PARBOABOA, Jakarta - Survei dari Lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan, mayoritas masyarakat Indonesia masih mendasari pilihan politiknya pada gender tertentu.
Pada survei nasional yang dilakukan awal bulan ini, SMRC menemukan 51 persen masyarakat berpendapat Presiden Indonesia harus laki-laki, 1 persen masyarakat yang menyatakan Presiden Indonesia harus perempuan, 45 persen menyatakan perbedaan gender untuk presiden Indonesia tidak penting dan 4 persen masyarakat tidak menjawab.
Hasil survei itu, menurut pendiri, SMRC Saiful Mujani, diperkuat dengan fakta politik yang menunjukkan Indonesia belum pernah punya presiden perempuan yang terpilih secara langsung oleh publik.
"Megawati yang pernah menjadi presiden, namun ia terpilih melalui pemilihan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan berdasarkan pilihan masyarakat secara luas," ujar Saiful kepada Parboaboa, Kamis (27/7/2023).
Data dari lembaga surveinya tersebut menunjukkan sikap patriarki dalam masyarakat Indonesia masih sangat besar. Mayoritas masyarakat cenderung memilih laki-laki sebagai presiden.
“Kalau selama ini tidak mudah bagi seorang perempuan untuk kompetitif dalam politik hal itu terjadi karena basis masyarakatnya memang patriarkal,” ungkap Doktor Ilmu Politik dari Ohio State University, Amerika Serikat tersebut.
Perempuan Dianggap Cuma Pelengkap
Budaya patriarki tersebut yang membuat perempuan kerap dianggap cuma pelengkap dalam kancah politik Indonesia.
Seperti yang dialami Sri Retno Purwaningsih, bakal calon legislatif (bacaleg) untuk pemilihan DPRD Kabupaten Bekasi yang didorong Partai Buruh untuk berlaga di Pemilu Legislatif 2024 hanya untuk melengkapi kuota 30 persen perempuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Saya ditelepon pengurus Partai Buruh Kabupaten Bekasi, 'sist nyalon ya, soalnya kita kekurangan kader perempuan',” cerita Retno kala diminta maju nyaleg.
Retno juga mengakui kaum perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap di kancah politik nasional. Hal itu tercermin dalam struktural di partai politik yang didominasi laki-laki.
“Kan di kepengurusan partai laki-laki semua, kan mereka yang menentukan posisi elektoral di kepengurusan partai. Sepertinya laki-laki lebih suka yang memimpin laki-laki juga, saya melihatnya seperti itu,” ucapnya.
Kondisi tersebut, lanjut Retno, diperparah dengan budaya patriarki yang kental di Indonesia. Pola pikir perempuan, lanjutnya, didoktrin sejak dini untuk hanya menjadi ibu rumah tangga.
“Ya mungkin dari keluarganya mereka dididik untuk jadi perempuan rumahan. Mereka berpikir, gua perempuan, mau ngapain lagi sih? Ya udahlah gua udah ibu rumah tangga, gua udah bisa didik anak baik-baik, gua udah berpenghasilan, mau ngapain lagi sih?” keluhnya.
Sementara itu, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi menilai Parpol masih memandang keterlibatan perempuan di Pemilu hanya sebatas formalitas memenuhi kuota 30 persen.
Amalia juga melihat persoalan lain yang berkaitan dengan kultural Indonesia, dimana aspek kultural itu terlihat pada minimnya representasi politisi perempuan, termasuk di media massa.
Pantauan Perludem, kata Amelia, stasiun televisi di Indonesia juga lebih banyak menyoroti politisi laki-laki.
“Karena memang dari media tidak banyak memunculkan figur-figur perempuan. Kami memantau delapan stasiun televisi arus utama. Yang banyak dimunculkan adalah calon-calon laki-laki,” imbuhnya.