PARBOABOA, Jakarta - Filsafat disebut sebagai 'ibu ilmu pengetahuan' karena mampu merangsang sekaligus menggali pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi, pengetahuan, nilai, pikiran dan bahasa.
Di sisi lain, meski sering dianggap rumit dan abstrak, serta karya-karya filsuf terkenal seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles terasa jauh dari kehidupan sehari-hari, filsafat sebenarnya memiliki potensi besar untuk memperkaya pola pikir.
Di Indonesia, filsafat biasanya hanya diajarkan di perguruan tinggi karena dianggap lebih cocok untuk mahasiswa yang sudah memiliki kemampuan berpikir kritis.
Konsep-konsep mendalam dalam filsafat memerlukan kemampuan bernalar yang belum sepenuhnya berkembang pada pelajar di tingkat sekolah, sehingga sering kali dianggap terlalu kompleks untuk diajarkan lebih awal.
Selain itu, padatnya mata pelajaran dalam kurikulum juga menjadi alasan lain mengapa filsafat belum menjadi bagian dari pendidikan di sekolah.
Namun, mengajarkan filsafat di sekolah sebenarnya bisa memberikan banyak manfaat. Filsafat dapat membantu mengembangkan kemampuan berpikir kritis, membentuk karakter, serta memperluas wawasan dan toleransi siswa.
Dengan demikian, memperkenalkan filsafat lebih dini bisa menjadi langkah penting dalam membangun generasi yang lebih berpikir analitis dan terbuka terhadap berbagai pandangan, sejauh dikemas secara mudah dan sederhana.
Pengamat Pendidikan, Ari S. Widodo Poespodihardjo membenarkan hal ini. Meski begitu, ia mengatakan, pengajaran filsafat di tingkat sekolah tetap akan menghadapi berbagai tantangan, terutama karena faktor perbedaan usia.
"Perbedaan usia dan latar belakang siswa dapat menyebabkan variasi dalam pemahaman filsafat," kata Ari kepada Parboaboa, Sabtu (3/8/2024).
Kendati demikian, kata dia, hal ini dapat disiasati kalua para guru atau pengajar bisa menyederhanakan konsep-konsep filsafat.
Ia mencontohkan di Australia. Di sana, filsafat diajarkan dengan cara yang sederhana melalui pendekatan "Critical Thinking" sehingga mudah dipahami dan diterima oleh siswa dari berbagai usia dan latar belakang.
"Karena jika pembelajaran filsafat terlalu berat dan berfokus pada hafalan, materi tersebut mungkin tidak akan diminati siswa," katanya.
Menurutnya, pendekatan pengajaran yang lebih ringan dan aplikatif akan lebih efektif membuat filsafat semakin menarik dan relevan di tingkat sekolah.
Sementara itu, Kepala Seksi Pembinaan SMP Dinas Pendidikan Pematangsiantar, Juanda Panjaitan menjelaskan bahwa aspek-aspek filsafat sebenarnya sudah diajarkan melalui mata pelajaran kewarganegaraan dan agama di sekolah.
"Meskipun materi yang diajarkan dalam kedua pelajaran tersebut tidak menyentuh filsafat secara mendalam, hanya mencakup prinsip dasar yang berhubungan dengan etika dan moral," katanya kata Juanda kepada Parboaboa, Senin (5/8/2024).
Juanda memang mengakui bahwa banyak orang masih menganggap filsafat sebagai mata pelajaran yang rumit dan lebih cocok diajarkan di tingkat perguruan tinggi. Hal ini menyebabkan adanya keengganan untuk mengintegrasikan filsafat secara mendalam ke dalam kurikulum sekolah dasar dan menengah.
Menurutnya, prinsip pendidikan di Indonesia, termasuk di Pematangsiantar, cenderung pragmatis, di mana yang dipelajari diharapkan dapat langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks inilah, kata dia, pengajaran filsafat mungkin dianggap kurang praktis dibandingkan dengan mata pelajaran lain yang lebih aplikatif.
"Namun, jika guru bersedia dan meluangkan waktu untuk mengajarkan filsafat, pendekatan yang lebih sederhana dan relevan dapat diperkenalkan," pungkasnya.
Penting filsafat untuk anak sekolah
Pentingnya filsafat untuk pelajar pernah diulas dalam Jurnal berjudul Pendidikan Filsafat untuk Anak ditulis oleh Reza Wattimena.
Reza mengambil contoh di Jerman, dimana filsafat diajarkan di berbagai sekolah dasar sebagai bagian dari pendidikan etika dan nilai.
Di negara tersebut, melalui filsafat, anak-anak belajar konsep keadilan, kebaikan dan hidup bersama melalui forum-forum diskusi sederhana.
Bahkan Program filsafat ini telah menjadi bagian integral dari pendidikan dasar di berbagai negara bagian di Jerman. Tujuannya agar peserta didik semakin kreatif dan toleran.
Menurut Reza, pendidikan di Indonesia juga harus berorientasi pada pengembangan program filsafat untuk anak di sekolah-sekolah.
Hanya dengan cara ini, kata Reza, para pelajar dapat membuat keputusan berdasarkan pertimbangan yang matang serta mampu berpikir kritis.
Karena itu, Reza menekankan peran guru, orang tua, pemerintah, dan masyarakat sangat penting dalam membantu anak berpikir mandiri dan kritis.
Filsafat yang harus diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia, menurut Reza harus menghindari birokratisasi yang dapat menghambat semangat kritis dan perlu berdialog dengan budaya setempat dimana filsafat itu diajarkan.
Editor: Gregorius Agung