PARBOABOA, Jakarta - Penghentian penyidikan kasus dugaan suap izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, kembali memantik perdebatan publik.
Kasus yang telah disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2017 ini dinilai terlalu strategis dan berdampak besar bagi negara untuk dihentikan begitu saja, terlebih menyangkut sektor sumber daya alam dengan potensi kerugian negara yang sangat besar.
Pandangan kritis tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua KPK periode 2015–2019, Laode Muhammad Syarif.
Ia menilai, keputusan untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap perkara ini tidak mencerminkan urgensi dan bobot persoalan yang dihadapi negara.
Menurut Laode, sektor pertambangan merupakan sektor vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara.
"Kasus itu tidak layak untuk diterbitkan SP3 karena kasus sumber daya alam yang sangat penting, dan kerugian negaranya besar," tegas Laode, dikutip Minggu (28/12).
Lebih jauh, Laode menekankan bahwa besarnya potensi kerugian negara justru seharusnya menjadi alasan utama untuk melanjutkan penyidikan, bukan menghentikannya.
Dengan nilai kerugian yang diperkirakan mencapai Rp2,7 triliun, ia menilai KPK perlu mencari terobosan dan langkah hukum yang lebih progresif untuk melengkapi pembuktian, alih-alih menghentikan perkara.
Kasus dugaan korupsi ini sendiri menyeret nama Aswad Sulaiman dan telah berada dalam penanganan KPK selama kurang lebih satu dekade.
Sejak tahap penyelidikan hingga penyidikan, KPK menduga telah terjadi kerugian keuangan negara yang sangat signifikan, yakni sedikitnya Rp2,7 triliun.
Angka tersebut bukan tanpa dasar, melainkan diduga berasal dari aktivitas eksploitasi tambang nikel yang dilakukan melalui penerbitan IUP yang melawan hukum.
Penerbitan izin-izin tersebut diduga terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang, yakni pada periode 2007–2014.
Dalam kurun waktu itu, praktik penerbitan IUP dinilai sarat dengan penyimpangan dan membuka ruang bagi eksploitasi sumber daya alam tanpa mekanisme pengawasan yang memadai, sehingga berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar.
Tak hanya soal kerugian negara, perkara ini juga memuat dugaan aliran dana suap. Aswad Sulaiman diduga menerima uang hingga Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan tambang.
Dana tersebut disinyalir diberikan untuk memuluskan proses penerbitan izin usaha pertambangan di wilayah Konawe Utara, sehingga perusahaan-perusahaan tersebut dapat melakukan aktivitas penambangan nikel tanpa hambatan administratif.
Di sisi lain, KPK memiliki argumentasi tersendiri atas keputusan penghentian penyidikan tersebut.
Lembaga antirasuah menyatakan bahwa SP3 diterbitkan setelah melalui pertimbangan hukum yang menyeluruh dan mendalam.
Salah satu faktor utama yang menjadi kendala adalah tidak terpenuhinya unsur pembuktian, khususnya terkait penghitungan kerugian keuangan negara.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa perhitungan kerugian negara merupakan elemen krusial dalam penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Tanpa adanya angka kerugian negara yang pasti dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, perkara dinilai tidak memiliki kecukupan alat bukti untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan.
"Penerbitan SP3 oleh KPK sudah tepat, karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan, pasal 2 pasal 3-nya, yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara," ujar Budi Prasetyo.
Menurut Budi, tanpa kepastian angka kerugian negara, jaksa penuntut akan kesulitan membawa perkara tersebut ke persidangan.
Hal ini berisiko melemahkan posisi penuntutan dan berujung pada kegagalan pembuktian di pengadilan.
Selain kendala pembuktian, lamanya waktu penanganan perkara juga menjadi pertimbangan KPK.
Kasus ini diketahui memiliki tempus delicti sejak 2009, sehingga jarak waktu yang terlalu panjang dinilai menyulitkan proses pengumpulan bukti, menghadirkan saksi, serta menelusuri alur peristiwa secara utuh dan akurat.
Bagi sebagian pihak, penghentian kasus dengan potensi kerugian triliunan rupiah dikhawatirkan dapat mencederai rasa keadilan publik dan melemahkan efek jera terhadap praktik korupsi di sektor strategis.
