PARBOABOA, Pematangsiantar – Sedikitnya persentase guru besar di Indonesia ternyata juga dialami oleh Kota Pematangsiantar.
Padahal, guru besar memiliki peran besar dalam kemajuan pendidikan dan penuh tanggung jawab atas keilmuannya.
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 3, guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.
Dalam rilis Institut Teknologi Bandung di tahun 2022 yang berjudul Mengupas Peran dan Tanggung Jawab Guru Besar di Lingkungan Akademik dalam Bincang Sore FGB ITB, salah satu fungsi yang dimiliki guru besar adalah sebagai pemimpin akademik yang arif bagi masyarakat.
Guru besar lebih dari sekadar pembawa bendera keilmuannya. Jabatan ini juga merupakan panutan masyarakat akademik dalam membangun, menegakkan dan menjaga nilai serta kebijakan akademik.
Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya menyebutkan bahwa profesor mempunyai kewajiban menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerdaskan masyarakat.
Peran profesor ini tentunya bukan hanya terbatas untuk perguruan tinggi tempat ia mengabdi. Namun, juga harus berperan di tengah masyarakat.
Wakil Rektor II Bidang Administrasi dan Keuangan Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar (UHNP), Hendra Simanjuntak mengungkapkan peran penting profesor di perguruan tinggi terutama saat penilaian akreditasi.
“Salah satu faktor yang akan diperhatikan adalah jabatan fungsional dari dosen,” ungkap Hendra kepada PARBOABOA, Kamis (18/07/2024).
Hendra mengungkapkan jenjang fungsional dosen dimulai dari asisten ahli dengan angka kredit (KUM) 150. Lalu lektor dengan KUM 200 dan 300.
Kemudian lektor kepala dengan KUM 400, 550 dan 700. Terakhir adalah guru besar atau profesor dengan KUM 850 dan 1050.
Hendra memaparkan, menjadi seorang profesor harus memiliki kualifikasi pendidikan Strata-3 (Doktor) dan harus memenuhi beberapa standar seperti tridharma perguruan tinggi (Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat).
Hendra mengungkapkan, fenomena profesor yang sampai melakukan kecurangan demi titel terjadi karena sangat pentingnya status profesor dalam sebuah perguruan tinggi.
Jumlah profesor di satu perguruan tinggi mempengaruhi penilaian akreditasinya. “Contoh di kampus swasta. Sekarang untuk akreditasi ada dua, pertama lembaga akreditasi mandiri dan kedua BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional – Perguruan Tinggi). Semakin banyak profesor, semakin mudah mendapat akreditasi yang baik, karena sumber dayanya dianggap sudah mumpuni,” ungkapnya.
Hingga saat ini, UHNP memiliki tiga orang profesor di antaranya Prof. Sanggam Siahaan, Prof. Selviana Napitupulu dan Prof. Jumaria Sirait.
Sanggam dan Selviana dengan keilmuan Bahasa Inggris dan Jumaria dengan keilmuan Bahasa Indonesia.
“Yang diharapkan dari seorang profesor apa? Kedalaman keilmuannya,’ ucap Hendra.
Kedalaman keilmuan yang dimiliki seorang profesor harus diaplikasikan di wilayah ia mengabdi. Menurut Hendra, pengabdian profesor di wilayahnya sudah pasti ada secara tertulis namun sampai sejauh ini masih belum terekspos ke luar kampus.
“Apakah ada ruang di kota kita ini untuk kajian ilmunya?” tambahnya.
Berkaca dari ketiga profesor di kampusnya, Hendra mengungkapkan salah satu kesulitan dalam penelitian dan pengabdian yang hendak dilakukan, yaitu dana.
Bahkan, untuk sekadar mempublikasi jurnal yang dimiliki, seorang profesor harus mengeluarkan uang yang besar senilai Rp15-25 juta.
“Tapi sebenarnya gini, kalau memang sudah profesor, seharusnya sudah membuka ruang sendiri bukan melihat ada ruang atau tidak,” papar Hendra.
Hendra Simanjuntak juga mengkritisi bagaimana pendidikan yang seperti dianaktirikan dalam penyebarluasan informasi.
Ia melihat sangat sedikit yang berkenan mengekspos tentang dunia pendidikan, karena tidak ada uangnya.
Editor: Fika