PARBOABOA, Jakarta - Setiap tahun, perguruan tinggi (PT) di Indonesia berhasil mencetak jutaan lulusan sarjana dari berbagai jurusan dan spesifikasi.
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2022, menyebut jumlah lulusan perguruan tinggi sebanyak 1.842.588 orang.
Jumlah tersebut mencakup lulusan sarjana, sarjana terapan, dan vokasi dari 4.523 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Beberapa dari mereka lantas mendapatkan pekerjaan sesuai bidang studi masing-masing. Namun, ribuan lainnya terseok-seok karena sulit memperoleh pekerjaan.
Mereka yang terbentur situasi ekonomi, bahkan harus "menggadaikan" ijazah untuk bekerja serabutan, entah sebagai cleaning services, buruh bangunan, maupun asisten rumah tangga (ART).
Di beberapa daerah, lulusan sarjana bahkan harus menjadi tukang ojek atau supir, sekadar memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Kisah Dino (28) sebagaimana dilukiskan PARBOABOA pada Rabu (14/08/2024) menampilkan fakta bahwa tidak semua hal yang dikerjakan akan membawa hasil yang sesuai.
Pepatah "apa yang kamu tabur, itulah yang kamu tuai" rupanya perlu dikoreksi. Dino, seorang lulusan sarjana pendidikan ternyata tak pernah berhasil menjadi guru sesuai harapan.
Ia justru harus legowo menjadi cleaning service. Alasannya sangat prosedural. Dino tak memenuhi kualifikasi "sudah berpengalaman menjadi guru" sebagai syarat wajib yang diminta pihak sekolah.
"Sekolah lebih sering memilih kandidat yang sudah berpengalaman, sementara saya baru saja menyelesaikan kuliah. Dari mana saya bisa mendapatkan pengalaman?" kisah Dino kepada PARBOABOA, Senin (09/07/2024).
Selain Dino, Amry (26), pria kelahiran Kota Pariman yang lulus program Manajemen Pendidikan Islam juga mengalami persoalan serupa. Ia akhirnya memilih bekerja sebagai penjaga toko.
"Asalkan bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya siap melakukan pekerjaan apa saja," ujarnya.
Kisah Dino dan Amry hanyalah satu bagian kecil dari persoalan penyerapan tenaga kerja lulusan sarjana pendidikan. Mereka terpaksa memilih pekerjaan lain karena tersandung persyaratan.
Persoalan Supply and Demand
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) pada Oktober 2022 lalu menyebut, total seluruh mahasiswa di Indonesia mencapai 9.320.410 yang tersebar di 4.523 perguruan tinggi.
Dari total tersebut, terdapat 2.111.559 orang atau sekitar 22,66% mahasiswa yang terdaftar dalam program studi (Prodi) pendidikan.
Prodi pendidikan mencakup berbagai jurusan, mulai dari Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Agama, hingga Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Banyak mahasiswa yang memilih bidang studi tersebut karena dianggap memiliki prospek kerja yang besar, terutama dengan kebutuhan tenaga pengajar yang tinggi di Indonesia.
Namun, meskipun prospek kerja sebagai guru terlihat menjanjikan, kenyataannya tidak semua lulusan sarjana pendidikan berhasil diterima menjadi guru.
Berbagai faktor seperti persaingan yang ketat, keterbatasan lapangan kerja, hingga masalah akreditasi perguruan tinggi yang belum merata di seluruh Indonesia menjadi sejumput persoalan yang kerap dijumpai.
Sementara itu, bidang studi lain seperti seni, meskipun memiliki jumlah mahasiswa yang lebih sedikit, juga menghadapi tantangan serupa dalam hal peluang kerja.
Berdasarkan Data Statistik Perguruan Tinggi yang dirilis Kemendikbud Ristek pada 2022, setiap tahunnya terdapat 1.842.588 lulusan perguruan tinggi di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, lebih dari 20% atau sekitar 441.680 di antaranya merupakan lulusan sarjana pendidikan. Meski demikian, peluang kerja yang tersedia sangat terbatas.
Data Kemendikbudristek pada semester ganjil tahun ajaran 2023/2024 mencatat ada 436.707 sekolah di Indonesia, yang belum tentu mampu menampung seluruh lulusan tersebut.
Situasi tersebut menunjukkan bahwa meskipun pendidikan menjadi bidang yang paling banyak diminati, tantangan untuk menjadi guru tetaplah besar.
Tingginya jumlah lulusan pendidikan yang tidak terserap di dunia kerja, serempak menuntut adanya strategi baru dalam penyaluran tenaga pendidik di masa depan.
Langkah Kemendikbudristek
Berhadapan dengan persoalan tingginya lulusan sarjana pendidikan yang belum menjadi guru, sejumlah langkah praktis sedang diupayakan pihak Kemendikbud Ristek.
Upaya tersebut, antara lain mengembangkan inisiatif strategis untuk memungkinkan lulusan program D4 dan S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) serta Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) dapat langsung berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud, Nunuk Suryani menerangkan, setelah ditetapkan sebagai ASN, para lulusan ini akan menempuh Pendidikan Profesi Guru (PPG).
"Kami sedang merancang program yang memungkinkan lulusan S1/D4 kependidikan dapat langsung mendaftar menjadi ASN, dan setelah penempatan, mereka akan mengikuti PPG," ujar Nunuk dalam keterangan tertulis, Rabu (01/04/2024) lalu.
Nunuk menambahkan, transformasi program prioritas terus dilakukan, terutama dalam hal PPG.
Skema transformasi sangat penting bagi guru yang belum tersertifikasi, baik yang sedang menunggu Sertifikasi Pendidik, maupun lulusan S1 atau D4 yang bercita-cita menjadi guru.
"Inilah momen berharga untuk berdiskusi bersama tentang transformasi," tambahnya.
Selain itu, Kemendikbud juga fokus menangani krisis kekurangan guru di tingkat SD dengan melakukan redistribusi tenaga pengajar.
"Upaya penyempurnaan linearitas bertujuan mengatasi situasi darurat kekurangan guru SD. Misalnya, guru mata pelajaran Pendidikan Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, PPKN, dan PG PAUD kini telah linear dengan SD," jelas Nunuk.
Terpisah, Pelaksana tugas (Plt) Direktur PPG, Adhika Ganendra, menyebutkan bahwa pada seleksi PPG tahun 2024, peserta yang lulus akan ditempatkan sesuai dengan pilihan lokasi mengajar saat pendaftaran.
Kuota PPG Prajabatan yang dibuka akan memperhitungkan kekosongan guru di tahun 2025, serta Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) penyelenggara PPG dan izin bidang studi yang tersedia di setiap provinsi.
"Kuota PPG 2024 telah mempertimbangkan dua aspek tersebut. Kami berharap persaingan antarcalon peserta di setiap provinsi dapat meningkatkan kualitas guru di daerah tersebut," ujar Adhika.
Langkah-langkah tersebut dibuat untuk memastikan nasib lulusan sarjana pendidikan semakin lebih baik, teristimewa terkait pekerjaan mereka sebagai guru.
Editor: Defri Ngo