Ini Penjelasan Pakar Hukum Soal Dissenting Opinion di Vonis Perkara TNI Kurir Narkoba

Dua anggota TNI yang menjadi kurir narkoba dan membawa 75 kilogram sabu dan 40 ribu butir ekstasi. (Foto: PARBOABOA/Ilham Pradilla)

PARBOABOA, Medan - Penerapan teori dissenting opinion dalam sebuah vonis merupakan bentuk kebebasan eksistensial hakim dalam melakukan penemuan hukum secara aktif, untuk mewujudkan tujuan hukum dalam rangka penemuan kebenaran atau waarheidsvinding.

Teori itu yang diterapkan Majelis Hakim di Pengadilan Militer 1-02 Medan saat memvonis hukuman seumur hidup terhadap dua anggota TNI yang menjadi kurir narkoba dan membawa 75 kilogram sabu dan 40 ribu butir ekstasi.

Sebelumnya, Oditur di Pengadilan Militer 1-02 Medan menuntut hukuman mati kepada dua anggota TNI kurir narkoba itu.

"Untuk membuktikan hakim itu mempunyai kebebasan mutlak, tidak bisa diintervensi pihak manapun untuk memberikan suatu putusan terhadap suatu kasus yang diperiksa dan diadilinya," ungkap Pengamat Hukum dari Universitas Sumatra Utara (USU), Prof Edi Yunara.

Di kasus TNI kurir narkoba, ada perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari Hakim Anggota dan Hakim Ketua saat menjatuhkan vonis ke kedua terdakwa.

Diketahui, hasil musyawarah hakim saat menentukan vonis untuk TNI kurir narkoba, dua Hakim Anggota menyepakati terdakwa dihukum seumur hidup. Sedangkan Hakim Ketua ingin agar kedua terdakwa dihukum mati.

Salah satu pertimbangan Hakim Ketua saat itu karena kedua terdakwa telah melakukan penyalahgunaan narkotika yang jumlahnya sangat luar biasa. 

Hakim Ketua khawatir akan nasib generasi muda di Sumatra Utara, jika narkoba sebanyak itu beredar.

Adanya perbedaan pendapat itu yang membuat Hakim Ketua tidak lantas memutuskan vonis sesuai kehendaknya, tapi mempertimbangkan pendapat dari dua Hakim Anggota saat persidangan.

"Dulu (dissenting opinion) hanya ada di catatan berkas. Kalau sekarang diwajibkan oleh Mahkamah Agung agar  dissenting opinion itu harus dimasukkan dalam putusan jadi supaya masyarakat tahu bagaimana objektivitasnya hakim mengambil keputusan dalam mengadili suatu perkara," jelas Direktur Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Fakultas Hukum USU ini.

Edy melanjutkan,  dissenting opinion bisa berlaku untuk seluruh kasus, mulai dari pidana, perdata, tata usaha negara maupun kasus pidana militer.

Dissenting opinion ini, lanjut dia, biasa diterapkan di negara- negara yang menganut paham civil law seperti Indonesia, Argentina, Brasil, Kolombia, Kosta Rika dan negara lain.  Termasuk juga negara-negara yang menganut paham hukum Eropa Kontinental seperti Jerman, Prancis, Swiss dan negara lainnya.

"Sistem yang dikenal dengan hukum acara di Indonesia, sistem peradilan di bawah negara negara-negara civil law dan biasa diterapkan di negara Eropa Kontinental," ungkap Edy.

Sementara negara seperti Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada yang menganut paham hukum Anglo-Saxon atau sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya.

"Kalau di negara-negara Anglo-Saxon yang memutuskan adalah juri," ucapnya.

Berbeda lagi dengan negara penganut hukum common law yaitu yang menentukan vonis bukan Majelis Hakim melainkan juri. Hakim hanya mengesahkan hasil dari kesepakatan juri.

"Kalau di negara-negara penganut common law seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Inggris mereka itu menganut sistem juri. Jadi  yang menyatakan seseorang itu bersalah atau tidaknya itu juri, bukan hakim, hakim hanya mengetuk palu mengesahkan hasil keputusan dewan juri yang terdiri dari sembilan orang," jelas Edy.

Di hukum Indonesia, penerapan  dissenting opinion tergolong baru, karena sebelumnya hal tersebut tidak dikenal dan tidak diatur dalam sistem hukum Indonesia. Salah satunya di Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Edy menambahkan, baru dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang saat telah diganti dengan Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 mengatur masalah  dissenting opinion.

"Sehingga masalah  dissenting opinion  merupakan hal baru dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia, yang tentunya merupakan langkah maju yang sangat berarti dalam sistem hukum Indonesia," imbuh dia.

Editor: Kurnia Ismain
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS