lebih 23 tahun hingga meraih nobel.
"Kalau bagi saya semuanya menantang dan menarik pendampingan terhadap masyarakat adat ini," kata Delima dalam diskusi dan konferensi pers 'Pengakuan Hutan Adat di Indonesia: Peluang dan Tantangan' Selasa (9/5/2023).
Delima mengaku, lebih banyak memberikan rasa bermanfaat sebagai manusia karena dirinya bisa lebih bersama baik dengan petani maupun masyarat adat untuk melakukan banyak hal.
"Dan itu yang menurut saya sangat menarik," jelasnya.
Meskipun banyaknya tantangan yang ia hadapi, namun bagi Delima hal itu tidak terlalu berpengaruh karena baginya tidak ada perjuangan tanpa tantangan.
"Jadi bagi saya mendampingi masyarakat selama 23 tahun ini serta beberapa pihak terutama masyarakat adat Batak sesuatu yang sangat berkesan," jelasnya.
Delima juga menceritakan banyak pihak yang menganggap apa yang dikerjakannya sebagai pekerjaan yang sia-sia, di awal-awal perjuangannya.
"Jadi ingat baru-baru di KSPPM, kalau kita ikut diskusi dan aksi sering ditertawakan. Tertawa dengan melecehkan, ngapain sih mereka melawan pemerintah, ngapain sih mereka melawan TPL," ungkapnya.
Ia melanjutkan, beberapa pihak juga beranggapan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) merupakan perusahaan raksasa, sehingga banyak pemikiran yang menganggap upaya yang ia lakukan tidak akan berhasil.
"Saya masih ingat kalau jalan aksi itu ada orang yang bilang 'potonglah leher ini, ga akan berhasil' dan orang yang mengatakan itu sampai sekarang belum memotong leher. Jadi ada banyak kesan yang sangat menarik," katanya.
Di sisi lain, Delima melihat perjuangan masyarakat adat ibarat mendaki gunung terjal yang berbukit, berkabut serta gelap tertutup awan.
"Kita sudah sampai di puncak yang ternyata itu masih bukit kecilnya, karena lagi-lagi kita belum sampai tujuan karena masih ada bukit lagi dan kita harus turun lagi," katanya.
"Semua ada dinamika apabila dilakukan tidak bersama-sama dan kalau kita sendirian atau kita tidak melakukannya dengan suka cita maka akan lelah sendiri dan putus asa," tambah Delima.
Delima mengaku, pencapaian ini sebagai bukti apresiasi dunia internasional bahwa mengerjakan pekerjaan kecil terutama di desa, yang kerap ia anggap seperti berjalan di jalan yang sunyi.
"Dan tidak perlu apresiasi dari siapapun tapi itu mendapat apresiasi jadi menurut saya semuanya berkesan," tegasnya.
Masalah Hukum Jadi Kendala Kelola Hutan Adat
Delima menilai, mekanisme hukum yang saat ini dimiliki bangsa Indonesia teramat sulit dan berbelit-belit. Terkadang, kata dia, berbagai putusan hukum tidak otomatis mengakui masyarakat adat.
"Saya tadi juga bilang bahwa pengakuan ini perjuangan seperti mendaki gunung terjal. Di mana pengakuan terhadap masyarakat adat itu penuh akan syarat," katanya.
Ia menilai, keberadaan masyarakat adat juga bisa ditentukan oleh orang-orang yang tidak paham terhadap masyarakat adat itu sendiri.
"Jadi ada tidaknya masyarakat di negara ini nasibnya ada di tangan orang yang belum tentu paham apa itu masyarakat adat. Dan itulah mekanisme yang saat ini terjadi," katanya.
Misalnya, lanjut Delima, soal verifikasi yang mengharuskan ada Perda. Di mana Perda adalah produk politik yang bisa saa tidak akan keluar dan membutuhkan waktu hingga tiga tahun.
"Jadi harus mengadvokasi di tingkat daerah dan di tingkat nasional. Kita bayangkan betapa mereka yang harusnya hidup mengerjakan, menghabiskan waktu untuk mengurus hutan dan hidupnya tapi justru harus membuat banyak hal yang rumit," tegasnya.
Bahkan, ungkap Delima, mereka juga harus mendokumentasikan sejarah dan lainnya. Masyarakat adat sudah mau melakukan itu akan tetapi mereka juga harus mengadvokasi ke tingkat nasional.
"Dia harus meninggalkan kampungnya, anaknya serta harus menghadapi bupatinya. Nah di nasional, kita bersyukur bahwa dalam 10 tahun terakhir ini kalau bagi kami pejabat-pejabat di nasional lebih mudah dijumpai," terangnya.
Delima menambahkan, adanya gap pengetahuan di samping mekanisme yang berbelit menjadi tantangan penuh bagi masyarakat adat.
"Belum lagi di daerah antara DPR dengan eksekutif hubungannya tidak selalu harmonis sehingga menggantung masyarakat adat," tutur Delima.