PARBOABOA, Jakarta - Dalam demokrasi yang sehat, suara rakyat selalu menjadi dasar utama pengambilan keputusan.
Namun, kasus pemecatan Tia Rahmania, seorang caleg terpilih dari PDIP, justru menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas dan etika partai politik dalam menjaga prinsip demokrasi itu sendiri.
Tia, yang seharusnya melenggang ke Senayan sebagai anggota DPR RI periode 2024-2029, harus legowo dirinya digantikan oleh rekan separtainya, Bonnie Triyana, setelah dipecat oleh partai politiknya.
Kasus ini bukan hanya tentang pergantian kursi, tetapi lebih jauh lagi, mencerminkan bagaimana partai politik kadang memainkan peran yang mereduksi suara pemilih.
Pemecatan Tia memicu polemik di media sosial. Banyak warganet menduga tindakan tersebut berkaitan dengan kritik kerasnya terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron.
Tia sempat menyampaikan kritik tajam kepada Ghufron dalam sebuah forum yang digelar KPU dan Lembaga Ketahanan Nasional yang diduga menjadi pemicu kontroversi ini.
Kepada Ghufron, Tia meminta untuk tidak perlu bicara teori, “kita semua tahu Pak, negara ini berada dalam kondisi tidak baik-baik saja. Mending Bapak bicara kasus Bapak,” ucap Tia.
Terkait polemik ini, PDIP menegaskan bahwa pemecatan Tia bukan terkait kritik tersebut, melainkan karena sengketa internal partai terkait penghitungan suara.
Karena itu, PDIP menganggap pergantian tersebut sesuai prosedur.
PDIP pun beralasan, pada Mei 2024 lalu, Tia dan Bonnie berselisih di Bawaslu Banten.
Bonnie mencurigai adanya penggelembungan suara yang dilakukan oleh delapan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di wilayah Lebak dan Pandeglang.
Dugaan ini timbul setelah Bonnie mencermati proses penghitungan suara di daerah tersebut.
Bawaslu Banten akhirnya memutuskan bahwa sejumlah anggota PPK yang dituduh oleh Bonnie terbukti melanggar tata cara, prosedur, serta mekanisme rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat kecamatan hingga kabupaten/kota.
Atas dasar putusan tersebut, Bonnie membawa permasalahannya ke Mahkamah Partai PDIP karena ia merasa telah terjadi pergeseran suara yang merugikan.
Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi, mengonfirmasi bahwa Tia diduga terlibat dalam sengketa internal partai terkait perolehan suara di Dapil.
Masalah sengketa di internal pun sudah diselesaikan di tubuh partai berlogo moncong putih tersebut.
"Kalau ada perselisihan hasil suara di antara kader internal partai, itu, kan, diselesaikan di partai. Sudah ada gugatan, ada laporan tentang perselisihan perolehan suara,” kata Djarot
Walau demikian, tidak sedikit pihak yang memandang langkah ini sebagai langkah yang tidak demokratis.
Bahkan menganggap kasus ini sebagai potret buram demokrasi di Indonesia, di mana partai politik kerap kali terlihat lebih fokus pada kepentingan internal daripada memperjuangkan suara rakyat.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, misalnya, menyebut tindakan PDIP sebagai tragedi demokrasi.
Baginya, keputusan partai memecat seorang caleg terpilih yang sudah memperoleh legitimasi suara dari rakyat merupakan sebuah sabotase terhadap proses demokrasi.
Pemilu seharusnya menjadi arena bagi rakyat untuk menyalurkan hak pilih mereka, bukan sekadar formalitas yang bisa diabaikan oleh partai.
Pada titik ini, tegas lucius, kita melihat bahwa etika demokrasi menjadi sorotan utama. Jika suara rakyat diabaikan dan keputusan partai lebih dominan, apa artinya pemilu yang demokratis?
Sistem demokrasi di Indonesia jelasnya, seharusnya menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.
“Ketika seorang caleg terpilih seperti Tia, yang telah mendapatkan kepercayaan dari konstituen, dikesampingkan begitu saja, legitimasi proses pemilu menjadi dipertanyakan,” tegas Lucius.
Selain Tia, kasus serupa juga terjadi pada Rahmad Handoyo, caleg PDIP dari Dapil Jawa Tengah V yang juga dipecat oleh partai.
Pemecatan Rahmad serta Tia diabadikan dalam Surat Keputusan KPU Nomor 1368 tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan KPU Nomor 1206 Tahun 2024.
Pergantian dua caleg ini kembali memperkuat pandangan bahwa partai politik di Indonesia masih terjebak dalam persoalan internal yang seringkali merugikan proses demokrasi yang seharusnya murni.
Kuasa hukum Tia, Jupryanto Purba, menegaskan bahwa pemecatan kliennya tidak didasarkan pada fakta yang tepat.
Jupryanto menyebutkan bahwa Tia telah dibebaskan dari tuduhan pelanggaran administrasi pemilu oleh Bawaslu.
Hal ini seharusnya menjadi dasar bahwa Tia tidak bersalah dalam sengketa penggelembungan suara yang diangkat Bonnie.
Namun, meskipun telah ada keputusan Bawaslu yang menguntungkan Tia, PDIP tetap melanjutkan pemecatan dengan alasan sengketa internal.
Menariknya, kasus ini juga mengungkap bagaimana proses internal partai kadang berjalan di luar kontrol publik.
Dalam sistem yang seharusnya transparan, banyak keputusan partai justru tertutup oleh dalih "urusan internal".
Penjelasan seperti yang disampaikan oleh Djarot Saiful Hidayat, bahwa semua perselisihan di antara kader diselesaikan di internal partai, seakan mengabaikan pentingnya akuntabilitas kepada publik yang telah memilih Tia.
Di sisi lain, penggantian caleg terpilih tidak hanya terjadi di PDIP. PKB, misalnya, juga memecat empat caleg terpilihnya yang telah mendapatkan suara sah dari rakyat.
Kasus pemecatan yang terjadi di PKB diduga terkait dengan konflik internal antara Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Fenomena serupa di dua partai besar ini menunjukkan pola yang sama: partai politik lebih mementingkan konflik internal dibanding memperjuangkan suara rakyat yang seharusnya menjadi prioritas.
Dalam konteks hukum, penggantian caleg terpilih sebenarnya diatur dalam Pasal 425 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan Pasal 48 Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2024.
Penggantian diperbolehkan apabila caleg terpilih meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat.
Namun, kasus Tia dan Rahmad justru menunjukkan betapa elastisnya aturan ini dalam penerapannya.
Padahal, peraturan ini dibuat untuk menjamin bahwa hanya caleg yang memang tidak layak yang bisa diganti, bukan yang memiliki perbedaan sikap politik atau terlibat sengketa internal yang seharusnya tidak merugikan suara rakyat.
Secara keseluruhan, pemecatan Tia Rahmania dan Rahmad Handoyo menjadi pengingat bahwa demokrasi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar.
Partai politik yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi justru seringkali berperan sebagai penghambat.
Dengan mengutamakan kepentingan internal dan mengabaikan suara pemilih, partai-partai ini menunjukkan betapa etika demokrasi masih jauh dari harapan.
Hal ini harus menjadi bahan refleksi bagi partai politik dan masyarakat secara luas untuk membenahi sistem yang ada agar demokrasi yang sebenarnya bisa terwujud di negeri ini.
Editor: Norben Syukur