MK Terima Gugatan Terkait UU Pilkada: Mantan Kepala Daerah Boleh Jadi Wakil?

Suasana Sidang Perkara Nomor 73/PUU-XXII/2024, Senin, 29 Juli 2024. (Foto: Tangkapan Layar Youtube MK)

PARBOABOA, Jakarta - Gugatan terkait beberapa pasal dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) rupanya tidak berhenti pada kasus Gibran Rakabuming Raka beberapa waktu lalu.

Dalam kasus Gibran, pemohon mengajukan keberatan terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu tentang Batas Usia Capres-Cawapres yang dianggap mempersempit partisipasi kaum muda dalam kontestasi Pemilu.

Terbaru, empat pemohon kembali mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait larangan mantan gubernur untuk maju sebagai calon wakil gubernur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. 

Para pemohon tersebut antara lain, John Gunung Hutapea, Deny Panjaitan, Saibun Kasmadi Sirait, dan Elvis Sitorus. 

Mereka menginginkan Pasal 7 Ayat (2) UU Pilkada yang melarang mantan gubernur atau bupati/walikota maju sebagai calon wakil gubernur, bupati, atau walikota di daerah yang sama, dibatalkan. 

Permohonan tersebut tercatat dalam Perkara Nomor 73/PUU-XXII/2024.

"Menyatakan batal Pasal 7 Ayat (2) huruf o UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," tulis permohonan pemohon sebagaimana dikutip PARBOABOA, Jumat (02/08/2024).

Keempat pemohon berpendapat bahwa pasal tersebut bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945, termasuk Pasal 18 Ayat (4), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) dan (3), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2) dan (4), serta Pasal 28J Ayat (1).

Mereka juga meminta agar putusan MK dimuat dalam Berita Negara dengan waktu maksimal selama 30 hari.

"Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya," ujar Firman Hasurungan Simanjuntak, kuasa hukum para pemohon.

Sidang pemeriksaan pendahuluan untuk perkara ini telah berlangsung pada Senin (15/07/2024) lalu dan dipimpin Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, bersama Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Arsul Sani sebagai anggota panel.

Dalam sidang tersebut, Saldi Isra menyoroti legal standing atau hak para pemohon untuk mengajukan uji materi. Ia meminta para pemohon untuk menjelaskan alasan pengajuan permohonan tersebut.

"Apa legal standing dari para pemohon untuk mengajukan permohonan ini? Itu yang harus dijelaskan terlebih dahulu," kata Saldi Isra.

Saldi menambahkan bahwa larangan ini muncul karena adanya kekhawatiran bahwa jika seorang mantan kepala daerah maju sebagai wakil kepala daerah dan kemudian kepala daerah tersebut berhalangan tetap, maka ia akan menjabat sebagai kepala daerah lebih dari dua kali.

"Jika seseorang sudah pernah menjadi kepala daerah dua kali, lalu terpilih lagi sebagai wakil kepala daerah, dan kemudian kepala daerah tersebut berhalangan tetap, maka ia akan menjabat sebagai kepala daerah lebih dari dua kali. Itulah alasan di balik pasal ini," jelas Saldi.

Saldi juga mempertanyakan apakah keempat pemohon pernah menjabat sebagai kepala daerah selama dua periode. 

Menurutnya, norma ini ditambahkan setelah adanya pengalaman di beberapa daerah yang menunjukkan perlunya pembatasan masa jabatan.

"Dulu norma ini tidak berlaku. Namun, setelah ada pengalaman di beberapa tempat, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 diperbaiki dan norma ini dimunculkan. Pertanyaannya adalah, apakah para pemohon pernah menjadi kepala daerah selama dua periode?" tanya Saldi.

Apa Kata Kemenkumham?

Terpisah, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Wicipto Setiadi, menegaskan bahwa Pasal 7 huruf o UU Pilkada dibentuk demi meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. 

Pernyataan ini disampaikan Wicipto dalam sidang uji materi Pasal 7 huruf g dan o UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur pemilihan gubernur, bupati, dan walikota.

Wicipto berpendapat bahwa tanpa pembatasan, pasangan kepala daerah dan wakilnya bisa bergantian menjabat hingga empat periode sehingga dinilai berdampak negatif pada iklim pemerintahan daerah. 

Dari sudut pandang etika dan moral masyarakat, pembatasan ini juga diperlukan untuk menjaga kredibilitas dan wibawa kepala daerah. 

"Jika mantan kepala daerah maju sebagai wakil, akan terkesan ada penurunan derajat demi kekuasaan," ujar Wicipto dalam sidang perkara nomor 80/PUU-XIII/2015 di MK, Jakarta, Selasa (04/08/2015) silam.

Pernyataan Wicipto menggarisbawahi pentingnya pembatasan tersebut, tidak hanya dari aspek hukum tetapi juga dari aspek etika dan moral. 

Dengan demikian, diharapkan langkah ini dapat mendorong lahirnya pemimpin daerah yang berintegritas, sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi dan pemerintahan di Indonesia.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS