PARBOABOA, Pematangsiantar - Tiga liputan khusus Parboaboa sejak 22 Juli lalu memuat pembahasan tentang "ancaman senyap" limbah pakaian bagi lingkungan hidup.
Temuan mereka, kebanyakan pakaian bekas berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) yang sulit terurai karena bahan sintetis.
Pertumbuhan industri tekstil mendorong lahirnya tren fast fashion yang menghasilkan surplus pakaian. Konsekuensinya, lingkungan pun tercemar karena pembuangan sampah secara massal.
Kondisi ini serempak menyiratkan tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia dalam pengelolaan limbah tekstil. Penyebabnya dikarenakan minimnya fasilitas daur ulang khusus.
Solusi jangka panjang sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini guna meminimalkan dampak kerusakan lingkungan dari limbah pakaian.
Dari sekian banyak aspek kehidupan, pendidikan tentu memiliki peran penting dalam mengatasi persoalan tersebut.
Pengamat Pendidikan, Ari S. Widodo Poespodihardjo, menjelaskan saat ini institusi pendidikan sudah didorong untuk aktif berpartisipasi dalam program SDGs.
Menurutnya, salah satu program yang sedang dijalankan sebagai tanggapan atas pandemi kemarin adalah pengelolaan limbah.
Program ini, pungkasnya, dibuat karena alasan bahwa setiap tahun, sekolah dan kampus menghasilkan sampah kertas dalam jumlah yang signifikan.
"Bayangkan satu angkatan di kampus terdiri dari 1.000 siswa dengan 8 kelas per semester. Jika semua ujian dilakukan secara tertulis, berapa ton kertas yang digunakan untuk berkas ujian setiap semesternya?" katanya pada Parboaboa, Selasa (30/7/2024).
Karena pandemi, lanjut Ari, banyak sekolah dan kampus yang bergeser ke teknologi digital. Meski masih jauh dari sempurna, perubahan ini telah mengurangi sampah kertas secara signifikan.
Biaya yang dikeluarkan untuk membeli dan mencetak kertas juga berkurang secara drastis. Menurutnya, hal yang sama harusnya diterapkan untuk produk tekstil.
"Di negara seperti Australia, mereka sudah lama menjalankan prinsip Reduce, Reuse, dan Recycle," sambungnya.
Ia melihat di negara tersebut jarang sekali ada pakaian bekas di tempat sampah. Begitu juga di kampusnya, setiap akhir semester dibuka kesempatan untuk menyumbangkan pakaian bekas.
Semua yang layak pakai kemudian dicuci bersih dan dijual kembali saat bazar amal.
Jika jumlahnya besar, pakaian bekas disalurkan ke lembaga-lembaga sosial yang membuka toko pakaian layak pakai dengan harga sangat murah.
"Alhasil, selama masih layak pakai, limbah tekstil jarang sekali saya temui di sana," ujarnya.
Menurut Ari, lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia seharusnya bisa memulai inisiatif serupa.
Hal itu dikarenakan siswa dan orang tua, terutama di sekolah kelas menengah ke atas, memiliki sejumlah besar pakaian yang masih layak pakai tetapi tidak digunakan lagi.
"Sekolah atau kampus bisa membuka tempat penerimaan dan penampungan pakaian bekas," katanya.
Baginya, para siswa dapat menjadikan kegiatan tersebut sebagai bentuk pengembangan komunitas mereka, dengan mengumpulkan dan mendayagunakan ulang pakaian bekas yang layak pakai.
Terpisah, Kepala Seksi Pembinaan SMP Dinas Pendidikan Pematangsiantar, Juanda Panjaitan, mengatakan bahwa pendidikan mengenai lingkungan sejauh ini masih diajarkan secara umum.
"Belum ada pendidikan khusus tentang dampak limbah pakaian," katanya pada Parboaboa, Selasa (30/7/2024).
Menurut Juanda, para guru lebih cenderung menghimbau anak didik mereka untuk tidak membuang sampah sembarangan tanpa ada edukasi yang menyeluruh tentang bahaya sampah.
Padahal, edukasi tentang kebersihan lingkungan dan praktik pengelolaan sampah, ujarnya, perlu dimasukkan sebagai materi muatan lokal dan bukan berhenti pada wacana semata.
Di Kota Pematangsiantar, misalnya, materi muatan lokal masih berfokus pada pengenalan bahasa daerah, budaya dan seni.
"Belum ke lingkungan secara spesifik seperti limbah pakaian. Kebudayaan dulu, baru mungkin ke lingkungan. Jadi, dia bertahap," jelasnya.
Dengan kondisi demikian, maka penting untuk mengajarkan kepada para siswa tentang bahaya sampah dan model pengelolaannya yang benar guna menjaga kebersihan lingkungan.
Pendidikan untuk Lingkungan
Dalam buku "Filsafat Kata," Reza Wattimena (2011) menjelaskan dunia pendidikan tidak perlu menambah mata pelajaran khusus untuk memupuk kesadaran siswa akan lingkungan.
Sebab kesadaran akan lingkungan bisa diajarkan melalui pelajaran sains yang telah lama diperkenalkan dan diajarkan di sekolah-sekolah.
Dalam pelajaran fisika, misalnya, Reza menyebut bahwa siswa tidak hanya diajarkan hukum-hukum yang menggerakkan alam.
Para guru dan tenaga pendidik juga perlu mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang tersembunyi di balik berbagai rumus dan hukum fisika.
Dengan memahami kompleksitas alam, siswa diajak untuk mencintai dan menghargai lingkungan beserta segala isinya karena manusia adalah bagian dari alam.
Dalam buku tersebut, Reza menekankan bahwa manusia tidak bisa hidup dan berkembang tanpa dukungan alam. Pemahaman akan sesuatu harus melahirkan kecintaan dan penghargaan terhadap hal tersebut.
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan harus dipahami untuk membuat hidup manusia lebih bermutu.
Ia bukan hanya kumpulan teori untuk dihafalkan, tetapi juga ajakan untuk menghargai dan mencintai alam, khususnya dengan menjaga kebersihan lingkungan.