PARBOABOA, Pematang Siantar - Pemerintah Kota (Pemko) Pematang Siantar, Sumatra Utara tengah memproses pembelian lahan milik warga bermarga Sitorus seluas 18 ribu meter persegi atau 1,8 hektare di Tanjung Pinggir, Kecamatan Siantar Martoba.
Pemilik lahan ini merupakan orang yang menyewakan tanah seluas 5000 meter persegi yang oleh Pemko Pematang Siantar dijadikan tempat pembuangan akhir (TPA) Tanjung Pinggir. TPA Tanjung Pinggir seluas 5 hektare.
Ia menyewakan lahan seluas 5000 meter itu kepada Pemko Pematang Siantar sejak 1990 seharga Rp48 juta per tahun.
Ihwal rencana pembelian lahan di Tanjung Pinggir itu karena batalnya hibah lahan dari PTPN III dan ganti rugi masyarakat di Kelurahan Gurilla, Kecamatan Siantar Sitalasari yang direncanakan seluas 80 ribu meter persegi.
Menurut Kepala Bidang (Kabid) Pengelolaan Kekayaan Daerah di Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Pematang Siantar, Alwi Adrian Lumban Gaol, pembelian lahan seluas 1,8 hektare itu akan termasuk 5000 meter persegi yang selama ini disewa pemko di sekitar Tanjung Pinggir.
"Untuk saat ini yang bisa kita realisasikan tahun depan pembelian lahan yang kita sewa itu, plus sisanya milik keluarga Sitorus, masih diusulkan untuk dibahas di RAPBD tahun 2024 nanti," ucapnya kepada PARBOABOA. Jumat (27/10/2023).
Alwi menjelaskan, pertimbangan keputusan membeli lahan warga tersebut karena tumpukan sampah yang sudah menggunung di TPA Tanjung Pinggir.
Selain itu, pemindahan dan reklamasi lahan di Tanjung Pinggir juga akan memakan anggaran yang besar.
“Sudah berapa kali tim (BPKPD) ke sana. Harganya sudah ada untuk pembelian. Jadi TPA Tanjung Pinggir tidak jadi dipindahkan, karena kita pun tak tahu mau pindahkan kemana. Makanya kita perluas mengingat sudah menumpuk sampah di sana,” ungkapnya.
Anggaran yang digunakan untuk pembebasan lahan di TPA Tanjung Pinggir, lanjut Alwi, berasal dari APBD Pematang Siantar 2024.
"Anggaran yang kita buat sekitar Rp3 miliar hingga Rp4 miliar. Mekanisme pembayaran tergantung kesepakatan dari pemilik lahan, sistem cicil maupun cash langsung, ini masih dalam pembahasan," jelasnya.
Disinggung soal lamanya kebijakan Pemko soal tindak lanjut TPA Tanjung Pinggir, Alwi menjelaskan BPKPD harus melakukannya dengan seksama dan hati-hati, berkolaborasi dengan dinas terkait.
Hal ini ditunjukkan dengan rincinya persyaratan lokasi TPA baru seperti tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah yang dikeluarkan dengan nomor SNI 03-3141-1994.
Untuk proses merelokasi warga yang bermukim di sekitar TPA Tanjung Pinggir, Dinas Lingkungan Hidup Pematang Siantar yang akan menjadi penanggung jawab teknisnya.
"Untuk merelokasi warga tanya saja ke DLH sendiri, sebab mereka OPD teknis pelaksanaannya," ungkap Alwi.
Ia meminta masyarakat bersabar terhadap kebijakan Pemko Pematang Siantar soal pembelian lahan di Tanjung Pinggir. Dengan begitu, distribusi dan pengelolaan sampah di TPA Tanjung Pinggir bisa dilaksanakan.
"Masyarakat juga harap maklum dalam pelaksanaan proses tersebut, kita hanya mengikuti mekanismenya saja. Antisipasinya, kita luaskan terlebih dahulu lahan di TPA (Tanjung Pinggir) itu," imbuh Alwi Adrian Lumban Gaol.
Sementara itu, Kepala DLH Pematang Siantar, Dedy T. Setiawan mengaku belum mengetahui pembelian lahan seluas 18.000 meter persegi milik warga bermarga Sitorus itu.
"Untuk proses tersebut belum tahu dan untuk relokasi warga kita akan bahas. Fokus kita saat ini untuk menuju penilaian Adipura dari Pemprov Sumut. Kita konfirmasi lagi," katanya singkat kepada PARBOABOA.
Diketahui, relokasi TPA Tanjung Pinggir terkendala belum siapnya ganti rugi oleh Pemko Pematang Siantar.
Ganti rugi lahan tersebut direncanakan sebesar Rp20 miliar hingga Rp50 miliar.
Pemko Harus Gencarkan Pengelolaan Sampah Terstruktur
Menanggapi rencana pembelian lahan warga di TPA Tanjung Pinggir, pengamat lingkungan dari Universitas Simalungun, Ramainim Saragih mengingatkan agar Pemko Pematang Siantar terlebih dahulu memperbaiki sistem persampahan yang berasal dari tempat pembuangan sampah sementara (TPSS) hingga ke TPA Tanjung Pinggir.
"Ide bagus. Kalau pengolahan sampah macam gitu butuh lahan yang luas dan butuh waktu. Metode pengolahannya juga pakai sampah yang berkelanjutan dan terstruktur, bukan hanya TPA sebagai penampungan saja," ungkapnya kepada PARBOABOA, Jumat (27/10/2023).
Ramainim juga meminta pemko belajar dari daerah lain terkait pengelolaan sampah terpadu. Biasanya sistem pengelolaan sampah terpadu dimulai dari RT/RW yang mengeluarkan jadwal pengangkutan sampah, diangkut dan dipilah di TPPS. Nantinya di TPPS, sampah yang masih memiliki nilai jual yang tinggi dipilah dan disimpan di lokasi tersendiri.
"Dengan metode seperti itu sudah pasti mulai berkuranglah sampahnya. Nah baru dibuang ke TPA. Menurutku sih sistem persampahan harus dibenerin dulu di Siantar kalau sistemnya bobrok, action di lapangan pasti ngawur," katanya.
Akademisi USI ini juga meminta Pemko Pematang Siantar menyiapkan kajian atas dampak penggunaan lahan, karena banyak pemukiman yang terdampak secara lingkungan di sana.
"Pastinya harus direlokasi, bisa-bisa rumah warga di samping TPA sudah tertimbun sampah. Kalau di TPA pengolahannya beda lagi, air lindi harus ada bak penampung, biogas yang dimanfaatkan jadi sumber bahan bakar masyarakat sekitar, sistem landfill, perlu proses panjang yang harus disiapkan Pemerintah," imbuh Ramainim Saragih.
Editor: Kurniati