PARBOABOA, Simalungun - Sungguh miris nasib Tugu Letda Sujono di Perkebunan PTPN III, Kebun Bandar Betsy, Kecamatan Bandar Huluan, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara (Sumut).
Saat PARBOABOA mendatanginya pada Sabtu (30/09/2023), lalu terlihat beberapa keramiknya rusak dan berlumut.
Ternyata, tugu ini mendapatkan perhatian dari pemerintah hanya ketika menjelang Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober.
Karena pada hari bersejarah tersebut, digelar upacara yang biasanya dihadiri sejumlah pejabat tinggi di antaranya pangdam, bupati hingga gubernur.
"Biasanya 4 hari menjelang tanggal 1 oktober, Hari Kesaktian Pancasila barulah mereka (pemerintah) melakukan perawatan karena mau dipakai untuk upacara," kata Hermawan (24) yang tiap hari berjualan di sekitar lokasi.
Di sisi lain, tugu bersejarah di Tanah Simalungun ini selalu ramai dikunjungi masyarakat termasuk anggota komunitas-komnitas tiap akhir pekan.
Sayangnya, mereka pun hanya bisa berfoto saja tanpa mengetahui sejarah berdirinya monumen yang dibangun sekitar tahun 1970an ini.
Hal itu disampaikan oleh Anggi (28) yang kesulitan menemukan pemandu sejarah.
"Dari tadi cuma bisa foto-foto saja tanpa ada pemandu sejarahnya yang bisa menjelaskan sejarah tugu ini," katanya.
Akses Jalan Jauh dari Layak
Selain tugu yang tak dirawat, akses menuju lokasi ternyata juga sudah jauh dari kata layak.
Dari pantauan PARBOABOA, sepanjang 17 km dari Simpang Mangga Nagori Nagajaya I hingga ke lokasi Tugu Letda Sujono kondisi jalannya sangat rusak.
Banyaknya truk-truk pengangkut hasil perkebunan sawit ditambah cuaca kering makin membuat jalan rusak.
Terlihat juga beberapa alat berat seperti compactor di sekitar jalan menuju Tugu Letda Sujono.
Selain itu, debu-debu jalanan berterbangan sehingga menghalangi pandangan pengendara dan masyarakat di sekitar jalan tersebut.
Hal itu juga dibenarkan Nurlela ( 27), masyarakat yang tinggal sekitar Tugu Letda Sujono.
Menurutnya, permasalahan akses jalan menuju monumen bersejarah di Simalungun ini sudah menjadi rahasia umum.
Bahkan bila musim penghujan tiba, jalanan menuju tugu pun makin sulit dilalui.
"Wah ini masih enak lagi gak hujan. Kalau hujan pasti tidak akan bisa kesini," kata Nurlela.
Dia mengabarkan, menjelang Hari Kesaktian Pancasila, jalan menuju Tugu Letda Sujono biasanya akan ditutup dengan pasir dan batu hingga lubang tertutup sementara.
Namun sekitar dua minggu setelahnya, jalanan akan kembali rusak.
Dia hanya berharap jalan tersebut segera diperbaiki karena merupakan akses masyarakat terutama menuju Tugu Letda Sujono.
Rencana Rekonstruksi Jalan
Sementara itu, terpantau dari laman resmi pemerintah kabupaten (Pemkab) Simalungun, proyek rekonstruksi jalan jurusan Simpang Mangga hingga Tugu Sujono, Kecamatan Bandar Huluan sudah dalam tahap 'tender sudah selesai'.
Tender rekonstruksi jalan tersebut dimenangkan oleh CV Wong Teloe yang beralamat di Jalan Perniagaan Lingkungan VI, Kelurahan Stabat Baru, Kecamatan Stabat, Kabupaten Langkat, Sumut. Nilai pagu proyek ini sebesar Rp 1,5 miliar.
PARBOABOA mencoba meminta konfirmasi terkait kurangnya perawatan Tugu Letda Sujono hingga rusaknya akses jalan menuju tugu tersebut kepada Komando Distrik Militer (Koramil) 05 Serbelawan dan Dinas PUTR Kabupaten Simalungun.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, tak ada komentar dari kedua lembaga tersebut.
Sejarah Tugu Letda Sujono
Tugu Letda Sujono kini tak ubahnya hanya bangunan biasa tanpa nilai sejarah. Padahal, tempat ini layak dijadikan sebagai tempat wisata sejarah karena dibangun untuk mengenang pemberontakan PKI di tanah Simalungun.
Kala itu, Letda Sujono yang masih berpangkat Pembantu Letnan Satu (Peltu) bekerja sebagai anggota keamanan di areal perkebunan karet Negara IX Bandar Betsy.
Dia gugur di tempatnya bekerja dalam persitiwa perebutan paksa oleh Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kemudian dikenal sebagai 'Peristiwa Bandar Betsy'.
Untuk mengenang jasanya, pemerintah kemudian memberikan kenaikan pangkat Anumerta Letnan Dua dan membangun monumen perjuangan yang mirip seperti Tugu Pahlawan Revolusi di Jakarta.
Editor: Umaya khusniah