PARBOABOA, Jakarta - Dosen memiliki peran penting dalam membentuk generasi intelektual bangsa, namun realitas kesejahteraan mereka sering kali masih di bawah standar.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 44 Tahun 2024 guna memperbaiki kondisi ini.
Namun, apakah kebijakan ini cukup untuk mengatasi masalah minimnya gaji yang selama ini membayangi profesi dosen?
Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan pada 2022, rata-rata gaji dosen non-ASN di perguruan tinggi swasta masih di bawah Rp 4 juta per bulan.
Sementara kebutuhan hidup layak di beberapa kota besar seperti Jakarta mencapai Rp 5 juta atau lebih.
Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar dosen, terutama di perguruan tinggi swasta, hidup di bawah garis kebutuhan minimum.
Perbedaan ini mencolok bila dibandingkan dengan dosen ASN yang setidaknya memiliki penghasilan yang lebih stabil karena mengikuti aturan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Penerbitan permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 kemudian mencoba menjawab tantangan ini dengan beberapa poin penting, salah satunya adalah menetapkan gaji dosen harus di atas kebutuhan hidup minimum.
Aturan ini bertujuan agar dosen dapat memperoleh pendapatan yang lebih layak, baik mereka yang berstatus ASN maupun non-ASN.
Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah universitas, terutama yang swasta, memiliki anggaran yang cukup untuk menaikkan gaji dosen sesuai aturan baru?
Berdasarkan survei dari Lembaga Penelitian Pendidikan Tinggi pada 2021, hampir 60% perguruan tinggi swasta di Indonesia masih bergantung pada pendapatan dari SPP mahasiswa, yang fluktuatif dan tidak stabil.
Perguruan tinggi yang kekurangan sumber pendapatan berpotensi kesulitan menaikkan gaji dosen.
Kebijakan baru ini juga memberikan fleksibilitas kepada dosen dalam menentukan karir dan capaian kinerja, yang disesuaikan dengan kebutuhan perguruan tinggi.
Bagi dosen non-ASN, aturan ini memberikan ruang untuk bekerja di lebih dari satu perguruan tinggi, membuka peluang tambahan pendapatan.
Namun, fleksibilitas ini bisa menjadi pedang bermata dua. Dengan bekerja di beberapa tempat, dosen dapat kehilangan fokus pada peningkatan kualitas pengajaran dan penelitian yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Secara umum, beban kerja dosen mencakup kegiatan Tridharma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Berdasarkan survei internal oleh Asosiasi Dosen Indonesia, lebih dari 70% dosen non-ASN merasa beban kerja mereka tidak sebanding dengan gaji yang diterima.
Rata-rata dosen harus mengajar lebih dari 12 SKS per semester, ditambah dengan penelitian dan pengabdian yang terkadang tidak mendapatkan insentif memadai.
Karena itu, melalui Permendikbudristek 44/2024, pemerintah berusaha memberikan lebih banyak penghargaan atas kerja keras dosen dengan memberikan tunjangan profesi dan tunjangan fungsional bagi mereka yang memenuhi syarat.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan, tidak semua dosen bisa memenuhi persyaratan ini, terutama di perguruan tinggi yang kurang memiliki fasilitas dan pendanaan yang memadai.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) Abdul Haris menjelaskan bahwa Permendikbudristek 44/2024 mempertegas aturan untuk menjadikan profesi dosen lebih bermartabat dengan perlindungan hak-hak ketenagakerjaan yang semakin kuat.
Permendikbudristek ini juga mempermudah proses pengangkatan, pemindahan, dan sertifikasi dosen, sekaligus memberikan lebih banyak otonomi kepada perguruan tinggi dalam menentukan karir dosen.
"Dosen sekarang memiliki fleksibilitas dalam merencanakan karier dan menetapkan capaian kinerja mereka, yang disesuaikan dengan kesepakatan bersama pimpinan perguruan tinggi," kata Abdul Haris dalam webinar bertajuk Sosialisasi Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 di Jakarta pada Kamis, (3/10/2024).
Ia menjelaskan bahwa status dosen dalam aturan ini semakin jelas, di mana semua dosen tetap memiliki jabatan akademik. Selain itu, dosen juga diberikan keleluasaan lebih dalam menjalankan Tridharma sesuai kebutuhan perguruan tinggi masing-masing.
Abdul Haris juga menambahkan bahwa aturan baru ini memperjelas hak dosen ASN dan non-ASN untuk mendapatkan penghasilan yang lebih dari kebutuhan hidup minimum, serta memungkinkan mereka untuk bekerja di lebih dari satu perguruan tinggi.
Upaya ini jelasnya, untuk memastikan penghasilan dosen di Indonesia tidak hanya memenuhi upah minimum, tetapi juga mengarah pada jaminan keamanan sosial yang lebih baik.
Namun, pelaksanaan peraturan ini masih membutuhkan waktu. Sesuai rencana, pada semester pertama tahun 2025, perguruan tinggi diharapkan sudah menyiapkan SOP implementasi aturan ini di aplikasi SISTER.
Jika berjalan sesuai jadwal, Agustus 2025 menjadi target ideal pelaksanaan penuh regulasi ini.
Namun, apakah waktu yang diberikan ini cukup bagi universitas untuk menyesuaikan anggaran mereka?
Pertanyaan ini menjadi krusial, mengingat bahwa banyak perguruan tinggi, terutama yang swasta, masih menghadapi tantangan finansial.
Kebijakan baru ini juga menegaskan pentingnya perlindungan hak ketenagakerjaan dosen.
Perguruan tinggi yang tidak mematuhi ketentuan terkait gaji bisa dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku.
Dengan adanya ancaman sanksi ini, universitas tidak lagi bisa mengabaikan kesejahteraan dosennya.
Walau demikian, tantangan terbesarnya adalah keberlanjutan dan kemampuan finansial perguruan tinggi untuk mematuhi aturan ini.
Editor: Norben Syukur