PARBOABOA, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada Selasa (12/04/2022) lalu.
Namun, setelah kurang lebih dua tahun berlaku, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak masih marak terjadi.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebutkan, per 1 Januari 2023, angka korban kekerasan seksual mencapai 21.886 orang. Dari jumlah tersebut, 19.360 korban adalah perempuan dan sisanya laki-laki.
Sementara Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan mengungkapkan terdapat 289.111 total kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak selama 2023.
Menurut Anggota Yayasan Jurnal Perempuan, Maria Noviyanti Meti, ada dua alasan yang mendasari lonjakan kasus ini.
Pertama, kurangnya penghargaan terhadap martabat perempuan sebagai subjek yang otonom.
Budaya patriarki disinyalir menjadi salah satu penyebab yang membingkai lahirnya konsep bias gender dan subordinasi posisi perempuan.
Dalam kenyataannya, perempuan masih memainkan peran sampingan dalam masyarakat. Sementara akses ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan didominasi oleh kaum pria.
Riset yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan (2024) misalnya, menyebutkan sebanyak 7.971 caleg perempuan kehilangan kesempatan.
Kursi politik yang seharusnya memenuhi tuntutan 30 % perwakilan perempuan justru diberikan kepada laki-laki.
Kedua, lahirnya pandangan yang diskriminan terhadap posisi perempuan. Sejumlah studi menyebutkan, perempuan lebih memiliki sifat perasa dan kurang rasional.
Konsekuensinya, keberadaan mereka lalu disimplifikasi hanya pada urusan terkait rumah tangga dan anak-anak.
Di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya perempuan hanya dihadirkan sebagai pelengkap. Mereka tidak diikutsertakan dalam urusan adat dan sosial-politik.
Pandangan yang diskriminan terhadap perempuan, alih-alih memperoleh pembenaran seturut keyakinan budaya, tetapi justru menstimulus lahirnya praktik kekerasan terhadap perempuan.
Dua pendasaran tersebut di atas memiliki relasi yang saling berkaitan. Kurangnya penghargaan terhadap perempuan berakibat langsung pada lahirnya pandangan yang diskriminan terhadap perempuan.
Kekerasan seksual, dengan demikian menjadi fenomena yang mudah ditemukan dalam keseharian.
Esensi TPKS
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) TPKS dilaksanakan saat Rapat Paripurna DPR RI Ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022.
UU ini disahkan atas usul koalisi masyarakat sipil dan organisasi perempuan yang mengharapkan lahirnya sebuah instrumen hukum yang komprehen dan mengakomodasi kebutuhan korban kekerasan seksual.
Selain itu, Indonesia memiliki beberapa perangkat hukum lain yang mengatur pidana kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 (UU PKDRT), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (UU PA), dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 (UU SPPA).
Dibandingkan dengan peraturan hukum lainnya, UU TPKS dianggap lebih komprehensif. UU ini mencakup 19 definisi terkait kekerasan seksual, yang dijabarkan mulai dari Pasal 4 ayat (1) hingga Pasal 4 ayat (2).
UU ini juga mengatur tentang hak korban kekerasan seksual yang termaktub dalam Pasal 66 dan Pasal 67. Jaminan terhadap hak korban dibarengi dengan sanksi hukum yang ketat terhadap pelaku.
Penerapan UU TPKS diharapkan menjadi jawaban untuk mencegah tindakan kekerasan seksual dan melahirkan penghargaan atas martabat perempuan.
Apa yang Kurang?
Maria Noviyanti Meti dalam riset soal ketaatasasan penggunaan peraturan perundang-undangan oleh pihak penyidik Kepolisian Resor (Kapolres) Sikka memperlihatkan alpanya penggunaan UU TPKS.
Penyidik Kapolres Sikka, demikian ungkap Novi, cenderung menggunakan ketentuan dalam UU PA dan UU SPPA.
“Sampai sekarang, UU TPKS belum sama sekali digunakan oleh penyidik di Kapolres Sikka. Ini seolah-olah mengindikasikan sikap negara yang ‘setengah hati’ dalam mengurus masalah perempuan,” tuturnya kepada PARBOABOA, Senin (08/04/2024).
Alumnus Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu menyebutkan, absennya UU TPKS boleh jadi menjadi penyebab maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Sikka.
“Saya sendiri meyakini, pihak Kapolres Sikka belum sepenuhnya paham tentang esensi UU TPKS. Ini tentu berpengaruh besar bagi proses pidana yang berlangsung, juga selanjutnya lonjakan angka kasus kekerasan seksual di waktu-waktu mendatang,” ungkap Novi.
Pendapat serupa disampaikan oleh salah satu peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati.
Ia mengatakan, UU TPKS secara umum belum diimplementasikan karena substansi dan nilai-nilainya harus disampaikan ke penyidik.
Soal absennya UU TPKS, anggota Komisi III DPR RI, Didik Mukrianto pada Senin (10/7/2023) menyebutkan, UU TPKS belum bisa diimplementasikan secara efektif karena belum ada aturan teknis atau pelaksanaanya.
Pendapat Politisi Fraksi Partai Demokrat itu hendak menegaskan, penerapan UU TPKS perlu memiliki mekanisme dan sistem pelaksanaan yang jelas dan menyasar pada inti persoalan.
Ketentuan umum dalam UU TPKS, demikian ungkap Mukrianto, perlu dijabarkan ke dalam aturan-aturan teknis yang memudahkan mekanisme pelaksanaan.
Salah satu aturan turunan yang perlu diaplikasikan adalah Perpres Nomor 9 Tahun 2024 tentang Diklat yang memandatkan Peraturan Menteri PPPA terkait kurikulum diklat pencegahan dan penanganan TPKS bagi aparat penegak hukum dan tenaga layanan.
Usulan Mukrianto bermaksud mensinkronisasi tahap pelaksanaan UU TPKS agar beroleh efektivitas di tengah masyarakat. Sebab, jika tidak, maka proses pelaksanaanya tetap menghadapi berbagai hambatan serius.
Rekomendasi
Menurut Novi, UU TPKS sebagai sebuah instrumen hukum mendesak untuk diterapkan oleh pihak penyidik. Alasannya, UU ini memuat aturan hukum yang lengkap dan memiliki keberpihakan kepada korban.
Namun demikian, singgung Novi, sebagai sebuah instrumen hukum yang baru, UU TPKS perlu dipahami secara sungguh oleh pihak penyidik.
Sosialisasi dan penanaman pengetahuan kepada aparat harus dilakukan supaya tercipta kemerataan dalam proses penerapan.
“Saya melihat, ada satu hal yang mendesak untuk dilakukan yaitu terkait penanaman pemahaman terhadap aparat penegak hukum. Percuma kalau UU sudah bagus, tetapi aparat tidak memahami maksud dan tahap-tahap pelaksanaanya. Konsekuensinya tetap sama, yaitu bahwa UU TPKS tidak bisa dijalankan,” ungkap Novi.
Selain sosialisasi dan advokasi, Novi juga memproposalkan pentingnya pengawalan dari hulu hingga hilir. Masyarakat diharapkan untuk bersama-sama memantau pelaksanaan UU TPKS supaya menjawab tuntutan hukum yang adil.
“Pengawalan itu tugas bersama. Selain itu, kita juga perlu melakukan edukasi seksual, pendataan pelaku secara terintegrasi, hingga kontrol kepada aparat bila memutus perkara tak sesuai dengan UU TPKS,” tutup Novi.
Editor: Defri Ngo