PARBOABOA - Jalan-jalan di Desa Robayan, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, tampak sepi pada suatu siang awal Agustus lalu. Desa berpenduduk 6 ribu jiwa itu bak kota mati. Di kanan-kiri jalan banyak rumah tak terurus dan bangunan tua terbengkalai.
Orang-orang yang berkegiatan di luar rumah bisa dihitung dengan jari. Pemandangannya kontras dengan keramaian di desa-desa tetangga yang lebih menampakkan denyut kehidupan.
Di balik ketenangannya, Robayan punya daya tarik yang memancing radar Direktorat Jenderal Bea Cukai. Desa ini masuk peta potensi kerawanan produksi rokok tanpa cukai
“Robayan ditetapkan oleh pimpinan sebagai daerah merah yang kudu diwaspadai,” ujar Kepala Kantor Bea Cukai Kudus, Lenni Ika Wahyudiastuti. Jepara masuk wilayah kewenangan Bea Cukai Kudus yang cakupannya meliputi bekas karisidenan Pati, termasuk Kudus, Pati, Rembang, dan Blora.
Secara kasat mata, Robayan jauh dari kesan sebagai sentra produksi rokok ilegal. Wijaya, bukan nama sebenarnya, mengatakan di Robayan sudah tidak ada lagi produksi rokok dari hulu ke hilir.
Rokok tanpa cukai diproduksi dengan sistem rantai produksi yang saling terpisah. Robayan hanya kebagian peran di ujung sebagai tempat pengemasan rokok tanpa cukai.
Lahir dan besar di Robayan, Wijaya pernah bertahun-tahun menjadi pekerja pengemas rokok tanpa cukai. Seperti kebanyakan warga lain, ia melakoni profesi itu di rumah.
"Iki, Mas, aku dulu nyontong di sini," ujar Wijaya sambil menunjuk salah satu kamar di rumahnya. Nyontong merupakan sebutan masyarakat di Robayan untuk aktivitas mengemas rokok.
Pengemasan rokok dilakukan sembunyi-sembunyi. Agar tidak terlihat dari luar, para pe-nyontong biasa melakukan pekerjaannya di ruang belakang, dapur, atau kamar.
Pengemasan rokok dikoordinasi oleh mandor. Tiap mandor mengendalikan sekitar 10 rumah tempat pengemasan. Masing-masing rumah mempekerjakan tiga hingga lima orang, yang biasanya masih punya hubungan keluarga. Ibu-ibu juga kerap dilibatkan dalam pengemasan rokok sebagai kerja sambilan.
Mandor akan memberikan target pengerjaan untuk setiap rumah pengemasan. Misalnya, 10 bal dikerjakan lima orang dalam sehari. Tiap bal berisi 20 slop rokok, yang per slopnya berisi 10 bungkus. Rata-rata setiap pengemas bisa merampungkan 3-4 bal rokok per hari. Pekerja akan mendapat upah Rp35 ribu hingga Rp40 ribu per bal.
"Jadi mereka kerjanya harian, bayarannya kalau sudah dikerjakan semua," ujar Wijaya.
Mandor nanti akan menjemput rokok-rokok yang sudah dikemas. Rokok tanpa cukai lalu disimpan di rumah-rumah warga, kontrakan, atau bangunan lain yang difungsikan sebagai gudang.
Dulu, Robayan tidak cuma tempat pengemasan rokok. Tradisi pembuatan rokok sudah berakar lama di sana. Hingga periode akhir 2000-an, desa seluas 98 hektare ini dikenal sebagai sentra rokok rumahan. Warga di sana piawai meracik tembakau.
Hampir setiap rumah membuat rokok sendiri. Waktu itu, Robayan masih memproduksi rokok legal. Dua jenama rokok rumahan dari Robayan yang pernah populer ialah Anggur dan Bulan.
Namun, tahun 2009 menjadi titik balik kejayaan rokok Robayan. Pemerintah membuat ketentuan yang mensyaratkan pabrik rokok minimal berukuran 200 meter persegi. Sejak itu, industri rokok rumahan satu per satu tumbang karena tidak memenuhi kriteria.
Kadung menggantungkan hidup dari rokok, warga Robayan nekat sembunyi-sembunyi memproduksi rokok tanpa cukai agar tidak terendus otoritas. Sekitar tahun 2010-2013 warga Robayan yang merintis produksi rokok tanpa cukai masih belum banyak. Rokok yang diproduksi pun masih polosan tanpa merek.
Produksinya kian marak seiring kenaikan cukai rokok yang terus naik setiap tahun. Karena tidak membayar ongkos cukai, harga rokok ini bisa bersaing dan mendapat tempat di pasaran.
Sejak kemunculan tren rokok tanpa cukai, produksi rokok di Robayan meninggalkan cara tradisional yang dilinting menggunakan tangan. Sebab, semua rokok tanpa cukai berjenis sigaret kretek mesin (SKM).
Harga rokok kretek tangan (SKT) yang murah menjadi penyebabnya. Bagi pemodal rokok tanpa cukai, margin untung sigaret kretek mesin (SKM) jauh lebih tebal.
"SKT legal saja sedikit keuntungannya. Kalau dibuat ilegal mau dapat keuntungan dari mana?" kata sumber dari kalangan pelaku industri rokok yang tahu permainan rokok tanpa cukai.
Sumber itu bercerita, produsen rokok tanpa cukai akhirnya bersimbiosis dengan pabrik rokok resmi. Mereka akan menitipkan tembakau di pabrik legal untuk diolah menjadi rokok dengan kesepakatan biaya tertentu.
Pasalnya, produsen rokok tanpa cukai tidak punya alat untuk memproduksi SKM. Hal itu tak lepas dari mahalnya mesin pembuat SKM. Harganya berkisar Rp4-25 miliar, tergantung jenis dan kapasitas produksinya. Cuma pabrik rokok besar dan legal yang punya fasilitas semacam itu.
Praktik titip-menitip tersebut sebenarnya menyimpang dari aturan. Setiap pabrik harus mendaftarkan mesin produksi dan merek produk rokok ke Bea Cukai. Mesin yang digunakan juga tidak boleh memproduksi merek rokok selain yang didaftarkan.
Permainan rokok tanpa cukai tidak hanya itu saja. Sebagian perusahaan rokok resmi, menurut sumber yang sama, malah bermain culas. Di antara mereka ada yang ikut memproduksi rokok tanpa cukai miliknya sendiri dengan merk yang tidak terdaftar.
"Biasanya produksi rokoknya itu siang untuk yang legal, dan malam untuk yang ilegal," ungkap sumber Parboaboa.
Rokok-rokok tidak terdaftar yang diproduksi di pabrik resmi kemudian didistribusikan ke tempat pengemasan. Sistem produksi yang terpisah dengan sistem sel membuat operasi bea cukai tidak pernah berhasil mengungkap tempat produksi rokok tanpa cukai.
"Enggak pernah kita dapat pabrik. Kita nangkapnya gudang aja," kata Sandy Hendratmo Sopan, Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi KPPBC Tipe Madya Cukai Kudus. Bea Cukai juga kesulitan mengusut otak di balik produksi rokok tanpa cukai.
Kalaupun ada pengungkapan kasus, kebanyakan informasinya berawal dari aduan masyarakat terkait pengemasan rokok ilegal. Seorang warga Robayan menuturkan, setiap kali Bea Cukai mengadakan operasi, banyak intel berkeliaran di desa.
Ia mengetahuinya karena kerap melihat banyak wajah yang tampak asing bagi warga setempat. Penggerebekan juga sering diawali dengan pesawat nirawak yang mondar-mandir memantau dari langit Robayan.
Berdasarkan pengalaman Wijaya, informasi penggerebekan kerap bocor ke pemilik rokok. Alhasil, sebagian besar persediaan rokok tanpa cukai biasanya sudah dipindahkan ke tempat lain. Kalaupun ada yang disita, jumlahnya tidak seberapa.
Pemodal, kata dia, sudah memperhitungkan angka kerugiannya. Mereka sengaja mengikhlaskan beberapa bal untuk disita.
Untuk mencegah orang yang tertangkap buka mulut, sang bohir akan menjamin kehidupan keluarga yang bersangkutan selama dalam tahanan. Beberapa hari setelah operasi, biasanya orang yang kedapatan memiliki rokok tanpa cukai di rumahnya sudah ditebus keluar dari tahanan.
"Misal ada orang ditangkap, aku lewat satu minggu setelahnya, udah kelihatan orangnya, udah balik lagi," kata Wijaya.
Sandy Hendratmo Sopan mengatakan, institusinya hanya bisa menjerat hingga level operator. Ia bilang, strategi Bea Cukai sekarang ialah menunggu generasi pembuat rokok tanpa cukai habis.
Di sekitar Jepara kini banyak bermunculan industri dari tas, sepatu, dan lain-lain. Pabrik-pabrik itu menyerap banyak tenaga kerja dari kalangan muda.
"Jadi yang muda-muda enggak lagi (main rokok), tinggal yang tua-tua," ujar Sandy.
Modus produksi rokok tanpa cukai di beberapa daerah cenderung seragam. Rantai produksi yang terpisah juga berlaku pada rokok tanpa cukai yang dibuat di Malang, Jawa Timur.
Di Malang Raya sendiri terdapat 127 pabrik rokok yang tersebar di Kota Malang, Kota Batu, dan terbanyak di Kabupaten Malang. Sumber Parboaboa menyebut, sebagian pabrik-pabrik resmi juga memproduksi rokok ilegal.
Jenama rokok tanpa cukai yang beredar umumnya merupakan plesetan dari rokok resmi. Tidak hanya itu, produsen juga berusaha meracik rokok dengan citarasa semirip mungkin dengan rokok yang ditiru. Di kalangan pemain rokok tanpa cukai, proses tersebut dikenal dengan istilah "menembak".
Orang-orang yang punya kemampuan itu disebut "sniper". Mereka punya keahlian membuat rokok tiruan. Dari sampel rokok tertentu, mereka bisa meramu bahan-bahan dan formulasi saus campuran yang rasanya mendekati asli.
Persaingan keras justru terjadi di kalangan pengusaha rokok tanpa cukai. Rokok ilegal yang laku di pasaran biasanya akan dijiplak lagi oleh pengusaha lain.
Sumber dari kalangan pelaku industri rokok mencontohkan rokok merk "ZA". Rokok plesetan merk LA buatan Djarum Super ini sangat laku. Karena permintaan rokok ZA sangat tinggi, pengusaha rokok tanpa cukai lain akan membuat merek yang sama.
"Jadi rokok-rokok tanpa cukai yang beredar di pasar itu belum tentu dari satu produsen yang sama. Sederhananya itu produk ilegal yang KW kemudian di KW-kan lagi," jelas sumber Parboaboa.
Menurut dia, produksi rokok ilegal banyak tersebar di Kabupaten Malang, seperti di Kecamatan Tajinan, Sumbermanjing Wetan, Pagelaran, Gondanglegi, Sumber Pucung, dan Pakis.
Produksi rokok tanpa cukai punya keuntungan yang menggiurkan. Mulyono, sebut saja begitu, beberapa tahun terakhir terjun di bisnis rokok tanpa cukai yang berbasis di Malang.
Ia punya dua merek rokok yang diproduksi di Pulau Madura, Jawa Timur. Batang-batang rokok yang belum dikemas nantinya akan dijemput menggunakan mobil pribadi. Ia menyewa supir untuk membawa barang itu dari Madura ke Malang.
Ia hanya memproduksi rokok pada hari-hari tertentu. Tapi, sekali produksi jumlahnya tak main-main. Dalam hitungan 8 jam saja mesin bisa menghasilkan 28 ribu batang. Artinya, dalam 24 jam bisa memproduksi 84 ribu batang rokok.
Mulyono biasanya menyebar batang-batang rokok itu ke tetangga sekitar rumahnya. Ia memberdayakan tenaga warga untuk mengemas ribuan batang rokok ilegal.
Usai dikemas, rokok-rokok tadi disimpan di beberapa tempat yang tersebar di sekitar daerah rumahnya. Untuk distribusi, ia sudah punya pelanggan tetap yang berasal dari Kuningan, Jawa Barat. Biasanya, si pemesan akan menjemput sendiri rokok-rokok itu.
Ia membanderol produknya seharga Rp1,3 juta per bal yang berisi 200 bungkus. Jika dihitung, harga per bungkusnya Rp6.500. Di pasaran, rokok produksi Mulyono diecer Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per bungkus. Dengan keuntungan berkali lipat saja, harganya masih jauh di bawah rokok resmi sejenis yang paling murah dibanderol Rp25 ribuan ke atas.
Menurut sumber Parboaboa yang juga pengusaha rokok di Malang, keuntungan bisnis rokok ilegal bisa dua sampai tiga kali lipat dari rokok legal pada umumnya. Keuntungan besar itu didapat dari memangkas kewajiban membayar pita cukai.
Cukai sigaret kretek mesin berkisar Rp1.000 hingga Rp1.700 per batang. Bila sebungkus isinya 20 batang, biaya cukainya saja sudah Rp20 ribu lebih. Belum lagi modal produksi dan operasional yang harus dikeluarkan pengusaha.
"Kalau bermain ilegal kan, keuntungan itu sangat besar karena dipotong modal produksi saja. Tidak ada berurusan dengan cukai,” jelas sumber tadi.
Keuntungan besar dari rokok tanpa cukai menjadi penyebab tumbuh suburnya bisnis rokok ilegal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sampai-sampai ada lelucon di kalangan masyarakat tempat produksi rokok tanpa cukai.
"Kalau tiba-tiba motornya baru, mobilnya baru rumahnya bagus, pasti 'rokok'an'," kata seorang warga di Robayan sambil terbahak-bahak. Ia merujuk kecenderungan pemain baru dalam lingkaran bisnis rokok tanpa cukai yang mendadak menjadi orang kaya baru.
Menurut data Bea Cukai Kudus, angka penindakan rokok ilegal dari tahun 2020 hingga 2023 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2020, Bea Cukai mencatatkan 80 pengungkapan kasus, kemudian 109 kasus di 2021, dan 116 kasus di 2022. Pada 2023 terjadi lonjakan hingga 183 kasus dengan angka potensi kerugian negara ditaksir mencapai Rp16,99 miliar.
Sementara itu, hingga medio 2024 saja, sudah ada 97 kasus rokok ilegal yang diungkap dengan total 12,09 juta batang yang disita. Bea Cukai Kudus memperkirakan potensi kerugian negaranya sebesar Rp11,59 miliar.
Di Malang pun angka penindakan rokok ilegal meningkat dalam dua tahun belakangan. Bea Cukai menyita 14,690 juta batang rokok ilegal pada tahun 2022. Setahun kemudian rokok yang disitanya mencapai 18,426 juta batang. Sayangnya, Bea Cukai Malang tidak mencatat potensi kerugian negara dari penindakan rokok ilegal tersebut.
Reporter: Achmad Rizki Muazam, Patrick Damanik
Editor: Jenar