PARBOABOA, Jakarta – Penyemprotan jalan oleh pemangku kepentingan dalam upaya menekan polusi udara menuai pro dan kontra dari sejumlah pihak.
Salah satunya adalah Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, yang menganggap bahwa penyemprotan itu tidak efektif dalam mengatasi polusi.
Pasalnya, kegiatan tersebut hanya memindahkan polusi udara dari satu tempat ke tempat yang lain.
Menkes menyebut jika partikel PM2,5 yang ada di Ibu Kota ini beredarnya di udara atas, bukan di bawah. Oleh karena itu, penyemprotan seharunya dilakukan dari atas.
Perlu diketahui jika Badan Kesehatan Dunia (WHO) membagi polusi udara dalam dua kelompok, yakni gas dan partikel.
Polusi udara yang dipicu oleh gas ini sumbernya dari karbon monoksida, nitrogen monoksida, dan sulfur monoksida. Sedangkan untuk polusi udara yang disebabkan oleh partikel itu berasal dari PM2,5 dan PM10.
Particulate Matter (PM2.5) sendiri adalah partikel halus di udara yang ukurannya 2,5 mikron atau lebih kecil dari itu. Adapun untuk PM10 yakni partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 mikron.
Berdasarkan WHO, DKI Jakarta saat ini polutan utamanya masih berada di PM 2,5 dengan indeks kualitas udara yang terbilang masih mengkhawatirkan.
Budi Gunadi menyatakan bahwa hanya ada dua hal yang dapat menghilangkan partikel PM2,5 dan sumber polutan lainnya, yaitu dengan aingin kencang dan hujan lebat.
Dalam kesempatan yang sama, Budi menuturkan jika ada 3 penyebab utama polusi udara, yang pertama adalah pembangkit listrik tenaga uap dengan menggunakan batu bara.
Lalu dari sektor trasportasi dan dari sejumlah industri yang menggunakan bahan bakar karbon lainnya.
Karenanya, menurut Menkes, apabila ingin mengurangi PM2,5 di Jakarta, maka dapat mengurangi pembangkit listrik, transportasi, dan industri.
Penilaian Pengamat
Transportasi dan insudtri jadi penyumbang polusi udara juga dikemukakan oleh pengamat trasportasi sekaligus Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno.
Di mana, transportasi menyumbang sebanyak 44 persen dan sektor industri sebesar 31 persen polusi udara.
“Dari keseluruhan transportasi, kendaraan roda dua menghasilkan beban pencemaran paling tinggi jika dibandingkan dengan kendaraan lainnya,” kata Djoko Setijowarno kepada Parboaboa pada Selasa (15/8/2023).
Djoko menuturkan, solusi untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta adalah dengan membenahi angkutan umum agar masyarakat beralih dari kendaraan pribadinya.
“Bekaca dari KRL Jabodetabek, sebelum tahun 2013 sangat buruk layanannya, hanya mampu angkut rata-rata 350 penumpang per hari. Setelah dilakukan pembenahan di banyak hal, dalam kurun 5 tahun penumpang bertambah sampai 1,1 juta penumpang di tahun 2018,” jelasnya.
Editor: Maesa