Menyoal Praktik Impor Tekstil Ilegal yang Rugikan Negara Triliunan Rupiah

Praktik impor tekstil ilegal rugikan negara triliunan rupiah (Foto: Instagram/@kadin.indonesia.official)

PARBOABOA, Jakarta - Praktik impor tekstil ilegal tengah mendapat sorotan umum lantaran merugikan negara sekitar 6,2 triliun rupiah.  

Plt. Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Kemenkop UKM, Temmy Setya Permana, menjelaskan terdapat dua sektor yang terdampak kerugian, yakni sektor pajak sebesar Rp1,4 triliun dan sektor bea cukai senilai Rp4,8 triliun per tahun. 

Kerugian tersebut, pungkas Temmy, muncul karena status barang yang masuk ke Indonesia bersifat ilegal, sehingga bea masuk tidak terhitung dan negara mengalami kerugian yang signifikan. 

"Tekstil yang masuk tanpa pencatatan dan tanpa dikenakan bea menyebabkan harga menjadi sangat rendah, yang akhirnya mendistorsi pasar," ujar Temmy dalam sebuah keterangan, Rabu (07/08/2024).

Impor tekstil ilegal juga mengakibatkan barang-barang tersebut dijual dengan harga jauh lebih murah dibandingkan produk lokal. 

Hal ini menciptakan distorsi harga yang merugikan produsen domestik, yang sering kali tidak dapat bersaing dengan harga murah dari produk ilegal. 

Akibatnya, pelaku usaha lokal mengalami penurunan pendapatan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi. 

Selain itu, distorsi harga berdampak mengurangi efektivitas kebijakan fiskal dan perpajakan yang diharapkan dapat menyokong pendapatan negara.

Pemerintah harus menangani masalah tersebut secara serius dengan meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum untuk memastikan bahwa semua barang impor tercatat dengan benar dan dikenakan bea masuk yang sesuai. 

Hal ini memerlukan koordinasi yang lebih baik antara otoritas bea cukai, kepolisian, dan instansi terkait lainnya untuk menindak pelanggaran hukum dan menyita barang-barang ilegal yang memasuki pasar.

Dampak Terhadap Industri Pengolahan

Peningkatan impor tekstil ilegal telah berdampak langsung pada sektor industri pengolahan di Indonesia. 

Temmy Setya Permana mencatat bahwa pengaruh negatif dari praktik ini mempercepat proses deindustrialisasi. 

"Hal ini berpotensi memicu deindustrialisasi di Indonesia, dan tanda-tanda tersebut sudah mulai terlihat sejak tahun 2015 hingga 2023," ungkap Temmy.

Industri pengolahan tekstil, yang sebelumnya menyumbang kontribusi stabil di atas 20 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, kini mengalami penurunan signifikan. 

Dalam lima tahun terakhir, kontribusi sektor ini turun di bawah 20 persen yang menandakan penurunan yang dramatis dalam peran industri tekstil terhadap ekonomi nasional.

Penurunan kontribusi tidak hanya berdampak pada pendapatan nasional, tetapi juga pada kesempatan kerja dan investasi di sektor industri. 

Data terbaru menunjukkan lonjakan impor pakaian dan produk tekstil sebesar 62,28 persen pada Januari 2024 dibandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu, dengan total impor mencapai 11.604 ton. 

Lonjakan angka impor mencerminkan peningkatan tajam dalam penetrasi pasar oleh produk asing yang dapat mengancam keberlangsungan industri lokal.

Sektor industri pengolahan yang mengalami penurunan kontribusi berdampak pada kapasitas produksi domestik, pengurangan investasi, dan penurunan daya saing industri lokal di pasar global. 

Praktik impor tekstil ilegal juga mempengaruhi struktur pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. 

Pada 2023, proporsi usaha mikro mencapai 99,62 persen, sedangkan usaha kecil dan menengah hanya 1,32 persen. 

Sebagian besar pelaku UMKM cenderung bergerak di sektor bernilai tambah rendah dan bersifat informal. 

Umumnya, pelaku UMKM di bidang e-commerce adalah reseller produk impor, dengan 74 persen barang yang dijual berasal dari hasil impor.

Menurut Temmy, fakta demikian berakibat langsung pada potensi penyerapan tenaga kerja yang signifikan. 

Dalam catatan Kemenkop UKM, terdapat kehilangan 67 ribu tenaga kerja dengan total pendapatan Rp2 triliun per tahun serta potensi kehilangan PDB multi sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) sebesar Rp11,83 triliun per tahun. 

Kerugian ini menciptakan ketidakstabilan di pasar tenaga kerja dan mengurangi peluang bagi pelaku usaha lokal untuk berkembang. 

Apa Langkah Kemenkop UKM?

Berhadapan dengan semua masalah tersebut di atas,  Kemenkop UKM merekomendasikan beberapa kebijakan strategis, antara lain:

Pertama, pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) sebesar 200 persen untuk produk tekstil konsumsi akhir seperti pakaian jadi, aksesoris, dan alas kaki. 

Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi daya tarik tekstil ilegal dengan meningkatkan biaya impor dan mendorong pelaku usaha untuk membeli produk lokal.

Kedua, bahan baku industri seperti filamen, kain, dan serat harus tetap dapat diimpor untuk memenuhi kebutuhan industri TPT dalam negeri. 

Hal ini dibuat untuk memastikan industri lokal memiliki akses ke bahan baku yang diperlukan untuk produksi, sementara produk jadi dari luar negeri dikenakan tarif yang lebih tinggi untuk melindungi pasar domestik.

Ketiga, Kemenkop UKM mendukung usulan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian untuk memberikan insentif restrukturisasi mesin melalui perbankan, termasuk pembebasan bea impor terhadap mesin. 

Dukungan ini bertujuan untuk memperbarui teknologi produksi dan meningkatkan daya saing industri lokal.

Dengan penerapan beberapa langkah strategis tersebut, diharapkan dampak negatif dari impor tekstil ilegal dapat diminimalisir. 

Selain itu, langkah serupa diharapkan memperkuat ekonomi domestik, mendukung industri lokal, dan meningkatkan peluang kerja, serta memastikan bahwa industri pengolahan tekstil di Indonesia dapat berkembang secara berkelanjutan dan bersaing di pasar global.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS