PARBOABOA, Jakarta – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menelisik penyebab dana Pemerintah Daerah (Pemda) yang masih sering “parkir” di perbankan. Hal itu dilakukan untuk memberi gambaran terkait efektivitas pengelolaan dana di daerah.
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF, Abdul Manap Pulungan mengatakan, fenomena dana daerah yang mengendap telah berlangsung sejak 12 tahun terakhir.
“Selama 2010 sampai 2022 pola konsumsinya (realisasi) tidak berubah ya,” kata Abdul secara virtual di Jakarta, Senin (30/01/2023).
Abdul menjelaskan, arus dana pemda mengalami peningkatan saat memasuki Januari hingga Maret/April. Namun belanja daerah baru direalisasikan pada bulan Mei.
Kemudian di bulan Juni dan Juli, dana pemda kembali meningkat, lalu menurun lagi pada Agustus dan akan turun tajam pada Desember. Artinya, penyerapan dana daerah gencar dilakukan ketika memasuki akhir tahun.
Abdul menambahkan, pola yang sama juga terjadi pada masa pandemi yakni tahun 2020 dan 2021.
Padahal, kata dia, masyarakat memerlukan realisasi yang lebih cepat sehingga membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi di daerah.
Meskipun realisasi belanja daerah kerap terjadi di di akhir tahun, namun jumlah tetap besar. Misalnya, di Desember 2022, dana pemda di perbankan masih banyak yang mengendap, sekitar Rp123,74 triliun. Hal ini pernah diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) se-Indonesia di Jawa Barat pada Selasa (17/01/2023) lalu.
Lebih lanjut, kata Abdul, fenomena dana mengendap itu disebabkan oleh beberapa faktor yang terjadi di lingkungan pemerintah daerah itu sendiri.
“Salah satu faktornya bisa saja, yang pertama adalah bagaimana APBD itu secepatnya mungkin disahkan, gitu ya, sehingga pergerakan eksekusi program-program di daerah itu bisa dilakukan dengan lebih cepat,” kata dia.
Faktor kedua, masalah keterbatasan tender di daerah. Dia kemudian mencontohkan tender penyediaan barang dan jasa yang ada di daerah justru beralih ke Jakarta.
“Sehingga eksekusinya pun saling berebut antar daerah untuk program-program serupa,” ungkapnya.
Lalu faktor yang ketiga adalah program tertentu seperti belanja barang yang sudah ada e-katalog. Misalnya, ada ketentuan dari pemerintah bahwa 40 persen dari dana K/L termasuk di daerah dialokasikan untuk pembelian produk-produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
“Nah, kalau e-katalog itu efektif, sebetulnya realisasi anggaran dan belanja daerah itu akan lebih cepat dilakukan di daerah. Memang tidak semua daerah yang bermasalah, tetapi mayoritas dari daerah-daerah itu mengalami realisasi belanja yang seringkali menumpuk di akhir tahun,” tambahnya.
Menurut Abdul, realisasi belanja yang menumpuk itu akan menimbulkan isu kualitas belanja. Hal ini tak hanya terjadi di daerah, tetapi juga di pusat.
Faktor selanjutnya adalah dari pencapaian Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurutnya, pemerintah daerah seringkali menetapkan target rendah dan nantinya akan direalisasikan tinggi.
“Artinya, kita melihat dari dua sisi. Yang pertama, ini bisa menjadi salah satu indikator penilaian kinerja bagi pemda, karena menetapkan rendah tapi terealisasi lebih tinggi. Jadi dia (pemda) kelihatan prestasi dari sisi pencapaian PADnya, gitu,” jelasnya.
Akan tetapi, kata dia, hal itu dapat menjadi penilaian negatif bagi pemda jika berkaca dari sisi penganggaran.
“Tapi kalau kita lihat dari sisi anggarannya, bisa saja menjadi nilai negatif karena pemda kurang baik dalam menetapkan target yang akan dicapai,” pungkasnya.