Nasionalis Tulen yang Berperan di Ajang Sumpah Pemuda II

Peserta Kongres Pemuda Indonesia kedua di Gedung Kramat 106. (Foto: buku 45 Tahun Sumpah Pemuda)

Seniman Musik dan Batik Sejati, Sarijah Niung (Ibu Soed)

PARBOABOA - Guru sekolah dasar, dia. Gemar bernyanyi, bersiul, dan menggesek biola. Melatih dan memimpin siswa yang bergabung dalam paduan suara juga ia suka. Wajar kalau sejak lama ia berhasrat betul mencipta lagu untuk anak-anak.

Wujud lagu kanak-kanak itu sedari dulu sudah jelas dalam benaknya. Bukan dalam bahasa Belanda nanti melainkan bahasa Indonesia.

Kalau yang dalam bahasa Belanda sudah banyak dan sekian lama diajarkan di sekolah-sekolah. Semuanya menggambarkan suasana di tempat nun jauh sekali yang bersebutan negeri kincir angin.

Sementara yang dalam bahasa Indonesia belum ada padahal itu maha penting adanya yakni agar bocah-bocah pribumi mengenal negeri sendiri sejak dini dan mencintainya untuk selamanya.

Dalam bayangan Sarijah Niung tembang itu nanti sederhana namun serasi syair dan melodinya. Mudah dipahami, diresapi, dan dilantunkan.

Tinggi-rendahnya sesuai dengan rentang suara anak-anak. Dengan begitu tidak akan membuat tenggorokan dan suara pelantun bermasalah seusai bersenandung.

Pucuk dicita ulam pun tiba. Gagasan yang lama bersemai di pikirannya akhirnya mewujud pada 1927. Ajaib! Sejak lagu perdana lahir, adik-adiknya brojol susul-menyusul.

Memang benarlah pepatah lama yang berbunyi: all beginnings are difficult. Memulai sesuatu itu sulit. Tapi, begitu bisa maka seterusnya bakal terbisa.

Ia tak mengingat lagi lagu perdana yang diciptakannya. Tapi masih benderang dalam sumur ingatannya bahwa dalam 4 tahun pertama itu ia sangat produktif. ‘Sekolah Usai’, ‘Teka-teki’, dan ‘Lagu Gembira’ antara lain yang lahir di masa itu.

Lagu anak-anak yang pertama dalam bahasa Indonesia. Itulah yang dihasilkan oleh Sarijah Niung yang di saat itu mulai dikenal orang sebagai Ibu Soed atau Bu Soed, singkatan dari Bintang Soedibyo. Putra patih Semarang tersebut telah menjadi suaminya. Mereka menikah pada1925.

Karya-karya ciptaan Bu Soed lekas popular terlebih di sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Pada 1928 lagu-lagu itu mulai disiarkan Vereniging voor Oosterse Radio Omroep.

Milik penguasa Hindia Belanda, stasiun radio ini lebih dikenal dengan sebutan Nirom. ‘Bila sekolah Usai’, ‘Adik Mulai Berjalan’, ‘Bila Aku Besar’, dan yang lain pun tenar seketika di seluruh negeri. 

Kalau menggunakan istilah anak zaman sekarang, berkat lagu ciptaannya itu hanya dalam setahun saja sang guru sudah menjadi seleb (selebriti).

Wajar saja: perempuan yang masih belia betul itu merupakan pionir. Ketenaran itulah yang kemudian melesatkannya ke pusaran politik kaum pergerakan di jantung ibukota bernama Batavia. Sebagai pesohor, ia ditarik-tarik agar terlibat.

Rupanya, ia kemudian luruh di dunia kaum muda progresif itu.

Kongres Pemuda

Di tahun 1927 kaum pemuda terpelajar di negeri ini kian dirasuki roh nasionalisme. Bu Soed yang namanya sedang menjulang itu salah satunya.

Pemicunya terutama adalah peristiwa bersejarah yang sekarang kita kenal sebagai Kongres Pemuda Indonesia yang pertama. Kejadian ini tentu buah dari proses panjang.

Hadirin dalam Kongres Pemuda Indonesia pertama, di Batavia. (Foto: buku 45 Tahun Sumpah Pemuda)

 

Wakil dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Pelajar Minahasa, Sekar Rukun, serta beberapa perorangan berhimpun di Gedung Lux Orientis, Batavia, pada 15 November 1925.

Dalam pertemuan itu mereka bersepakat membentuk panitia untuk mempersiapkan Kongres Pemuda Indonesia yang pertama.

Pada April 1926 terbentuk panitia yang terdiri dari Bahder Djohan, Sumarto, Jan Toule Soulehuwij, Paul Pinantoan, Mohamad Tabrani, Hamami, Sanusi Pane, Suwarso, Djamaluddin adi Negoro, dan Sarbaini.

Disepakati kemudian bahwa yang menjadi ketua adalah Mohammad Tabrani. Wakilnya Sumarto. Djamaluddin Adi Negoro menjadi sekretaris dan Suwarso bendahara.

Kongres (sebutannya waktu itu adalah kerapatan) Pemuda Indonesia yang pertama berlangsung pada 30 April—2 Mei 1926 di Batavia (tempatnya di Gedung Bappenas, Taman Suropati sekarang).

Taka ada keputusan penting yang lahir di sana karena tujuan perhelatan ini memang sebatas menggugah organisasi-organisasi pemuda yang ada di Tanah Air agar sudi bekerja sama demi persatuan Indonesia.

Begitupun, gerakan ini terus menggelinding laksana bola salju.

Pada 15 Agustus 1926 wakil dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Batak, Jong Ambon Studeerenden, dan panitia Kongres Pemuda pertama bertemu. Dalam persuaan itu mereka berkomitmen untuk menggelar Kongres Pemuda yang kedua.

Serangkaian sidang mereka adakan sejak tahun 1927 hingga Oktober 1928. Dalam persuaan terakhir yang diikuti pengurus besar Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Indonesia, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, dan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dibentuklah panitia Kongres Pemuda Indonesia yang kedua.

Ketua Kongres Pemuda kedua adalah Sugondo Joyopuspito (PPPI). Wakilnya Djoko Marsaid (Jong Java). Șekretarisnya Muhamad Yamin (Jong Sumatranen Bond/ PPPI). Bendaharanya Sjarifoeddin (Jong Batak/ PPPI).

Panitia yang lain adalah Djohan Muhammad Tjai (Pembantu I, dari Jong Islamieten Bond), Kotjosungkono, Pembantu II dari Pemuda Indonesia), Senduk (Pembantu III, dari Jong Celebes), Leimena (Pembantu IV, dari Jong Ambon), dan Rohyani (Pembantu V, dari Pemuda Kaum Betawi).

Dimotori oleh Mohammad Yamin, Amir Sjarifoeddin, dan sejumlah aktifis yang merupakan penghuni Indonenesisch Huis Kramat—kini Jl. Kramat Raya 106 ini lebih dikenal publik sebagai 

Jamuan makan sebelum perpisahan peserta Kongres Pemuda pertama. (Foto: buku 45 Tahun Sumpah Pemuda)

 

Gedung Sumpah Pemuda—PPPI menjadi mesin utama dalam persiapan kongres pemuda kedua. Berdiri pada Septeamuan makan mber 1926 (tak lama seusai Kongres Pemuda pertama) organisasi mahasiswa yang unsurnya terutama dari Stovia (Sekolah Tinggi Kedokteran), Rechtschoogeschool (Sekolah Tinggi Hukum), dan Technische Hoogeschool Bandung (kini ITB), meniru Perhimpunan Indonesia di Belanda yang pernah dipimpin oleh Mohammad Hatta.

Sumpah Pemuda

Kongres atau Kerapatan Pemuda kedua berlangsung pada 27-28 Oktober 1928. Pesertanya  adalah undangan yang merupakan wakil dari organisasi  pemuda dan mahasiswa, perhimpunan orang dewasa, dan partai politik (Partai Nasional Indonesia—PNI—yang terutama).

Sejumlah senior  datang ke pertemuan. Anggota Dewan Rakyat (Volksraad) yaitu Suryono dan Sukowati serta wakil pemerintah Belanda (Pyper dan Van der Plas), antara lain. Wartawan juga ada yang hadir termasuk Wage Rudolf Soepratman yang bekerja untuk koran Sin Po.

Seperti biasa, petugas keamanan pemerintah juga turun untuk mengawasi. Politieke Inlichtingen Dienst (PID, reserse  Hindia-Belanda) yang sangat ditakuti kaum pergerakan itu termasuk.

Kongres  berlangsung 3 sesi. Rapat pertama di  Katholieke  Jongelingen Bond, Waterlooplein (tak jauh dari Gereja Katedral sekarang) pada malam Minggu (19.30—23.30) 27 Oktober. Acaranya adalah  pembukaan oleh Ketua, sambutan-sambutan,  dan ceramah dari Muhammad Yamin.

Rapat kedua pada Minggu pukul 08.00-12.00 di Oost Java Bioscoop di Koningsplein Noord (sekarang di Jl. Merdeka Utara 14, Jakarta).

Acaranya membahas masalah pendidikan saja. Pembicaranya adalah  Nyonya Poernomowoelan, S. Mangoensarkoro  Djokosarwono, dan  Ki Hadjar Dewantoro.

Rapat ketiga merupakan bagian terpenting. Acaranya pada malam Senin (pukul 17.30—19.30) di Gedung Indonesische Clubgebouw yang kala itu dikenal juga sebagai Indonenesisch Huis (Kramat 106). Selain ceramah (oleh T. Ramelan dan Soenario) ada pengambilan keputusan atau resolusi.

Sumpah Pemuda-lah sebutan untuk keputusan yang maha penting itu. Bunyi aslinya adalah: Satoe: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe, bertoempah darah yang satoe, Tanah Air Indonesia.

Doea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe, berbangsa yang satoe, bangsa Indonesia. Tiga: Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Rumusan ini dibuat Muhammad Yamin, seorang mahasiswa hukum yang gemar berfantasi dan pandai mengarang termasuk lakon sandiwara. Di kongres kedua ini ia  merupakan sekretaris.

‘Indonesia Raya’

Sebelum Sumpah Pemuda  dibacakan, ada sebuah kejadian yang maha penting. Saat istirahat, WR Soepratman menghampiri Ketua Soegondo Djojopoespito.

Jurnalis-pemusik yang kerap datang ke Indonenesisch Huis itu minta izin untuk memperdengarkan lagu ciptaannya. Secarik kertas bertuliskan teks lagu ‘Indonesia Raya’ ia perlihatkan.

ketgamb Bu Soed (kedua dari kanan) dan kawan-kawan. (Foto: kitab Sumbangsihku Bagi Pertiwi) #end

Seusia melirik ke seorang komisaris polisi Belanda yang mengawasi acara, Soegondo memberi izin tapi dengan syarat:  cukup dimainkan dengan alat musik saja, tak boleh dinyanyikan. Soalnya, di teks itu ada beberapa kata ‘merdeka’,  selain ‘Indonesia’. Ia khawatir bisa terjadi insiden lagi. 

Sebelumnya, para pandu yang hendak berkegiatan di sana telah  dihalau polisi. Itu sempat menimbulkan ketegangan.

Soegondo meminta hadirin menyimak lagu tersebut. Seusai membungkuk ke hadirin laksana konduktor, WR Soepratman pun memperdengarkan karyanya  lewat gesekan biola. Ia disertai Bu Soed yang juga menggunakan instrumen serupa.

Peristiwa itu menjadi kenangan abadi bagi Bu Soed.  Bagaimana perasaan istri Bintang Soedibyo tersebut saat itu?

“Tak dapat saya gambarkan perasaan bahagia,  haru, dan bangga dalam diri saya. berdiri menggesek biola,  memainkan lagu ‘Indonesia Raya’ segenap jiwa dan raga terpusat pada ikrar bersama. Rasanya tak akan pernah cukup kata-kata yang dapat saya himpun untuk mengutarakan kaharuan saya ketika itu. Dada ini rasanya bagaikan bergemuruh,  sesak oleh gelora semangat yang luar biasa.  Kaum muda sudah menyatakan sumpahnya.  Saya merasa yakin,  cepat atau lambat kemerdekaan Indonesia tentu akan dapat kita miliki,” ucapnya (Titiek WS, 1981).

Kalau saja WR Soepratman ditanya hal serupa kemungkinan jawabannya pun akan senada. Sebab, lagu itulah yang kemudian melambungkan namanya untuk seterusnya; bukan karya jurnalistiknya. Yang terakhir ini justru kurang dikenal publik hingga sekarang. Begitu juga lagu ciptaan dia yang lain.

Seperti kata Bu Soed, ia dan WR Soepratman sudah beberapa kali memainkan ‘Indonesia Raya’. Bahkan diramaikan pula dengan lantunan suara hadirin. Tapi itu di tempat lain, bukan di Kramat 106 pada 28 Oktober 1928.

Kedua musisi ini untuk seterusnya, hingga lanjut usia, berkarib.  Kemungkinan besar penaut utamanya adalah  penampilan mereka di  Indonenesisch Huis pada malam Senin 28 Oktober 1928.

Di masa senjanya, WS Soepratman yang membujang selamanya kerap bertandang ke kediaman Bu Soed.

“Kalau hari Minggu Mbah WR (Soepratman) sama mbahku [Bu Soed] sering main ke rumah ibuku. Mereka berpiano sambil nyanyi-nyanyi. Sampai Mbah WR lumpuh dan duduk di kursi roda pun begitu,” kata Carmanita, perancang terkemuka yang merupakan cucu Bu Soed.

Carmanita adalah putri Krisnani. Ternyata nama ‘Krisnani’ itu pemberian dari WR Soepratman, seniman yang di masa tuanya berumah di kitaran Jl. Senopati, Jakarta Selatan.

“Ini cerita mbah sendiri ke aku. Waktu itu mbah mau lahiran. ‘Mau ngasih nama apa ya?’ Mbah WR ngeliatin. Ia kan orang kebatinan. Lalu dia bilang, ‘pantasnya Krisnani. Boleh ya....’ Mbah bilang boleh. Jadilah nama ibuku Krisnani,” Carmanita berkisah.

Selepas Kongres Pemuda kedua,  Bu Soed masih akan terus berkarya.   Lagu ciptaannya banyak dan serba bermutu. Kerapatannya dengan para tokoh politik dan dengan sejawat sesama seniman dengan sendirinya meluaskan jagat kreatifnya. Ia memang sosok istimewa!

Bersambung...

Penulis: P. Hasudungan Sirait dan Rin Hindryati

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS